Pemerintah akan menjadikan Laut Arafura sebagai uji coba sistem kontrak penangkapan ikan sebagai bagian kebijakan penangkapan terukur dan mendorong PNBP. Sistem kontrak jangan sampai memicu penangkapan berlebih.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana melakukan uji coba sistem kontrak penangkapan ikan mulai 18 September 2021. Dari sistem kontrak itu, pemerintah akan memungut penerimaan negara bukan pajak atau PNBP untuk kegiatan pascaproduksi.
Sistem kontrak penangkapan ikan ini merupakan bagian dari kebijakan penangkapan terukur. Konsep penangkapan terukur yang berbasis kuota tangkapan akan diterapkan pada seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI mulai 2022. Langkah itu sekaligus untuk mendorong PNBP perikanan tangkap yang tahun ini ditargetkan Rp 1 triliun dan menjadi Rp 12 triliun pada 2024.
Perubahan skema PNBP dari pungutan praproduksi menjadi pascaproduksi mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan ini menggantikan PP No 75/2015. Tarif pungutan hasil perikanan (PHP) itu dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal.
Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Trian Yunanda mengemukakan, PP No 85/2021 telah mengaomodasi skema penarikan PNBP yang lebih berkeadilan. Sebelumnya, tarif PNBP dipungut ke pelaku usaha sebelum mengoperasikan kapal ikannya (praproduksi). Masa transisi berlangsung hingga 31 Desember 2021, tetapi uji coba akan dilakukan 18 September 2021 atau sejalan dengan mulai berlakunya PP No 85/2021.
Langkah itu sekaligus untuk mendorong PNBP perikanan tangkap yang tahun ini ditargetkan Rp 1 triliun dan menjadi Rp 12 triliun pada 2024 .
Uji coba sistem kontrak penangkapan ikan dengan PNBP pascaproduksi akan dilakukan di WPP 718 (Laut Arafura dan Laut Aru) yang dinilai menjadi percontohan keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap. Potensi perikanan di Laut Arafura dinilai masih besar dan bisa dioptimalkan.
”Masih terbuka peluang untuk pengembangan armada di WPP 718 dengan sistem pascaproduksi yang dikombinasikan dengan sistem kontrak,” kata Trian dalam webinar ”Mengelola Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Kamis (16/9/2021).
Dari data KKP, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) pada WPP 718 dan sebagian WPP 715 sebanyak 2,76 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, JTB Laut Arafura dan sekitarnya yang ditawarkan untuk dieksploitasi oleh industri perikanan sebanyak 1,86 juta ton per tahun.
Sistem kontrak penangkapan ikan, menurut rencana, diterapkan pada zona industri perikanan. Zona industri perikanan terdiri dari 4 zona, yakni WPP 716 (Laut Sulawesi) dan 717 (teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik); WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur); WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara); serta WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan).
Trian menambahkan, tarif PNBP pascaproduksi berlaku bagi kapal-kapal yang mengurus izin ke KKP, yakni yang beroperasi di perairan lebih dari 12 mil (22,2 km). Pungutan itu sekaligus akan memperbaiki data hasil tangkapan, di samping meniadakan pungutan-pungutan tambahan bagi kapal perikanan.
”Apabila setelah penarikan pascaproduksi ada pungutan-pungutan lain, silakan dilaporkan,” ucap Trian.
Pungutan itu sekaligus akan memperbaiki data hasil tangkapan, di samping meniadakan pungutan-pungutan tambahan bagi kapal perikanan.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Ari Purbayanto mengemukakan, beberapa WPP RI menunjukkan perbaikan kesehatan stok ikan. Di Laut Arafura, moratorium penangkapan ikan selema lebih dari dua tahun telah berdampak pada pemulihan stok ikan. Stok ikan yang mulai pulih memberikan peluang kepada investor untuk dimanfaatkan. Akan tetapi, dibukanya eksploitasi jangan sampai memicu penangkapan ikan berlebih.
”Peluang untuk menambah kegiatan (perikanan tangkap) juga harus terukur. Jangan sampai terjadi over exploitation yang ditakutkan masyarakat,” ujar Ari.
Ari menambahkan, pungutan pascaproduksi dinilai akan memberikan kepastian pungutan di pelabuhan berdasarkan hasil tangkapan ikan yang didaratkan. Persoalannya, tidak semua nelayan mendaratkan ikan di pelabuhan resmi sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan akurasi data.
”Masih banyak nelayan yang mendaratkan ikan di pelabuhan tangkapan atau pangkalan pendaratan ikan yang tidak resmi atau tidak terdaftar,” ucap Ari.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Yudi Nurul Ihsan mengemukakan, kebijakan penangkapan terukur memerlukan manajemen yang tepat. Upaya menaikkan PNBP perikanan tangkap harus diimbangi manajemen pengelolaan perikanan secara lebih efektif dan bukan malah memicu eksploitasi perikanan berlebih.
”Tanpa data yang valid kita akan sulit menentukan pengukuran. Basisnya data dan manajemen,” kata Yudhi.