Di tengah daya beli yang belum pulih, warga rentan dan usaha kecil harus merogoh kantong untuk mengonsumsi minyak goreng curah bersubsidi yang dinilai berbahaya bagi kesehatan. Harganya pun tak kunjung stabil di pasaran.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kalangan buruh dan petani meminta agar subsidi minyak goreng kepada rakyat tidak hanya diberikan dalam bentuk minyak goreng curah yang dinilai berdampak buruk bagi kesehatan, tetapi juga minyak goreng kemasan sederhana. Persoalan harga minyak goreng diharapkan bisa teratasi dalam satu pekan ke depan atau sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal beralasan, minyak goreng curah berbahaya bagi kesehatan serta minim perlindungan bagi konsumen. Berbeda dari jenis kemasan, minyak goreng curah yang tidak bermerek tidak memiliki keterangan masa berlaku, kandungan nutrisi, dan sulit diketahui asal-usul produksinya.
Kualitasnya sulit dipertanggungjawabkan karena tidak melewati pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Minyak goreng curah juga rawan dioplos dengan minyak jelantah atau bekas. Sebelum krisis harga minyak kelapa sawit terjadi, pemerintah bahkan sempat berencana melarang peredaran minyak goreng curah untuk konsumsi karena buruk bagi kesehatan.
Said menilai tidak pantas jika di tengah krisis, di tengah daya beli yang belum pulih, warga rentan harus merogoh kantong untuk mengonsumsi minyak goreng bersubsidi yang berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, ia meminta agar program subsidi diperluas untuk minyak goreng kemasan sederhana.
”Harga kemasan harus dikembalikan lagi ke harga eceran tertinggi (HET). Turunkan dengan subsidi dari dana BPDPKS. Jangan hanya memberikan subsidi minyak goreng curah yang membahayakan kesehatan masyarakat,” ujarnya dalam konferensi pers daring gabungan serikat buruh dan serikat petani, Rabu (23/3/2022).
Pada Januari 2022, pemerintah sempat memberlakukan kebijakan HET untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Selisih harga keekonomisan dengan HET minyak goreng kemasan disubsidi untuk kebutuhan selama enam bulan sebanyak 1,5 miliar liter. Dana subsidi disiapkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp 7,6 triliun.
Namun, kebijakan itu tidak berjalan lancar. Pasokan minyak goreng justru menjadi langka di pasaran. Pemerintah pun mencabut kebijakan tersebut dan membebaskan harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar. Setelah pemerintah mencabut HET minyak goreng kemasan, stok minyak goreng tiba-tiba kembali membanjiri pasar, tetapi dengan harga jauh lebih mahal.
Sekarang kebijakan HET seharga Rp 14.000 per liter hanya diatur untuk minyak goreng curah yang ditujukan bagi kelompok rentan serta usaha mikro dan kecil. Program subsidi minyak goreng curah akan dibiayai lewat anggaran lewat BPDPKS sebesar Rp 7,2 triliun.
Jika minyak goreng kemasan yang awalnya menghilang tiba-tiba muncul lagi setelah HET dicabut, artinya selama ini ditimbun. Lantas, kenapa tidak ada yang ditindak?
Said mengatakan, pemerintah seharusnya konsisten dengan kebijakan memberlakukan HET ke seluruh jenis minyak goreng. ”Negara seharusnya tegas, apalagi sudah diketahui siapa saja perusahaannya dan pengedarnya. Jika minyak goreng kemasan yang awalnya menghilang tiba-tiba muncul lagi setelah HET dicabut, artinya selama ini ditimbun. Lantas, kenapa tidak ada yang ditindak?” ujarnya.
Tak kunjung murah
Meskipun regulasi terkait sudah diterbitkan dan perusahaan sudah ditugaskan memproduksi minyak goreng bersubsidi, harga minyak goreng curah di pasaran belum kembali sesuai dengan HET. Data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, per 23 Maret 2022, harga minyak goreng curah masih Rp 17.800 per liter, di atas HET Rp 14.000 per liter.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri mengatakan, sampai Rabu (23/3/2022), dari 81 perusahaan minyak goreng sawit yang diestimasi mengikuti program subsidi, sudah ada 64 perusahaan yang mendaftarkan diri ke Sistem Informasi Industri Nasional (Siinas) Kementerian Perindustrian. Sebanyak 18 produsen sedang diverifikasi dan 46 produsen lainnya sudah mendapat nomor registrasi dan mulai memproduksi. ”Sebanyak 33 perusahaan juga sudah berkontrak dengan BPDPKS untuk pembiayaan subsidi,” ujarnya.
Sesuai Peraturan Menperin Nomor 8 Tahun 2022, BPDPKS akan membayarkan biaya subsidi ke perusahaan, berupa selisih antara harga acuan keekonomian dan HET minyak goreng curah sebesar Rp 6.398 per liter. Harga keekonomian akan diperbarui setiap dua pekan sekali, mengacu pada harga rata-rata minyak kelapa sawit (CPO) pada lelang dalam negeri selama satu bulan terakhir.
Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal mengatakan, kebijakan menerapkan subsidi untuk minyak goreng kemasan pada Januari 2022 terbukti tidak berhasil. Dengan demikian, menurut dia, kebijakan subsidi minyak goreng curah menjadi jalan tengah terbaik yang bisa ditempuh pemerintah untuk menjamin kebutuhan warga tetap terpenuhi.
”Di awal tahun kami sudah menyiapkan dana seperti yang diminta (untuk HET minyak goreng kemasan), tetapi ternyata jadi bumerang. Perusahaan keberatan karena tidak mau menjual barang lebih rendah dari harga modalnya. Kebijakan saat ini sudah tepat, perusahaan dibebaskan mengikuti harga pasar untuk kemasan, tetapi untuk curah, mereka harus ikut menjaga supaya tetap sesuai HET,” ujarnya.
Tidak peka
Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat berpendapat, pemerintah punya waktu sekitar satu minggu untuk mengendalikan harga minyak goreng sebelum memasuki bulan Ramadhan. ”Kami minta kepada pemerintah agar ini tidak berlarut-larut, sebelum memasuki bulan puasa dan permintaan semakin tinggi,” katanya.
Ia juga mengkritisi pernyataan sejumlah elite akhir-akhir ini mengenai krisis minyak goreng yang dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat kecil. ”Tidak pantas jika elite, yang tidak harus mengantre minyak goreng dan tidak pernah merasakan kemiskinan, berbicara mengatasnamakan rakyat tanpa berpihak pada rakyat,” ujar Mirah.
Tidak pantas jika elite, yang tidak harus mengantre minyak goreng dan tidak pernah merasakan kemiskinan, berbicara mengatasnamakan rakyat.
Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah mengatakan, menurut laporan anggota SPI, kendati harga sawit di tingkat internasional sedang tinggi, petani sawit dan perkebunan rakyat tidak banyak merasakan imbasnya.
Pasalnya, biaya produksi kelapa sawit juga naik. Ia mencontohkan, pupuk subsidi sudah sulit ditemukan sehingga petani harus memakai pupuk non-subsidi yang harganya naik di kisaran 100-150 persen.
”Pihak yang bisa menikmati keuntungan dari harga yang melambung hanya korporasi sawit besar. Petani sawit sendiri tidak bisa menikmatinya. Apalagi, petani sawit dan keluarganya juga konsumen dari minyak goreng sawit yang harganya naik,” kata Ruli.
Ruli mengatakan, jika ada niat politik yang kuat, pemerintah seharusnya bisa menertibkan korporasi sawit dan produsen minyak goreng yang menyebabkan pasokan langka dan harga melambung.
”Ada banyak instrumen yang bisa dipakai untuk ’memaksa’ perusahaan yang tidak mau menyediakan kebutuhan dalam negeri, seperti membatasi izin ekspor, mengaudit HGU perkebunan sawit. Tetapi, ini tentunya membutuhkan pemerintahan yang mau hadir dan berpihak ke rakyat,” ujarnya.