Kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya pangan dan energi, menambah beban hidup masyarakat. Pemerintah dinilai perlu memberi perhatian lebih pada kelompok rentan, yakni masyarakat miskin dan rentan miskin.
JAKARTA, KOMPAS - Harga minyak mentah dan sejumlah komoditas pangan melonjak dan mencapai rekor tertinggi baru di tengah ketidakpastian global akibat konflik Rusia dan Ukraina. Transmisinya sampai ke Indonesia. Situasi itu antara lain tecermin pada kenaikan harga elpiji, bahan bakar minyak, minyak goreng, kedelai, gandum, daging sapi, dan gula.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, saat dihubungi, Selasa (8/3/2022) berpendapat, konflik Ukraina dan Rusia berdampak langsung maupun tak langsung pada harga komoditas, khususnya bahan bakar minyak (BBM) dan gandum.
Harga minyak mentah jenis Brent melonjak hingga lebih dari 130 dollar AS per barel. Situasi itu makin menekan harga jual BBM di Tanah Air. Pada saat yang sama, harga beberapa komoditas pangan juga naik. "Inflasi kini di hadapan mata dan perlu diantisipasi," kata Faisal.
Indeks harga pangan global, menurut data yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Jumat pekan lalu, mencapai level tertinggi sepanjang masa. Harga minyak nabati, sereal, susu, dan daging mendominasi lonjakan. Indeks tercatat 140,7 atau lebih tinggi dibandingkan puncak tertinggi sebelumnya pada Februari 2011, yakni 137,6.
Harga minyak sawit mentah (CPO) melonjak karena permintaan berlanjut dan bertepatan dengan berkurangnya ketersediaan ekspor dari Indonesia, produsen utama CPO. Sementara harga kedelai terus meningkat seiring memburuknya prospek produksi kedelai di Amerika Selatan.
Indeks harga kelompok sereal juga naik antara lain didorong oleh kenaikan harga gandum yang dipicu oleh konflik Ukraina dan Rusia. Keduanya merupakan pengekspor utama gandum dunia. Indeks harga daging juga mencapai rekor terutama didorong oleh permintaan impor yang kuat di tengah ketatnya pasokan sapi siap potong di Brasil dan kebijakan repopulasi di Australia.
Menurut Faisal, kenaikan harga BBM juga akan berdampak pada harga logistik dan pangan. Oleh karena itu, guna meredam dampaknya di masyarakat, penyesuaian harga BBM perlu dilakukan secara bertahap.
Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, naiknya harga kebutuhan pokok akan semakin menekan daya beli masyarakat golongan menengah ke bawah. Di tengah pendapatan yang belum pulih akibat dampak pandemi, mereka akan makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup jka harga kebutuhan melonjak tinggi. "Masyarakat rentan bisa semakin terpuruk sehingga ketimpangan semakin melebar,” ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu mengatakan, untuk masyarakat miskin dan rentan, pemerintah tetap memberikan bantuan untuk menjaga daya beli dengan mengalokasikan anggaran perlindungan sosial pada tahun 2022 sebesar Rp 431,5 triliun. Secara umum, untuk menjaga stabilitas harga di tingkat nasional, pemerintah pusat dan daerah berkoordinasi dengan Bank Indonesia serta otoritas terkait untuk menciptakan bauran kebijakan yang tepat.
Pada Februari 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia mengalami deflasi 0,02 persen, terutama didorong oleh penurunan harga minyak goreng serta telur dan daging ayam ras. Namun, periode deflasi dinilai bersifat sementara di tengah risiko kenaikan harga pangan dan energi tahun ini.
Berdasarkan survei harga pada pekan pertama Maret 2022, Bank Indonesia (BI) menyebutkan, perkembangan harga selama pekan pertama tersebut tetap terkendali. Meskipun begitu, pada Maret 2022 diperkirakan terjadi inflasi 0,32 persen. Penyumbang utama inflasi antara lain cabai merah, cabai rawit, tempe, tahu, dan bawang merah.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katholik Soegijapranata, Semarang, Westri Kekalih, berpendapat, ketegangan antara Ukraina dan Rusia menambah gangguan pada rantai pasok. Situasi itu mendongkrak ongkos angkut dan menimbulkan inflasi (cost push inflation). Dia memperkirakan harga barang kebutuhan akan tetap tinggi seiring naiknya permintaan menjelang Ramadhan dan Lebaran.
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi menyatakan, pihaknya bersama sejumlah kementerian/lembaga terkait pangan berupaya memastikan pasokan mencukupi dan pergerakan harga berbagai kebutuhan pokok terkendali. ”Jadi, semua dikerjakan paralel demi membantu masyarakat menjelang Lebaran,” ujarnya.
Selain problem minyak goreng, pemerintah berupaya mengendalikan harga pangan lain, seperti daging sapi, gula, dan kedelai. Upaya itu antara lain dengan mempercepat realisasi impor guna mengantisipasi lonjakan harga pangan.
Selain meminta Bulog dan BUMN mengimpor 100.000 ton daging kerbau beku dan 20.000 ton daging sapi beku, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga mengizinkan impor gula mentah lebih awal untuk mengantisipasi kenaikan harga gula. Tahun ini alokasinya mencapai 4,37 juta ton.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memastikan bahan pangan pokok tersedia dalam jumlah yang aman menjelang Ramadhan dan Lebaran 2022. Kepastian itu didapatkan dari hasil validasi data pangan oleh Kementerian Pertanian. Wapres meminta pengendalian harga dan ketersediaan pangan terus dilakukan lintas kementerian.
Wapres berharap, kalaupun naik saat Ramadhan, kenaikan harga bahan pangan tetap pada batas yang wajar. Kenaikan harga saat permintaan meningkat di bulan Ramadhan merupakan hal yang wajar. Namun, Wapres berharap kenaikannya tidak terlalu tinggi.
Terkait kenaikan harga dan kelangkaan sejumlah bahan pokok beberapa waktu terakhir, Wapres meminta seluruh kementerian yang terkait pangan ikut bertanggung jawab. ”Jadi bukan hanya Kementerian Pertanian, melainkan semua kementerian, saya minta ada kolaborasi,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memaparkan kondisi pangan dan pasokan komoditas pertanian. Syahrul memastikan bahwa stok pangan dalam kondisi aman. Kenaikan harga pada beberapa komoditas tertentu dia sebut terkait dengan tingginya harga di pasar internasional.
Kenaikan harga itu, menurut Syahrul, mengindikasikan perlunya pembenahan tata kelola stabilisasi harga. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia tidak lagi bergantung pada bahan pangan impor.
”Terkait beberapa harga komoditas yang naik karena sekarang kan memang harga dunia juga lagi naik, tetapi bukan berarti ketersediaan kurang. Semua cukup,” kata Syahrul. (DIT/DIM/MKN/WKM)