Kesejahteraan petani mesti jadi roh kebijakan dan tujuan pembangunan sektor pertanian, bukan semata mengejar angka produksi. Dengan demikian, produksi berkelanjutan dan target swasembada tidak kopong lagi.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Dengan tingkat ketergantungan impor yang ditaksir mencapai 90 persen, apa yang bisa dilakukan konsumen Indonesia ketika harga kedelai dunia melonjak tinggi? Jika Anda penikmat tahu atau tempe, barangkali hanya satu respons yang paling memungkinkan atas situasi itu, yakni legawa jika harga tempe/tahu harus naik atau ukurannya bertambah kecil.
Mogok produksi tahu dan tempe nasional sepertinya tidak akan membuat harga kedelai dunia turun. Sebagai pengimpor murni dengan porsi yang tidak seberapa, yakni 1,6 persen dari total importasi global yang mencapai 153,31 juta ton pada periode 2019/2020, tak banyak yang bisa dilakukan Indonesia untuk memengaruhi situasi perdagangan global.
Apalagi, saat pembeli kedelai terbesar dunia, yakni China dengan porsi hingga 60 persen, menaikkan pembelian pada periode 2020/2021. Menurut S&P Global Platts, China menjadi pembeli kedelai Amerika Serikat (AS) yang rakus pada 2020-2021, yakni mencapai 58 persen dari total ekspor kedelai AS hingga 10 Desember 2020.
Total penjualan ekspor kumulatif kedelai AS 2020/2021, menurut laporan itu, telah mencapai 53,8 juta ton. Menurut Departemen Pertanian AS, angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan periode 2019/2020, yakni 18,8 juta ton. Oleh karena kuatnya permintaan, harga kedelai berjangka ditutup di atas 12 dollar AS per gantang (27,2 kilogram) pada 17 Desember, angka yang disebut tertinggi sejak Juni 2014.
China diperkirakan melanjutkan permintaan kedelai yang kuat pada semester I-2020 seiring pulihnya krisis peternakan di ”Negeri Tirai Bambu” itu sejak Agustus 2018 akibat serangan penyakit demam babi afrika (ASF). Sebanyak 80 persen kedelai yang diimpor China diolah menjadi pakan ternak di dalam negeri.
Situasi itu segera merembet ke Indonesia. Harga kedelai impor di dalam negeri melonjak dari Rp 6.500-Rp 7.000 per kilogram menjadi Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram. Asosiasi produsen tempe dan tahu di DKI Jakarta dan sejumlah daerah, seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, mogok produksi pada 1-3 Januari 2021 dan meminta pemerintah menstabilkan harga kedelai impor.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan kedelai lokal sehingga Indonesia mesti mengimpor sebagian besar dari total kebutuhan yang mencapai 2,8 juta ton per tahun? Kenapa produksi dalam negeri terus turun? Padahal, program swasembada dicanangkan turun-temurun, dari satu rezim ke rezim berikutnya.
Dalam sejumlah catatan, produksi kedelai nasional mencapai angka tertinggi tahun 1992, yakni 1,87 juta ton. Angka itu dicapai melalui serangkaian program lima tahunan di masa Orde Baru, antara lain, melalui intensifikasi khusus, intensifikasi umum, dan operasi khusus kedelai. Namun, selepas 1992, produksi terus turun. Porsi kedelai impor naik. Padahal, kedelai jadi salah satu komoditas prioritas, selain beras dan jagung, yang produksinya ditargetkan naik.
Jika Kabinet Reformasi di era Presiden BJ Habibie mengusung program Gerakan Mandiri Padi, Jagung, dan Kedelai (Gema Palagung) tahun 1998, Kabinet Kerja di era Presiden Joko Widodo mengusung program Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai (Upsus Pajale) sejak 2015. Namun, mengapa produksi tidak kunjung naik?
Tren penurunan produksi mengindikasikan berkurangnya luas panen. Penurunan areal panen mencerminkan kurangnya insentif bagi petani untuk menanam. Oleh karena dianggap tidak menguntungkan, petani beralih menanam komoditas lain. Maka, meski dana triliunan rupiah digelontorkan untuk menyokong program, target memacu produksi dan berswasembada akan sulit dicapai jika petani terus merugi dan menghadapi ketidakpastian.
Daya saing jadi faktor krusial di era perdagangan bebas. Oleh karena itu, penelitian-pengembangan jadi semakin urgen dan tak boleh putus, terutama untuk menggenjot produktivitas dan mengefisienkan produksi. Hal lain yang tak kalah penting adalah menyebarkan hasilnya ke petani. Harapannya, varietas unggul baru bisa segera ditanam petani dan potensi hasil tinggi tak hanya terjadi di lahan penelitian.
Sebagaimana pengembangan komoditas pertanian lain, kesejahteraan petani mesti jadi roh kebijakan dan tujuan pembangunan, bukan semata mengejar angka produksi. Dengan demikian, produksi bisa berkelanjutan dan target swasembada tidak kopong lagi.