Pembenahan Kebijakan Empat Komoditas Pangan Diusulkan
Pemerintah dinilai terlalu sibuk menggenjot bahan bakar nabati, tetapi lupa dengan pangan. Pemanfaatan CPO dan produk turunannya untuk ketahanan pangan perlu berimbang dengan kebutuhan energi.
JAKARTA, KOMPAS — Stabilitas harga dan stok sejumlah bahan pangan Indonesia masih rentan dengan gejolak dan krisis ekonomi global. Hal itu turut dipengaruhi juga oleh perubahan iklim dan transisi energi yang tidak diimbangi dengan kebutuhan bahan baku bagi industri pangan.
Komoditas pangan yang rentan terhadap kondisi tersebut adalah minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan minyak goreng, kedelai, gula, serta beras. Oleh karena itu, Indonesia perlu membenahi atau menata kembali kebijakan di sektor pangan tersebut.
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin, Rabu (23/2/2022), mengatakan, puncak kenaikan harga CPO dalam 20 tahun terakhir ini terjadi saat krisis ekonomi, mulai dari krisis moneter, fiskal, hingga akibat imbas pandemi. Untuk saat ini, harga CPO masih tinggi, yaitu di kisaran 1.300 dollar AS per ton.
Di sisi lain, saat harga CPO turun jauh sebelum pandemi Covid-19, program biodiesel digulirkan untuk mengatrol harganya. Hingga kini, program biodiesel ditingkatkan menjadi B-30 guna memenuhi target transisi energi.
Program transisi energi ini, lanjut Bustanul, memang mampu menyelamatkan harga CPO, tetapi juga memunculkan persoalan baru. Harga CPO menjadi naik dan pemanfaatan CPO untuk energi juga meningkat 24 persen. Namun, pemanfaatan CPO untuk pangan turun 14,6 persen dan harga minyak goreng melonjak tajam.
”Pemerintah terlalu sibuk menggenjot bahan bakar nabati, tetapi lupa dengan pangan. Pemanfaatan CPO dan produk turunannya untuk ketahanan pangan perlu berimbang dengan kebutuhan energi. Neraca keseimbangan kebutuhan pangan dan bahan bakar nabati diperlukan,” ujarnya dalam Gambir Trade Talk #5 ”Retrospeksi Kinerja Perdagangan 2021 dan Resolusi 2022” yang digelar secara virtual di Jakarta.
Baca juga: Efek Kupu-kupu
Pemerintah terlalu sibuk menggenjot bahan bakar nabati, tetapi lupa dengan pangan. Pemanfaatan CPO dan produk turunannya untuk ketahanan pangan perlu berimbang dengan kebutuhan energi.
Hal itu berbeda dengan kedelai yang kenaikan harganya kerap dipengaruhi oleh ketersediaan stok dan permintaan global. Apalagi dalam dua tahun terakhir ini impor kedelai China sangat tinggi karena industri pangan dan pakan ternak berbasis kedelai berkembang pesat.
Menurut Bustanul, Indonesia merupakan anak bawang produksi kedelai sehingga mau tidak mau sangat bergantung pada kedelai impor. Produksi kedelai Indonesia berkisar 800.000-900.000 ton per tahun, sedangkan konsumsinya mencapai 3 juta ton per tahun.
Untuk itu, salah satu solusinya adalah mempermudah prosedur impor karena jika impor terlambat sedikit saja bisa berdampak besar pada industri pangan domestik. Selain itu, Indonesia perlu fokus pada produksi kedelai kualitas tinggi dan tidak bersaing langsung dengan kedelai impor yang memiliki efisiensi tinggi dan harganya lebih murah.
Pemerintah juga perlu memberikan perhatian khusus pada gula yang harga di tingkat internasional kerap kali bergejolak. Indonesia merupakan negara importir gula tertinggi di dunia, yaitu 4,3 juta ton, jauh di atas China dan Amerika Serikat yang mengimpor gula masing-masing 3,4 juta ton dan 2,9 juta ton.
Bustanul berpendapat, luas lahan dan produksi tebu pada 2021 memang meningkat dibandingkan dengan 2020. Dalam kurun waktu setahun, areal lahan tebu bertambah 2,4 persen menjadi 443.501 hektar, sedangkan produksinya naik 10,9 persen menjadi 2,36 juta ton.
Baca juga: Impor Gula Mentah 2022 Dialokasikan 4,37 Juta Ton
Kendati begitu, produksi gula di Indonesia masih belum optimal karena ada persoalan struktural di hulu dan hilir, seperti produktivitas rendah, proses produksi tidak efisien karena pabrik dan mesin sudah tua, serta rendemen rendah. Namun, masalahnya adalah permintaan di dalam negeri tumbuh terus, terutama industri makanan-minuman.
Jika menaikkan impor gula mentah akan ada ketegangan antara industri gula rafinasi dan industri berbasis tebu. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan perencanaan impor dan mendorong produktivitas tebu di dalam negeri.
”Sembari itu, integrasikan kebijakan perdagangan dengan industri gula berbasis tebu dari hulu hingga hilir. Tanpa integrasi itu, Indonesia tidak akan bisa mengurangi ketergantungan impor gula,” kata Bustanul.
Menjaga pasokan
Terkait beras, Bustanul menilai, kenaikan harga beras global memang mulai mereda sejak Mei 2021. Kenaikan harga beras itu terjadi akibat kemarau ekstrem yang terjadi pada 2018-2019, termasuk di Indonesia.
Untung saja Indonesia pada tahun lalu produksinya pulih dan bagus kendati luas panen turun 140.000 hektar. Indonesia hanya mengimpor beras premium dan itu jumlahnya hanya sedikit, yaitu 356.286 ton pada 2020 dan 352.957 ton pada 2021 (sampai November).
”Saya berharap pada 2022 ini produksi beras bisa lebih baik. Impor beras premium juga tetap bisa diteruskan sebagai pemantik bagi petani untuk meningkatkan produksi beras premium di dalam negeri,” ujarnya.
Saya berharap pada 2022 ini produksi beras bisa lebih baik. Impor beras premium juga tetap bisa diteruskan sebagai pemantik bagi petani untuk meningkatkan produksi beras premium di dalam negeri.
Baca juga: Produksi Beras Nasional Naik meski Luas Panen Turun Tahun Ini
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, harga sejumlah bahan pangan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri memang dipengaruhi oleh harga internasional. Pemerintah tidak dapat mengintervensi secara langsung harga pangan global itu karena pembentukannya bergantung pada pasar internasional.
Namun, pemerintah tetap berupaya menjaga pasokan bahan pangan itu agar tidak mengganggu kebutuhan konsumen dan industri di dalam negeri. Kedelai, misalnya, pemerintah tidak bisa menentukan harganya, tetapi berbagai insentif telah diberikan, yaitu menetapkan bea masuk impor nol persen dan mempermudah perizinan impor.
”Kami juga berupaya mengatur waktu yang tepat untuk menjaga stok dan harga pangan secara musiman, terutama menjelang Ramadhan-Lebaran dan Natal-Tahun Baru,” ujarnya.
Baca juga: Harga Jadi Faktor Pemikat
Saat ini, pemerintah tengah berupaya menstabilkan harga minyak goreng dan menjamin stok kedelai impor. Harga minyak goreng naik akibat lonjakan harga CPO global. Begitu juga dengan harga kedelai impor di dalam negeri yang naik akibat lonjakan harga kedelai internasional.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan per 22 Februari 2022, harga minyak goreng curah dan kemasan sederhana masing-masing Rp 15.900 per liter dan Rp 16.300 per liter. Dibandingkan sehari sebelumnya, harga minyak goreng curah tidak berubah, sedangkan harga minyak goreng kemasan sederhana justru naik 1,24 persen.
Dalam sehari, harga kedelai impor melonjak 1,56 persen dari Rp 12.800 per kg menjadi Rp 13.000 per kg. Dalam sepekan terakhir, lonjakan harganya sudah mencapai 3,17 persen.
Baca juga: Penyediaan Minyak Goreng Harian Digandakan