Produksi Ditarget 1 Juta Ton, Kementan Libatkan "Off-taker"
Kementerian Pertanian menargetkan produksi 1 juta ton dari sekitar 650.000 hektar lahan kedelai tahun ini. Penjamin serapan dilibatkan guna menjamin penyerapan hasil panen petani dengan harga yang layak.
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Pertanian menargetkan produksi kedelai sebanyak 1 juta ton pada tahun 2022, meski produksi pada 2021 hanya 215.000 ton. Kementerian Pertanian juga menggandeng off-taker atau penjamin serapan agar ada kepastian penjualan bagi petani. Dengan demikian, para petani diharapkan melirik kedelai kembali setelah "berpaling" ke komoditas lain.
Direktur Aneka Kacang dan Umbi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Yuris Tiyanto saat dihubungi, Selasa (22/2/2022) mengatakan, tahun ini Kementerian Pertanian mengembangkan 52.000 hektar tanaman kedelai dengan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Sementara program dengan dana non-APBN, yakni melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR), menyasar 600.000 hektar dan tersebar di 14 provinsi. "Dari pengembangan itu, produksi kedelai diharapkan mencapai 1,04 juta ton, seperti yang diinginkan pengusaha tahu tempe karena ada kebutuhan kedelai lokal 1 juta ton," kata Yuris.
Pada tahun 2021, pengembangan kedelai dengan APBN menyasar 144.000 hektar. Kendati luasan lahan pengembangan dengan APBN turun, pengembangan kedelai pada tahun 2022 juga menggunakan skema program KUR bagi petani kedelai. Sebelumnya, kata Yuris, program KUR untuk kedelai tidak ada. Dengan demikian, total luas pengembangan kedelai pada tahun 2022 mencapai lebih dari 650.000 hektar.
Guna mencapai target itu, Kementerian Pertanian menggandengpihak penyerap atau off taker sebagai avalis (penjamin) untuk KUR petani. Menurut Yuris, sejauh ini ada tiga perusahaan yang mendaftarkan diri sebagai off taker dan semuanya di Jawa. Mereka adalah CV Java Agro Prima, DI Yogyakarta; Forum Peduli Bangsa di Bogor, Jawa Barat; dan UD Sedulur Tani, Jombang, Jawa Timur.
Baca juga: Pemerintah Didesak Stabilkan Harga
Nantinya, para petani akan mendapat sarana produksi pertanian (saprodi) dan hasil panennya dibeli para off taker. Mereka menyalurkannya ke pabrik tahu tempe, perusahaan multinasional, hingga tempat produksi tempe ekspor. Selanjutnya, kata Yuris, Kementerian Pertanian terbuka dan mempersilakan jika ada perusahaan yang hendak mendaftar jadi off taker kedelai.
Akan tetapi, dia mengakui pola tersebut memiliki kekurangan. "Salah satunya, hingga hari ini KUR belum cair. Masalahnya, masa tanam paling banyak itu April-Juli. Jadi, kalau sudah lewat (baru cair), tidak ada artinya. Tapi tim saya hari ini sudah ke lapangan. Harapannya, pekan depan sudah ada verifikasi dari bank," ujar Yuris.
Selama ini, lanjut Yuris, pihaknya selalu berkomunikasi dengan pengusaha tahu tempe. "Kebutuhan 1 juta kedelai lokal sudah lama, tetapi saat ini kan pengiriman kedelai impor kurang akibat diborong China untuk pakan babi. Itu membuat pengusaha tahu tempe mengeluh karena harganya mahal. Namun, kami sebagai pembina petani berharap (harga kedelai) jangan murah. Minimal sesuai harga acuan pemerintah Rp 8.500 per kg (di tingkat petani)," katanya.
Produksi
Pada 2021, produksi kedelai yakni 215.000 ton. Adapun dalam Rencana Strategis Ditjen Tanaman Pangan Kementan 2020-2024 (Revisi I), tertera target produksi kedelai ialah 0,3 juta ton pada 2022, 0,32 juta ton pada 2023, dan 0,33 juta ton pada 2024. Namun, Yuris menekankan tahun ini ditarget 1 juta ton dengan sejumlah upaya agar petani kembali bersemangat menanam kedelai.
Upaya perluasan produksi juga diharapkan meningkatkan produktivitas kedelai. "Saat ini, produktivitas masih 1,5-1,6 ton per hektar, sedangkan target kami 1,7-1,8 ton per hektar. Apabila harga bagus, petani akan bersemangat menanam kedelai. Disertai pendampingan yang baik, produktivitas nantinya akan meningkat," jelasnya.
Ia menambahkan, varietas yang didorong untuk ditanam adalah varietas yang memiliki biji relatif besar, seperti varietas Grobogan, karena diharapkan dapat mensubtitusi kedelai impor yang cenderung berbiji besar dan putih. Namun, pihaknya juga tetap memfasilitasi jika ada petani yang menginginkan varietas dengan karakter biji kecil.
Sebelumnya, sejumlah petani berharap melonjaknya harga kedelai impor menjadi momentum bagi kedelai lokal untuk lebih banyak mendapat tempat dalam pemenuhan kebutuhan nasional. Selama ini, petani kerap kali dihadapkan pada sulitnya penjualan, terutama saat panen raya. Harga jatuh, hingga akhirnya tak menanam lagi.
Baca juga:
Target Kopong Swasembada Kedelai
Pakar kedelai yang juga Guru Besar Ekofisiologi Tanaman IPB University, Munif Ghulamahdi menuturkan, dari segi produktivitas, sebenarnya kedelai sangat mungkin berkembang di Indonesia. Para peneliti pun sudah membuktikannya. Namun, masalah utamanya ada pada luasan areal yang terus melorot karena petani tidak tertarik.
Harga kedelai selama ini kerap paling rendah di antara padi, jagung, dan kacang hijau. "Pemerintah harusnya mengamankan dari sisi harga. Petani yang sudah menghasilkan dan baik, tanpa didukung keamanan harganya, ya sulit. Pada 2016-2017, pernah jatuh hingga Rp 5.500 per kilogram," kata Munif.
Saat ini, harga sedang bagus, hingga sekitar Rp 10.000 per kg. Namun, sayangnya, saat harga baik dan kebutuhan meningkat, barang justru tidak ada. Ia berharap upaya pemerintah yang menargetkan produksi 1 juta ton pada 2022 benar-benar terealisasi. Fasilitasi kepada para petani harus dipastikan hingga pengamanan harga jual.
Munif mengemukakan, saat ini penanaman kedelai lebih banyak dilakukan dengan sistem rotasi di lahan-lahan sawah. Dengan sistem itu, petani memanfaatkan efek residu pupuk. Namun, pengembangan kedelai tidak mungkin jika terus bertumpu di lahan di Pulau Jawa. Harus ada alternatif di luar Pulau Jawa, dan banyak potensi yang terbukti baik, seperti Aceh, Riau, Lampung, Jambi, dan Sulawesi Selatan. Nusa Tenggara Barat pun cocok dengan iklimnya dan selama ini menjadi sentra.
Penanaman kedelai didorong di lahan yang intensitas tanamnya baru satu kali. "Di rawa banyak. Kalau produktivitas padi sudah 4 ton per hektar, palawijanya bagus. Memang pH (derajat keasaman)-nya rendah, tetapi kalau sudah dibudidayakan lama-lama akan baik. Juga tanaman sela di perkebunan kelapa sawit. Mesti ada keberpihakan ke arah sana," katanya.
Menurut Ketua Umum Gerbang Tani Indonesia dan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Idham Arsyad, kemampuan produksi Indonesia sebenarnya bisa mencapai 1,5 juta ton. Namun, yang perlu ditunjukkan ialah keseriusan, termasuk soal lahan, insentif untuk petani, dan jaminan harga. Sebab, niat terus-terusan tidak akan cukup.
Reforma agraria
Penguatan produksi kedelai lokal juga berkaitan erat dengan isu reforma agraria dan redistribusi lahan bagi petani. "Yang mendesak ke depan adalah memastikan lahan khusus untuk kedelai dalam skema program reforma agraria. Kegagalan kita berdaulat di kedelai dan pangan lainnya, salah satunya karena mandeknya program itu," ujar dia.
Selain itu, insentif harga juga menjadi salah satu instrumen penting. Pasalnya, sebagian besar produsen tahu dan tempe menggunakan kedelai impor yang harganya lebih murah dibandingkan kedelai lokal.
Selama ini, sekitar 88-90 persen kebutuhan kedelai nasional dipenuhi dengan kedelai impor. Sejumlah produsen menilai kedelai lokal tak cocok dibuat tempe. Padahal, menurut Munif Munif Ghulamahdi, kedelai lokal pun berkualitas dan rasanya enak. Namun, lantaran tak ada kepastian harga, banyak petani tak tertarik. Produksi yang berkelanjutan pun tak tercapai.
Baca juga: Lonjakan Harga Kedelai Impor, Momentum Kembangkan Kedelai Lokal
Beberapa waktu terakhir, harga kedelai impor terus melejit. Menurut TradingEconomics, Selasa (22/2/2022) sore, harga kedelai dunia pada bursa berjangka menyentuh 16,28 dollar AS per gantang, mendekati harga tertinggi tahun lalu yang 16,61 dollar AS per gantang, yakni pada 12 Mei 2021. Hal itu memicu mogoknya produksi dan dagang tahu tempe di berbagai daerah di Indonesia.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, meningkatnya harga kedelai impor disebabkan China yang memborong kedelai untuk keperluan industri peternakan mereka, yakni pada babi. Kedelai dicacah lalu bungkilnya jadi pakan babi. Jumlahnya mencapai 100 juta ton, sedangkan Indonesia tahun lalu mengimpor 2,46 juta ton.
"Berargumen oke, tetapi yang pasti memang harganya tinggi. Pertama karena cuaca yang tidak baik, kemudian permintaan yang sangat tinggi dari China," kata Lutfi dalam diskusi pada Musyawarah Nasional V DPN Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) di Yogyakarta, yang disiarkan daring, Selasa (22/2).