Pemerintah akan merevisi Permenaker No 2/2022 tentang aturan baru pencairan Jaminan Hari Tua. Namun, arah revisi terhadap aturan tersebut belum ditentukan. Pemerintah masih akan menampung berbagai masukan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah masih mengkaji substansi revisi peraturan baru terkait pencairan Jaminan Hari Tua atau JHT yang belakangan memancing penolakan kuat dari publik. Ada sejumlah masukan yang berkembang, seperti memperpanjang masa transisi penataan JHT sampai mengembalikan akses pekerja untuk mencairkan tabungan JHT-nya ketika putus kerja.
Keputusan untuk merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua itu diambil usai pertemuan antara Presiden Joko Widodo, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pada Senin (21/2/2022).
Dalam pertemuan itu, Presiden memerintahkan agar tata cara dan persyaratan pencairan JHT dapat dipermudah dan disederhanakan supaya dana JHT bisa diambil pekerja yang sedang mengalami masa sulit. Hal itu akan diatur lebih lanjut dalam revisi Permenaker No 2/2022 atau dalam regulasi lain.
“Presiden sangat memperhatikan nasib pekerja dan meminta kita untuk memitigasi dan membantu pekerja yang terdampak pandemi,” kata Ida Fauziyah dalam keterangan resmi, Selasa (22/2).
Namun, pemerintah belum menentukan arah revisi Permenaker No 2/2022. Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pihaknya akan mengkaji bagian apa saja yang perlu direvisi. Sebagai langkah awal, pemerintah akan melakukan kajian dengan menggandeng kalangan akademisi serta perwakilan buruh untuk memberi masukan.
Terkait mengembalikan lagi hak pekerja untuk mencairkan tabungan JHT-nya ketika mengalami PHK atau mengundurkan diri, sesuai dengan isi Permenaker No 19/2015 sebelumnya, Anwar belum bisa memastikan.
“Itu pertanyaan besar yang tidak bisa langsung dijawab. Kami tidak tergesa-gesa, kami akan mendengar semua masukan, termasuk arahan Presiden untuk menyederhanakan regulasi pencairan JHT. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara menyederhanakannya,” ujarnya.
Itu pertanyaan besar yang tidak bisa langsung dijawab. Kami tidak tergesa-gesa, kami akan mendengar semua masukan.
Anwar mengatakan, untuk saat ini sampai 3 Mei 2022, tata cara pencairan JHT yang berlaku masih sesuai Permenaker No 19/2015. Pekerja yang mengalami PHK dan mengundurkan diri masih dapat mencairkan dana JHT-nya sebelum memasuki usia pensiun. Itu karena Permenaker No 2/2022 baru akan berlaku per Mei 2022, tiga bulan setelah diundangkan.
Ia menargetkan pemerintah bisa mengejar revisi pada kurun waktu tiga bulan itu. Hasil revisinya nanti akan berupa permenaker baru untuk mengoreksi Permenaker No 2/2022 dan Permenaker No 19/2015. “Kami mengikuti kaidah dalam penyusunan peraturan perundang-undangan,” ujar Anwar.
Selain JHT, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga telah dijalankan, meski secara resmi tidak jadi diluncurkan. Dengan JKP, pekerja yang di-PHK mendapatkan manfaat uang tunai, pelatihan kerja, serta akses ke pusat informasi pasar kerja dan layanan konseling kerja.
Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antarlembaga BP Jamsostek Dian Agung Senoaji mengatakan, kendati acara peluncuran JKP ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, program itu pada tataran teknis sudah berjalan. “Saat ini, BP Jamsostek telah membayarkan manfaat program JKP berupa uang tunai kepada sejumlah peserta yang memenuhi syarat,” katanya.
Kemenaker mencatat, sejak 11-18 Februari 2022, BP Jamsostek sudah membayarkan manfaat uang tunai itu ke 48 orang yang mengajukan klaim. “Berdasarkan perhitungan aktuaris, tahun 2022 ini akan ada sekitar 629.000 orang pekerja yang menerima manfaat JKP,” kata Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadhly Harahap.
Menanggapi rencana revisi itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta pemerintah untuk mengembalikan lagi aturan JHT pada substansi Permenaker No 19/2015 alias mengembalikan lagi akses buruh untuk mencairkan tabungan JHT-nya saat kehilangan pekerjaan.
Menurutnya, pemerintah seharusnya dengan tegas mencabut Permenaker No 2/2022. Ia pun berharap hal ini betul-betul dijalankan oleh Menko Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan.
“Jangan lagi ada akal-akalan terkait kalimat-kalimat revisi seperti apa yang akan dituangkan dalam revisi nanti. Cukup keluarkan satu permenaker baru yang isinya menyatakan Permenaker No 2/2022 tidak berlaku dan memberlakukan kembali Permenaker No 19/2015. Jangan main-main lagi,” katanya.
Seperti diketahui, Permenaker No 19/2015 memungkinkan pekerja mengklaim tabungan JHT-nya satu bulan setelah mengundurkan diri atau mengalami PHK. Sementara, dalam Permenaker No 2/2022, tabungan JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun (usia pensiun), saat meninggal dunia, cacat total tetap, atau ketika berganti kewarganegaraan.
Jangan lagi ada akal-akalan terkait kalimat-kalimat revisi seperti apa yang akan dituangkan dalam revisi nanti.
Sementara itu, masukan lain disampaikan oleh Ombudsman RI, yang mengusulkan agar revisi dilakukan terbatas untuk memperpanjang masa transisi penataan sistem JHT tersebut.
Anggota Ombudsman RI Robert Endi Jaweng mengatakan, revisi atas aturan baru JHT sebaiknya tidak menyangkut filosofi JHT sebagai instrumen perlindungan jangka panjang dan tabungan masa tua. Melainkan, hanya memperpanjang masa transisi pemberlakuan Permenaker No 2/2022 dari awalnya tiga bulan (berlaku mulai Mei 2022) menjadi 1-2 tahun (berlaku mulai tahun 2023-2024).
“Filosofi JHT sebagai perlindungan jangka panjang tetap jangan diubah, karena filosofinya akan rusak kalau kita kembali lagi ke (aturan) tahun 2015. Kerangka besarnya tetap menata sistem jaminan sosial nasional (SJSN) secara menyeluruh. Strategi transisi atas JHT ini adalah opsi tindakan taktis sementara,” kata Robert.
Masa transisi itu harus dimanfaatkan untuk membenahi program JKP sebagai alternatif pengganti JHT kelak, serta menata ulang program perlindungan sosial lainnya di luar jamsostek. “Selain diperkirakan pandemi sudah bisa lebih terkendali dalam dua tahun ke depan, juga agar pelaksanaan JKP bisa ditata lebih baik sebagai bantalan sosial-ekonomi buruh,” ujarnya.