Jaminan Kehilangan Pekerjaan Diluncurkan di Tengah Polemik
Ada berbagai persoalan yang menyertai program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang resmi diluncurkan Selasa ini. JKP dinilai belum siap untuk menggantikan Jaminan Hari Tua sebagai bantalan sosial kala putus kerja.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah resmi meluncurkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Selasa (22/2/2022), di tengah pro-kontra aturan baru pencairan Jaminan Hari Tua. Ada sederet pekerjaan rumah yang perlu dilakukan agar program tunjangan pengangguran tersebut efektif melindungi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Menurut rencana, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang merupakan produk dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu akan diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. JKP akan menjadi program jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek) baru yang dikelola oleh BP Jamsostek bersama Kementerian Ketenagakerjaan.
Program tersebut diluncurkan di tengah polemik penolakan buruh terhadap Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Pemerintah berencana menjadikan JKP sebagai pengganti JHT yang selama ini dijadikan bantalan sosial oleh pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, ada sederet persoalan dalam regulasi JKP yang implementasi teknisnya perlu diperjelas serta disosialisasikan dengan gencar kepada pengusaha dan pekerja. Jika JKP langsung diterapkan tanpa sosialisasi dan aturan teknis yang jelas, pekerja yang terkena PHK bisa sulit mendapat manfaat JKP sesuai haknya.
Ia mencontohkan, masih banyak pekerja yang sekarang belum terdaftar di JKP. Per Desember 2021, peserta JKP tercatat 10,9 juta orang. Masih di bawah jumlah peserta JHT, yaitu 16,2 juta orang; peserta Jaminan Pensiun (JP) 13 juta orang; peserta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) 20 juta orang; serta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebanyak 16,7 juta orang.
Timboel menyoroti Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP. Ketentuan itu mengatur, perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke JKP wajib membayarkan hak pekerja yang di-PHK dalam bentuk uang tunai sesuai dengan besaran yang diberi pemerintah lewat JKP serta memberikan manfaat pelatihan kerja.
”Belum semua pekerja dan pengusaha tahu hal ini. Oleh karena itu, peran pengawas ketenagakerjaan harus aktif untuk menyosialisasikan dan memastikan aturan itu ditegakkan. Kalau tidak, JKP akan mubazir dan ini yang membuat pekerja lebih memilih mencairkan tabungan JHT-nya,” kata Timboel, Senin (21/2/2022).
Persoalan lain dalam regulasi JKP yang ia soroti adalah aturan dalam PP No 37/2021 yang mewajibkan pekerja mengajukan klaim manfaat dalam waktu tiga bulan sejak di-PHK. Jika tidak, manfaat JKP-nya dianggap hangus. Sementara, realitasnya, proses perselisihan hubungan industrial akibat PHK bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan sampai satu tahun.
Perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke JKP wajib membayarkan hak pekerja yang di-PHK dalam bentuk uang tunai sesuai dengan manfaat JKP serta memberikan manfaat pelatihan kerja.
Jalan tengah
Menurut dia, hal ini bukan masalah jika putusan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Mahkamah Agung (MA) menetapkan tanggal efektif PHK yang diakui adalah sesuai dengan tanggal putusan perselisihan itu keluar. Artinya, pekerja masih bisa mengajukan klaim manfaat JKP setelah putusan pengadilan keluar.
Namun, jika sengketa diputus mundur (backdate) sehingga tanggal efektif PHK yang diakui adalah tanggal pemberitahuan PHK oleh perusahaan yang sudah lewat berbulan-bulan, pekerja tidak bisa mengklaim manfaat JKP-nya karena sudah dianggap melewati tenggat. Sementara jenis putusan seperti ini kerap ditemukan.
Menurut Timboel, pemerintah perlu mencari jalan tengah untuk pekerja yang menempuh proses panjang itu. ”Ini hal krusial yang bisa merugikan buruh karena kita tidak tahu pengadilan akan memutus seperti apa. Seharusnya, dengan adanya JKP ini, UU Perselisihan Hubungan Industrial direvisi agar putusannya bisa lebih cepat dan tanggal efektif PHK tidak backdate,” katanya.
Pertahankan JHT
Secara terpisah, anggota Ombudsman RI, Robert Endy Jaweng, mengatakan, masih ada banyak hal yang perlu dibenahi dari JKP. Di atas kertas, program tersebut dinilai masih terlalu rumit dari sisi prosedural administrasi dan persyaratan sehingga implementasinya kelak dikhawatirkan justru menyulitkan pekerja yang terkena PHK.
Namun, dalam kerangka perbaikan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), ia menilai program ini perlu dijalankan terlebih dahulu. Hanya saja, JKP tidak bisa langsung dijadikan pengganti JHT. Oleh karena itu, Ombudsman menyarankan agar implementasi Permenaker No 2/2022 tentang ketentuan baru JHT ditunda sampai dua tahun, sembari program JKP berjalan dan dievaluasi.
”Narasi bahwa JKP bisa menggantikan JHT itu mungkin benar, tetapi dalam konteks saat ini masih misleading. JHT sampai sekarang masih menjadi sandaran bagi sebagian besar pekerja yang mengalami PHK, dan JKP belum bisa menggantikan itu,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan, pemerintah sudah siap menjalankan JKP. Seluruh regulasi terkait sudah selesai, demikian juga kesiapan dana dari APBN sebagai modal awal serta hasil rekomposisi iuran JKK dan JKM yang akan mendanai program JKP.
”Ini sudah kami siapkan dari tahun lalu. Pekerja yang terdaftar sebagai peserta JKP juga sudah mendapatkan notifikasi kepesertaan dari sekarang,” kata Putri.
Terkait JKP yang akan menggantikan JHT sebagai bantalan sosial buruh saat putus kerja, Putri mengatakan tidak ada maksud pemerintah untuk terburu-buru. ”JKP lahir duluan dan sudah bisa diklaim per Februari ini. Tahapannya memang begitu, JKP dulu kita keluarkan, baru berikutnya penataan JHT dimulai bulan Mei 2022,” katanya.