Pemerintah sebaiknya mengevaluasi program Jaminan Kehilangan Pekerjaan selama setahun ke depan sebelum menata ulang program Jaminan Hari Tua.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah mengembalikan program Jaminan Hari Tua ke fungsi awalnya sebagai tabungan masa tua dinilai terlalu terburu-buru. Sebelum mengubah aturan itu, pemerintah seharusnya terlebih dahulu mengevaluasi dan memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan sebagai program tunjangan pengangguran yang baru.
Aturan baru terkait Jaminan Hari Tua (JHT) tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Aturan yang diteken pada 2 Februari 2022 itu sudah diwacanakan pemerintah sejak Oktober 2021.
Aturan itu mengubah aturan sebelumnya, Permenaker No 19/2015, yang memungkinkan pekerja peserta BP Jamsostek mengklaim tabungan JHT-nya satu bulan seusai mengundurkan diri (resign) atau seusai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sekarang, tabungan JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun (usia pensiun), meninggal dunia, cacat total tetap, atau ketika berganti kewarganegaraan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, JHT memang ditujukan untuk tabungan masa tua. Meski demikian, keputusan mengembalikan JHT pada khitahnya itu tidak tepat dilakukan sekarang.
”Sebenarnya memang sudah sesuai porsinya Jaminan Hari Tua itu untuk diberikan saat hari tua. Namun, pemerintah seharusnya lebih sensitif dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat saat ini,” tutur Faisal, Minggu (13/2/2022).
Di tengah situasi yang serba tidak pasti akibat pandemi, disrupsi sektor ketenagakerjaan, serta tergerusnya kesejahteraan dan hak-hak pekerja, kebijakan itu dinilai kurang sensitif dengan kebutuhan masyarakat, khususnya yang berpenghasilan menengah ke bawah.
Bagi pekerja dengan penghasilan pas-pasan, tabungan JHT menjadi bantalan sosial ketika mereka kehilangan pekerjaan. Uang tabungan bisa dipakai untuk menyambung hidup, mengambil kursus pelatihan, membayar utang, membuka usaha, dan mencukupi kebutuhan lain yang selama ini sulit dipenuhi.
”Yang dikhawatirkan masyarakat itu kebutuhan yang ada di depan mata sekarang, bukan yang nanti. Jadi, meski kebijakan itu benar dari sisi filosofis, kondisi sosial masyarakat saat ini juga perlu diperhatikan pemerintah,” kata Faisal.
Meski kebijakan itu benar secara filosofis, kondisi sosial masyarakat saat ini juga perlu diperhatikan pemerintah.
Tidak bisa disamakan
Terlebih, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan dijadikan pengganti JHT baru akan resmi berlaku pada 22 Februari 2022. Program tunjangan pengangguran itu belum teruji efektivitasnya dalam melindungi pekerja. Masih ada beberapa ketentuan yang membuat program itu kurang inklusif dalam melindungi semua peserta Jamsostek yang kehilangan pekerjaan.
”Publik belum pernah merasakan manfaat JKP. Mereka tidak punya gambaran secara utuh apakah JKP bisa menggantikan JHT. Apakah manfaat yang mereka dapat dari JKP nanti sepadan dengan JHT atau justru lebih kecil,” kata Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre Andriko Otang.
Menurut Andriko, di atas kertas, program JKP tidak bisa disamakan dengan JHT. Pertama, JKP hanya melindungi pekerja formal dengan masa kepesertaan tertentu yang mengalami PHK. Pekerja yang resign dan pekerja informal tidak bisa mengakses JKP. Sementara itu, sebelum Permenaker No 2/2022, pencairan tabungan JHT bisa dilakukan oleh semua peserta JHT yang kehilangan pekerjaan.
Kedua, manfaat uang tunai (cash benefit) dalam JKP yang diberikan sebesar 45 persen dari upah selama tiga bulan pertama dan 25 persen dari upah selama tiga bulan terakhir diperkirakan tidak akan sebesar manfaat yang didapat pekerja dari mencairkan tabungan JHT. Apalagi, jika pekerja bersangkutan sudah bekerja untuk waktu lama.
Ketiga, saat ini, kepesertaan JHT masih jauh lebih banyak dari JKP. ”Perkiraan kami, ada lebih kurang 20 juta peserta JHT yang belum tentu bisa mengakses JKP ketika kehilangan pekerjaan. Makanya, secara filosofis kebijakan ini mungkin benar, tetapi secara tatanan sosiologis dan empirik, belum layak untuk diterapkan, terlalu gegabah,” katanya.
Ia pun menilai sebaiknya Permenaker No 2/2022 tidak terburu-buru diterapkan. Pemerintah perlu mengevaluasi dulu implementasi JKP selama setahun ke depan, baru kemudian memetakan ulang skema kebijakan jaminan sosial ke depan. ”Jadi, untuk sekarang, JHT jangan diutak-atik dulu, biarkan saja sesuai aturan lama. Nanti setelah setahun, kita lihat apakah kebijakan itu perlu direvisi atau tidak,” ujarnya.
Pemerintah perlu mengevaluasi dulu implementasi JKP selama setahun ke depan, baru memetakan ulang skema kebijakan jaminan sosial ke depan.
Janjikan dialog
Menyikapi polemik aturan baru JHT tersebut, pemerintah pun akan mengadakan dialog dengan pimpinan serikat pekerja dan serikat buruh. Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadhly Harahap mengatakan, sebenarnya penyusunan Permenaker No 2/2022 sudah melalui proses dialog dengan pemangku kepentingan ketenagakerjaan dan kementerian/lembaga terkait.
”Namun, karena saat ini terjadi pro-kontra, dalam waktu dekat ini Menaker (Ida Fauziyah) akan melakukan dialog dan sosialisasi dengan stakeholder, terutama para pimpinan serikat pekerja dan serikat buruh,” ujarnya.
Chairul menambahkan, pemerintah memutuskan mengembalikan JHT ke fungsi awalnya setelah mempertimbangkan banyaknya program jaminan sosial yang sudah disediakan pemerintah kepada pekerja. Program itu, antara lain, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Pensiun, dan JKP.
”JHT itu program perlindungan untuk jangka panjang agar saat hari tua nanti pekerja punya dana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kalau diambil semuanya dalam waktu tertentu, tujuannya tidak akan tercapai,” katanya.