Pemerintah Harus Lindungi Harga TBS di Tingkat Petani
Tata kelola perkebunan sawit dari hulu ke hilir mesti diperbaiki. Kebijakan pemerintah jterkait kelapa sawit angan sampai merugikan petani sawit.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan dalam negeri minyak sawit mentah atau CPO dan CPO olahan diharapkan jangan sampai menekan harga tandan buah segar atau TBS di tingkat petani. Tata kelola sawit mulai dari hulu ke hilir mesti diperbaiki.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, dihubungi di Jakarta, Jumat (28/1/2022) mengatakan, setuju dengan kebijakan pemerintah terkait CPO. Namun, pemerintah juga seharusnya memiliki strategi untuk melindungi harga TBS petani. “Sebenarnya, yang utama bagi kami petani sawit itu, harga TBS bisa stabil. Namun, dengan dengan indikator DMO (domestic market obligation atau pemenuhan kebutuhan dalam negeri minyak), kan korelasinya harga TBS akan negatif,” ujarnya.
Sebelumnya, Kamis (27/1/2022), pemerintah menerapkan kebijakan DMO CPO dan CPO olahan, serta menetapkan harga eceran tertinggi baru untuk minyak goreng. Dua kebijakan itu diharapkan dapat menjaga pasokan bahan baku dan menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Kewajiban DMO berlaku untuk CPO dan CPO olahan atau CPO yang telah mengalami proses pemucatan, penghilangan asam lemak bebas, dan bau (refined bleached and deodorized palm olein/RBDPO). Kuota DMO kedua produk itu ditetapkan 20 persen dari volume ekspor setiap eksportir, sementara harganya dipatok Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 per kilogram untuk produk RBDPO.
Gulat menambahkan, petani sawit saat ini sudah tertekan dengan harga pupuk, herbisida, dan pestisida yang tinggi. Kemudian juga beban bea keluar dan pungutan ekspor yang mencapai 375 dollar AS per ton CPO. Berdasar statistik, imbuhnya, dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia, sebesar 42 persen merupakan petani dan 58 persen korporasi. Produksi CPO petani berkisar 3-3,5 ton per hektar per tahun, sedangkan korporasi 4,5-5,5 ton per hektar per tahun.
Gulat menyarankan pemerintah, antara lain membuat lembaga penampung CPO dari kewajiban 20 persen. “Nantinya, produsen minyak goreng gotong royong mengambil CPO dari lembaga penampung ini (tangki sentral). Langkah ini dapat diambil supaya akurat dan jelas penggunaannya atau transparan,” ucapnya.
Ia juga meminta pemerintah segera memperbaiki tata kelola minyak goreng, khususnya persebaran pabrik minyak goreng gotong royong. Akan lebih baik bagi pemerintah memfasilitasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) petani untuk memproduksi minyak goreng gotong royong tersebut.
Serangan balik
Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rusli Abdullah mengatakan, DMO sawit dan batubara berbeda, baik pasar maupun entitasnya. Untuk batubara, pembelinya jelas PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), sedangkan sawit belum jelas.
Kebijakan DMO pada CPO dan RBDPO, menurut Rusli, justru berpotensi menaikkan harga CPO dunia. Jika hal tersebut terjadi, hal itu dapat menyerang balik (backfire) bagi Indonesia, karena harga-harga lain juga akan naik. Begitu juga terkait dengan nasib petani sawit.
“Menurut saya, DMO ini dinomorsekiankan. Namun, subsidi pun dilihat dulu efektivitasnya. Sementara untuk jangka panjang, perlu ada hilirisasi minyak goreng. Saya lihat, (dalam subsidi) ini kan masih ada minyak curah, serta komitmen pengusaha yang belum mau menyediakan sesuai yang dijanjikan,” kata kata Rusli dalam diskusi daring harga minyak goreng yang digelar PARA Syndicate, Jumat.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan, masalah kenaikan harga minyak goreng merupakan masalah hulu ke hilir yang harus dituntaskan. Namun, pemerintah belum melakukan aksi komprehensif, sehingga masih menimbulkan banyak pertanyaan di konsumen.
“Perusahaan ritel sudah kehabisan stok untuk komoditas minyak goreng. Pemerintah seharusnya bukan semata-mata tetapkan harga tanpa melakukan aksi-aksi konkret dari hulu terkait rantai pasok dan kebijakan DMO CPO, sehingga semestinya masalah bisa diatasi secara terintegrasi,” kata Tulus.
Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade, menilai pemerintah sudah melakukan langkah yang baik, meski terlambat. Hal itu karena pemerintah ingin mencoba dulu operasi pasar yang ternyata tak berhasil, karena pengusaha tak menepati komitmen penyediaan minyak goreng. “Kami mengapresiasi. Memang agak terlambat karena diuji coba dulu operasi pasar dan ternyata pemerintah tak bisa mengendalikan. Usulan kami dari Partai Gerindra agar ada DMO minyak goreng disambut baik dan dieksekusi,” katanya.