Perlindungan Data Pribadi pada Pertukaran Lintas Negara Makin Disoroti
Dalam Digital Economy Working Group G-20, topik pertukaran data lintas negara dan perlindungan data pribadi menjadi sorotan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data digital yang dihasilkan ataupun digunakan dalam aktivitas ekonomi digital diperkirakan terus membesar. Pada tahun 2025, data digital yang beredar per hari diprediksi mencapai 453 miliar gigabit. Fenomena ini menuntut regulasi perlindungan data pribadi, baik di dalam maupun lintas negara, yang semakin membaik.
”Dengan prediksi data beredar per hari bisa mencapai 453 miliar gigabit pada 2025, desakan perlindungan data pribadi juga akan membesar. Sebab, ada potensi ancaman kejahatan siber. Kami rasa perlu ada kesepakatan dengan negara-negara lain untuk perlindungan data pribadi lintas negara,” ujar Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi dalam sesi Sofa Talk - Digital Economy Working Group, Kepemimpinan Indonesia dalam Isu Digital di Forum G-20, Rabu (26/1/2022), di Jakarta.
Sebagai pemegang presidensi G-20 tahun 2022, Indonesia juga mendapat kepercayaan sekaligus tanggung jawab lebih sebagai ketua/pemimpin Digital Economy Working Group. Indonesia melalui Kementerian Kominfo mengangkat tiga isu prioritas ekonomi digital. Selain pertukaran data lintas negara, isu lain adalah konektivitas dan pemulihan pascapandemi Covid-19 serta keterampilan dan literasi digital.
Dedy mengatakan, Indonesia sudah memperjuangkan agar pembahasan ekonomi digital naik dari gugus tugas menjadi working group di tingkat G-20. Fenomena ekonomi digital semakin marak dan menemukan momentumnya saat pandemi Covid-19. Maka, saat menjadi Indonesia menjabat presidensi G-20 tahun 2022, pembahasan ekonomi digital beserta tiga isu yang menyertai sudah tepat.
Digital Economy Working Group akan diisi empat sidang sepanjang tahun 2022. Pertemuan tingkat menteri yang khusus mengampu bidang teknologi informasi atau ekonomi digital akan jadi agenda puncak Digital Economy Working Group.
Sejak 2019, pembahasan kesepakatan pertukaran data lintas negara antar-anggota G-20 berjalan alot. Setiap anggota memiliki pendekatan berbeda, seperti China yang menekankan pendekatan negara, Amerika Serikat kepada korporasi, dan Uni Eropa kepada individu pemilik data.
Terkait isu itu, Indonesia masih akan konsisten menawarkan proposal pertukaran data lintas negara dengan kepercayaan dalam sidang-sidang Digital Economy Working Group. Ada empat prinsip yang diperkenalkan Indonesia, yaitu mendapatkan data secara sah (lawful), transparansi, keadilan, dan timbal balik.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kominfo Mira Tayyiba mengakui, sejak 2019, pembahasan kesepakatan pertukaran data lintas negara antar-anggota G-20 berjalan alot. Setiap anggota memiliki pendekatan berbeda, seperti China yang menekankan pendekatan negara, Amerika Serikat kepada korporasi, dan Uni Eropa kepada individu pemilik data.
”Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi juga sedang masuk masa persidangan berikutnya di DPR. Kami akan berjuang di setiap negosiasi di sidang-sidang Digital Economy Working Group G-20, terutama menyangkut isu pertukaran data lintas negara,” kata Mira.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, ekonomi digital merupakan aspek penting dalam transformasi digital suatu negara. Namun, tata kelola ekonomi digital setiap negara berbeda, termasuk menyangkut data digital dan pertukarannya.
”Kami berharap Digital Economy Working Group bisa menjembatani perbedaan tata kelola ekonomi digital itu. Tata kelola ekonomi digital yang seharusnya lebih inklusif,” kata Yose.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar saat dihubungi terpisah mengatakan, kecuali Amerika Serikat, India, dan Indonesia, semua anggota G-20 sudah mempunyai regulasi setingkat peraturan perundang-undangan perlindungan data pribadi dan bahkan mayoritas membentuk otoritas perlindungan data pribadi independen. Negara anggota G-20 yang sudah memiliki peraturan setingkat peraturan perundang-undangan perlindungan data pribadi, tetapi belum memiliki otoritas independen, adalah China dan Rusia.
”Indonesia menjadi Ketua Digital Economy Working Group tahun ini semata-mata karena Indonesia sebagai presidensi G-20. Karena Indonesia belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi, ini akan menyulitkan Indonesia untuk bernegosiasi mengenai pertukaran data lintas negara. Indonesia jadi belum mempunyai rujukan yang kuat,” ujarnya.
Wahyudi mengatakan, dalam sidang Digital Economy Working Group G-20, Indonesia membawa proposal pertukaran data lintas negara dengan kepercayaan (cross border data flow with trust). Dia menilai, gagasan ”kepercayaan” sama dengan perlindungan terhadap data yang harus diwujudkan melalui kehadiran legislasi perlindungan data pribadi.
”Di negara lain yang sudah mempunyai regulasi setingkat peraturan perundang-undangan perlindungan data pribadi, persyaratan transfer data diatur di dalamnya. Oleh karena itu, kami menilai, posisi Indonesia tetap sulit untuk meyakinkan negara lain dengan proposal cross border data flow with trust,” imbuh Wahyudi.