Evaluasi izin-izin usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan diharapkan berujung pada langkah kongkret mengatasi ketimpangan agraria. Minimnya penguasaan lahan oleh petani menjadi problem krusial sektor pertanian.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Wajah Jiyo (62), Paryo (49), dan Sayid (76) tampak berbinar siang itu. Mereka membolak-balik surat izin pemanfaatan hutan yang baru saja diserahkan Presiden Joko Widodo di lapangan Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sambil berlesehan, mereka bersenda gurau dan saling mengintip isi surat. “Dengan (surat) ini, saya jadi lebih tenang (menggarap lahan),” kata Paryo.
Pada hari itu pemerintah menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial kepada tujuh kelompok tani dan lembaga masyarakat desa hutan di tujuh kecamatan di Pemalang dan Boyolali yang mencakup 1.890 hektar kawatan hutan untuk 1.687 keluarga penggarap. SK serupa diserahkan untuk lahan 2.144 hektar di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, serta 2.827 hektar untuk penggarap di Kabupaten Probolinggo, Lumajang, dan Jember, Jawa Timur, beberapa hari sebelumnya.
Peristiwa itu terjadi lebih dari empat tahun lalu. Namun, senyum dan binar wajah mereka masih terbayang, terlebih sebagian besar petani masih berjuang mengatasi problem lahan. Luas kepemilikan dan lahan garapan terfragmentasi makin sempit. Namun, dengan surat itu mereka mendapatkan kepastian untuk memanfaatkan lahan negara untuk usaha produktif selama 35 tahun. Mereka umumnya memanfaatkan lahan untuk menanam buah-buahan, palawija, dan membudidaya udang.
Lahan merupakan faktor produksi yang tak tergantikan. Maka, ketika pemerintah mengizinkan pemanfaatan lahan negara, petani dan keluarga penggarap menyambutnya dengan suka cita. Apalagi, ada ketimpangan penguasaan. Ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan masih terjadi sehingga pemerintah merasa perlu memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar lebih merata, transparan, dan adil.
Luas Baku Lahan Pertanian Sumber: Ditjen Prasarana Sarana Pertanian Kementerian Pertanian
Dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/1/2022), Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah mencabut izin-izin usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai peruntukan dan peraturan. Penertiban izin itu bagian integral dari perbaikan tata kelola perizinan usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.
Redistribusi lahan
Pemerintah mencabut 2.078 izin pertambangan mineral dan batubara karena perusahaan tidak mengerjakan izin selama bertahun-tahun dan tidak pernah menyampaikan rencana kerja. Pemerintah juga mencabut 192 izin sektor kehutanan di lahan seluas 3,126 juta hektar (ha) karena ditelantarkan, tidak aktif, dan pemegang izin tidak membuat rencana kerja. Pemerintah juga mencabut 137 izin perkebunan selain menjanjikan pembenahan dengan memberikan kemudahan izin usaha yang transparan dan akuntabel.
Setelah pencabutan itu, pemerintah berencana menyerahkan pengelolaannya ke pihak lain yang dinilai lebih kredibel, termasuk kelompok masyarakat adat, organisasi keagamaan, badan usaha milik daerah, dan koperasi. Sejumlah pihak mengapresiasi langkah tersebut dan berharap ada upaya serius untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam serta menuntaskan konflik agraria yang melibatkan perusahaan dan masyarakat.
Soal penguasaan lahan menjadi problem yang belum terselesaikan di hulu. Sensus pertanian merekam gejala makin sempitnya penguasaan lahan oleh petani. Sensus pertanian tahun 2013 mencatat, jumlah petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (petani gurem) mencapai 14,2 juta petani atau 55,2 persen dari total rumah tangga petani. Namun, pada survei antarsensus tahun 2018, jumlahnya bertambah jadi 15,8 juta petani atau 58 persen dari total petani.
Selain gejala “guremisasi”, sektor pertanian masih menghadapi tantangan besar terkait lahan, yakni alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Data Sensus Pertanian 2003 dan 2013 menunjukkan, 508.000 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa beralih kepemilikan dari rumah tangga petani ke nonpetani. Alih kepemilikan terbesar, yakni 204.318 hektar (40 persen), terjadi di lahan seluas kurang dari 0,1 hektar yang selama ini menjadi sumber pencarian petani gurem.
Ketimpangan penguasaan lahan juga menjadi problem. Sebanyak 56 persen rumah tangga tani menguasai 13,3 persen lahan atau luas kepemilikan rata-rata kurang dari 0,5 hektar. Dengan rata-rata kepemilikan lahan yang “mungil”, petani akan selalu kesulitan mengejar skala keekonomian. Hasil usaha jadi tidak mencukupi kebutuhan sehingga tak sedikit yang akhirnya menjual lahannya dan beralih profesi ke luar sektor pertanian.
Sejumlah lembaga non-pemerintah berharap evaluasi izin-izin usaha pertambangan, kehutanan, dan perkebunan berujung pada langkah konkret mengatasi ketimpangan agrari dan penguasaan lahan. Mereka berharap lokasi-lokasi lahan yang dicabut izinya ditetapkan sebagai tanah obyek reforma agraria dan didistribusikan kepada petani dan rakyat yang tak punya tanah. Dengan demikian, penguasaan lahan tidak semakin timpang dan petani memiliki kesempatan lebih besar untuk memperbaiki nasibnya.