Izin Usaha Mudah, Pengawasan Lemah
Semua pengawasan dan pemonitoran yang dilakukan pemerintah harus terjadwal. Tidak bisa lagi orang turun main periksa sembarangan serta-merta tanpa terjadwal. Ini juga untuk menjaga suasana batin pengusaha.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja membawa ”sejuta” asa. Bersama 51 peraturan turunannya, UU yang menuai pro-kontra sejak dalam proses pembahasannya itu bertujuan mempermudah usaha dan mendulang investasi guna mencipta lapangan kerja.
UU ini diharapkan menjadi salah satu vaksin ”pemulih” ekonomi nasional, baik di era pandemi Covid-19 maupun saat penyakit akibat virus korona baru itu benar-benar terkendali. Kehadiran usaha-usaha dan aneka investasi baru diharapkan bisa memulihkan pasar tenaga kerja dan mengatasi angka kemiskinan di Indonesia yang tengah melonjak.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Senin (15/2/2021) menunjukkan, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2020 sebesar 10,19 persen. Indonesia kembali ke tingkat kemiskinan dua angka yang ditinggalkan pada Maret 2018.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 27,55 juta orang. Jumlah ini naik 1,13 juta orang dari Maret 2020 atau naik 2,76 juta orang dari September 2019.
Kemiskinan bertambah, antara lain, akibat 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi, termasuk 2,56 juta orang menjadi penganggur. Akibatnya, per Agustus 2020, ada 9,77 juta penganggur di Indonesia.
Rasio gini yang menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk menjadi 0,385 per September 2020. Ketimpangan lebih buruk dari September 2019 yang rasio gininya 0,380 dan Maret 0,381. Rasio gini dalam rentang 0-1 dengan ketimpangan yang semakin lebar mendekati 1.
Namun, dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja dan regulasi-regulasi turunannya itu, muncul sejumlah kekhawatiran. Salah satunya adalah menyangkut kemudahan mendapatkan izin usaha.
Pemeriksaan perizinan usaha yang diadakan secara terjadwal dinilai akan melemahkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha. Setelah izin usaha dipermudah, pengawasan insidental ke lapangan berdasarkan laporan masyarakat seharusnya diperkuat.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, dalam sistem perizinan usaha berbasis risiko (risk-based approach) yang diatur lewat UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, semua pengawasan dan pemonitoran yang dilakukan pemerintah harus terjadwal.
”Tidak bisa lagi orang turun main periksa sembarangan serta-merta tanpa terjadwal. Ini juga untuk menjaga suasana batin pengusaha. Kami ingin peraturan ini jadi jalan tengah antara keinginan pengusaha dan apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendorong perekonomian,” kata Bahlil dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Tidak bisa lagi orang turun main periksa sembarangan serta-merta tanpa terjadwal. Ini juga untuk menjaga suasana batin pengusaha.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko mengatur, pengawasan dilakukan untuk memeriksa tata ruang dan standar bangunan gedung, standar kesehatan, keselamatan dan lingkungan hidup, serta standar pelaksanaan kegiatan usaha. Pengawasan itu juga mencakup kewajiban terkait norma, standar, prosedur dan kriteria, serta kewajiban pelaku usaha menyampaikan laporan dan pemanfaatan insentif atau fasilitas investasi.
Mekanisme pengawasan
Ada dua mekanisme pengawasan yang diterapkan, yaitu pengawasan rutin dan insidental. Pengawasan rutin dilakukan secara berkala melalui laporan pelaku usaha dan inspeksi lapangan. Sementara pengawasan insidental dilakukan berdasarkan pengaduan dari masyarakat atau pelaku usaha yang dijamin kerahasiaan identitasnya (whistleblower).
Pelaksanaan pengawasan harus didahului dengan perencanaan pengawasan, yang terdiri dari informasi waktu pelaksanaan, anggaran, dan petugas pelaksana pengawas. Pasal 215 PP No 5/2021 bahkan melarang pemerintah pusat, daerah, administrator kawasan ekonomi khusus, dan petugas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk melakukan pengawasan di luar perencanaan.
Inspeksi lapangan dilakukan paling banyak satu kali setahun untuk usaha risiko rendah dan menengah-rendah. Sementara untuk usaha risiko menengah-tinggi dan tinggi dilaksanakan dua kali dalam satu tahun. PP itu bahkan mengatur, jika dalam pengawasan rutin sebelumnya pelaku usaha dinilai patuh, inspeksi lapangan bisa ditiadakan atau dikurangi intensitasnya.
Baca juga : Iringi Bansos dengan Pembukaan Lapangan Kerja
Sebelumnya, pemerintah sudah memberikan kemudahan mengurus izin usaha dengan mengubah rezim perizinan usaha menjadi berbasis risiko. Artinya, hanya kegiatan usaha dengan skala risiko tinggi saja yang harus mengurus perizinan, termasuk kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Sementara 51 persen kegiatan usaha lainnya cukup mengurus perizinan secara daring lewat sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS). Usaha dengan tingkat risiko rendah dan menengah-rendah bisa langsung beroperasi dengan mengurus nomor induk berusaha (NIB), ditambah Sertifikat Standar, melalui OSS.
Sementara untuk risiko menengah-tinggi dan tinggi, perizinan tidak bisa diurus lewat OSS saja, tetapi membutuhkan proses tambahan berupa verifikasi Sertifikat Standar dan izin amdal khusus usaha berisiko tinggi.
Baca juga : Waspada Bumerang Regulasi
Direktur Pelaksana Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, Sabtu (27/2/2021), mengatakan, setelah pemerintah memberikan kemudahan dan kepercayaan yang besar kepada pelaku usaha di proses perolehan izin berusaha, seharusnya mekanisme pengawasan diperkuat. Pengawasan ini penting agar jika terjadi pelanggaran, pemerintah bisa bertindak tegas.
”Pengawasan yang dilakukan terjadwal sangat lemah karena pengusaha bisa menyiapkan segala sesuatu sebelum inspeksi agar hasil pengawasan berjalan normal sesuai harapan,” katanya.
Pengawasan yang dilakukan terjadwal sangat lemah karena pengusaha bisa menyiapkan segala sesuatu sebelum inspeksi agar hasil pengawasan berjalan normal sesuai harapan.
Laporan masyarakat
Menurut Armand, untuk mengimbangi pengawasan terjadwal dan berkala itu, jenis pengawasan kedua, yaitu pengawasan insidental yang dilakukan berdasarkan pengaduan dari masyarakat atau pelaku usaha itu sendiri, harus diperkuat.
Untuk itu, akses masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran pengusaha melalui sistem OSS harus dipermudah. Masyarakat juga harus diberi pemahaman memadai mengenai proses pemberian izin usaha secara daring, mulai dari praperizinan, perizinan, sampai pascaperizinan.
”Pemerintah pun harus terbuka dengan informasi seperti ada berapa proses perizinan usaha yang sekarang sedang diproses di OSS dan berapa yang sudah beroperasi. Harus ada transparansi supaya masyarakat bisa mengawasi,” ujarnya.
Armand menjelaskan, belajar dari pengalaman dua tahun lalu ketika sistem OSS pertama kali berjalan, sering kali masyarakat, bahkan pelaku usaha di daerah, tidak paham mengenai proses perizinan berusaha. Ada asimetri informasi antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
”Masyarakat kurang dilibatkan, masyarakat tidak tahu, dan ekstremnya, masyarakat juga tidak mau tahu. Padahal, itu berdampak juga pada kehidupan mereka dan lingkungan sekitar,” katanya.
Bahaya kalau itu hanya dilakukan di level pusat karena kondisi sosial lingkungan begitu beragam di sejumlah daerah di Indonesia.
Keterlibatan masyarakat bahkan harus diatur sejak awal, yaitu analisis penentuan tingkat risiko usaha. Menurut dia, pemerintah pusat tidak bisa menetapkan analisis yang akurat karena yang mengetahui kondisi sosial di daerah ada masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri. Sementara PP masih mengatur itu sebagai ranah dan kewenangan pemerintah pusat.
”Seluruh perizinan berusaha ke depan akan berpatok pada analisis penentuan tingkat risiko itu. Bahaya kalau itu hanya dilakukan di level pusat karena kondisi sosial lingkungan begitu beragam di sejumlah daerah di Indonesia. Bagaimana pemerintah pusat bisa tahu kondisi di daerah dan memetakan analisis risiko dengan tepat?” tutur Armand.
Baca juga : Investasi Bukan Sekadar Nilai