Fenomena Ghozali di jagat ”non-fungible token” membuka mata bahwa karya digital kini bisa dipandang sebagai aset yang berharga. Namun, ada risiko yang berpotensi terjadi dari gelembung euforia di industri ini.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Beberapa hari terakhir, jagat maya dihebohkan oleh kabar seorang pria bernama Sultan Gustaf Al Ghozali yang menjajakan 933 foto hasil swafotonya sebagai item non-fungible token atau NFT. Hal yang menghebohkan adalah nilai dari seluruh foto Ghozali yang jika ditotal jumlahnya mencapai Rp 13,3 miliar sampai kemarin.
Foto-foto hasil karya Ghozali mendapatkan nilai tinggi di lokapasar bernama OpenSea. Lokapasar NFT ini menjual berbagai karya visual dan audio yang dikategorikan sebagai NFT. Secara harfiah, NFT berarti token yang unik sehingga tidak dapat tergantikan oleh sesuatu yang lain. Token di sini semacam sertifikat yang menandai kepemilikan.
Jadi, secara definisi, NFT bisa disebut sebagai aset atau produk digital yang memiliki ciri-ciri unik, yang terkodefikasi pada rantai blok (blockchain). Produk NFT sendiri sangat beragam, mulai dari lukisan, foto, musik, item dalam gim, nama domain, hingga meme.
Kembali ke kisah Ghozali, ratusan foto hasil swafotonya dia unggah pada lokapasar OpenSea pada Desember 2021. Di lokapasar ini, para kreator menjajakan hasil karyanya secara peer-to-peer. Skema penjualannya dilakukan melalui pelelangan terbuka dan menggunakan alat tukar berupa mata uang kripto ethereum (ETH).
Sebagai catatan, apa yang dilelang oleh Ghozali bukanlah swafoto yang ia buat, melainkan sertifikat/kontrak kepemilikan atas swafoto yang ia buat. Kolektor NFT yang memenangi lelang menggunakan sertifikat tersebut sebagai bukti akan keaslian dan keotentikan NFT yang mereka miliki. Para kolektor pun dapat menjual kembali sertifikat kepemilikan NFT selayaknya penjualan saham di pasar sekunder.
Lonjakan harga
Salah satu sertifikat kepemilikan dari 933 swafoto Ghozali yang dilelang dihargai sebesar 0,001 ethereum atau sekitar Rp 47.000 dengan asumsi 1 ethereum sama dengan Rp 47 juta. Harga tersebut kemudian meningkat seiring dengan meningkatnya popularitas Ghozali dan swafotonya di media sosial. Akhirnya, setelah dua kali berpindah tangan, sertifikat kepemilikan NFT yang sama—saat tulisan ini ditulis—bernilai 66.346 ethereum (Rp 3,118 triliun).
Harga sertifikat kepemilikan NFT dapat melambung dalam waktu singkat disebabkan adanya sebuah ”nilai” yang tersemat pada produk NFT di mata para kolektor. Sama absurdnya dengan kisah Ghozali yang kaya mendadak karena NFT, pergerakan nilai yang dimiliki NFT juga absurd layaknya karya seni pada umumnya.
Cerita ”absurd” paling populer dalam seni kontemporer adalah terjualnya lukisan berjudul ”Orange, Red, Yellow” karya pelukis abstrak Amerika Serikat, Mark Rothko, yang dalam sebuah lelang di rumah galeri Christie’s, New York, 2012, terjual dengan harga 86 juta dollar AS (Rp 1,2 triliun).
Secara kasatmata, lukisan tersebut hanya berupa goresan tiga persegi panjang dalam berbagai ukuran berwarna oranye, merah, dan kuning. Namun, bagi para kolektor seni, karya Rothko tersebut dinilai punya nilai yang sangat tinggi sehingga harganya bisa setara dengan 250.000 kali pendapatan per kapita Indonesia pada 2020.
Setidaknya fenomena Ghozali telah membuka mata kita bahwa karya digital kini bisa dipandang sebagai aset yang dapat dijadikan instrumen investasi layaknya karya seni di dunia nyata. Namun, ada hal yang perlu digarisbawahi, yakni tidak semua pembeli NFT adalah ”kolektor”. Kehadiran para spekulan dalam ekosistem NFT berpotensi membuat pasar NFT menjadi berbahaya.
Para spekulan akan membuat harga dari NFT menggelembung hingga di angka yang sangat jauh dari harga awalnya. Jika hal ini terus berlangsung, gelembung ini bisa pecah lalu merugikan kolektor, investor, kreator, bahkan para spekulan dalam ekosistem NFT itu sendiri.
Di balik adanya risiko tersebut, selama bertahun-tahun, para inovator telah mengembangkan banyak cara untuk menghadirkan mekanisme atau sistem yang dapat membuktikan sebuah karya otentik atau tidak. Untuk saat ini, NFT adalah jawabannya.
Ekosistem yang dibangun para pelaku dan pemangku kepentingan NFT telah memberikan ruang bagi para kreator di dunia agar keotentikan karya mereka dapat dihargai.
Dari sudut pandang ruang kreasi, mekanisme dan cara kerja dari ekosistem NFT ternyata tidak absurd-absurd amat. Tidak salah apabila nanti akan lebih banyak orang mengunggah hasil karya foto di lokapasar NFT ketimbang media sosial Instagram. Namun, untuk saat ini terlalu dini untuk melihat NFT dalam sudut pandang investasi mengingat sangat mungkin apabila gelembung euforia NFT meletus kelak, harga aset-aset NFT yang saat ini bernilai hingga jutaan dollar AS akan merosot tajam.