Migrasi Siaran Televisi Bisa Terdampak Putusan MK soal UU Cipta Kerja
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dinilai dapat memengaruhi proses migrasi siaran televisi analog ke televisi digital.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat bisa memengaruhi proses migrasi siaran televisi analog ke televisi digital. Hal itu dinilai bisa berdampak pada rencana pemerintah melakukan pengadaan spektrum frekuensi yang dibutuhkan industri telekomunikasi seluler.
Migrasi siaran televisi analog ke televisi digital yang ditargetkan selesai 2 November 2022 merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah juga sudah mengeluarkan peraturan pelaksananya. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.
PP itu terbit sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera, Bivitri Susanti, saat dihubungi, mengatakan, PP turunan UU Cipta Kerja tidak otomatis batal, seperti dikatakan dalam butir keempat Amar Putusan MK. Akan tetapi, secara keseluruhan putusan MK itu menyatakan tidak boleh ada tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
”PP tetap eksis dan masih berdaya laku atau valid, tetapi PP tidak berdaya guna/manjur. Dengan adanya keputusan MK itu, UU Cipta Kerja seharusnya dianggap membeku sampai 25 November 2023. Jadi, tindakan Kemenkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) itu, menurut saya, bisa saja (kalau ada yang gugat) dianggap sebagai perbuatan melawan hukum,” ujar Bivitri saat dihubungi di Jakarta, Rabu (12/1/2022).
Menurut Bivitri, dengan adanya keputusan MK itu, migrasi siaran televisi analog ke televisi digital yang ditargetkan selesai 2 November 2022 sesuai amanat UU Cipta Kerja seharusnya tidak boleh dilakukan. Hal ini berlaku sampai UU Cipta Kerja diperbaiki atau UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diperbaiki. Dengan demikian, dasar hukum migrasi siaran jadi jelas.
Sebelumnya, saat acara diskusi ”Menapaki Masa Depan Komunikasi Data”, Selasa (11/1/2022), di Jakarta, Koordinator Standar Telekomunikasi Radio Kemenkominfo Indra Utama mengatakan, migrasi siaran televisi analog ke televisi digital akan menghasilkan digital dividen berupa lebar pita frekuensi sebanyak 112 megahertz (MHz) di spektrum frekuensi 700 MHz. Dari jumlah itu, sekitar 90 MHz di antaranya akan dipakai operator telekomunikasi seluler.
Kemenkominfo sedang mengkaji mekanisme lelang atau seleksi penggunaan lebar pita spektrum frekuensi 700 MHz itu. ”Keputusan memakai skema lelang atau seleksi sedang tahap kajian. Pemilihan skema akan terkait dengan siapa saja operator telekomunikasi seluler yang akan menjadi peserta,” ujarnya.
Juru Bicara Kemenkominfo Dedy Permadi mengatakan, pelepasan digital dividen hasil migrasi siaran televisi analog ke televisi digital ke operator telekomunikasi seluler tidak harus menunggu proses migrasi selesai seluruhnya tanggal 2 November 2022. Pelepasan yang dia maksud bisa melalui skema lelang.
Seperti diketahui, sesuai Peraturan Menkominfo No 11/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menkominfo Nomor 6/2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran, migrasi terdiri atas tiga tahap. Pada tahap pertama, batas akhir penghentian siaran televisi analog adalah 30 April 2022, sedangkan batas akhir tahap kedua 31 Agustus 2022, dan tahap ketiga 2 November 2022. Dedy belum menjawab ketika dikonfirmasi lebih jauh pengaruh putusan MK terhadap rencana kebijakan Kemenkominfo itu.
General Manager Network Strategic Roadmap PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) Christian G Gustiana mengatakan, berdasarkan kajian Asosiasi Operator Telekomunikasi Seluler Global (GSMA), tren penggelaran layanan telekomunikasi yang kini terjadi, yakni 5G, membutuhkan sejumlah spektrum frekuensi agar layanan bisa berjalan maksimal. Sebagai contoh, spektrum frekuensi 700 MHz dan 2,6 - 3,5 Gigahertz (GHz).
Koordinator Forum Pajak Berkeadilan Ah Maftuchan saat dihubungi Rabu (12/1/2022), di Jakarta, berpendapat, potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari jasa telekomunikasi, termasuk di dalamnya berupa pendayagunaan spektrum frekuensi, belum digarap optimal. Sejauh ini, sebagian besar PNBP masih tergantung dari sumber daya alam. Padahal, di tengah tren transformasi digital yang salah satunya dipengaruhi kehadiran 5G, layanan telekomunikasi seluler yang tergantung pada spektrum frekuensi menjadi semakin strategis.
Dia memandang pemerintah semestinya cepat memetakan spektrum frekuensi yang dibutuhkan oleh operator telekomunikasi seluler. Setelah itu, pemerintah segera punya kajian mekanisme pengadaan dan pelepasan dengan mempertimbangkan persaingan usaha sehat di lingkup industri telekomunikasi seluler dan potensi PNBP yang bisa diraup.
Dalam konteks spektrum frekuensi 700 MHz yang masih ada yang dipakai oleh lembaga penyiaran, Maftuchan berpendapat, pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan baru. Tujuannya adalah menyesuaikan perkembangan kondisi terkini. ”Dinamika kebijakan bergerak cepat, begitu pula dengan bisnis telekomunikasi seluler,” imbuh dia.