Rencana pemerintah membuka kembali keran ekspor batubara mulai Rabu pekan ini jangan sampai menyebabkan krisis pasokan batubara untuk pembangkit listrik PLN terulang. Pengawasan dan kontrol rantai pasok harus ditegakkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bakal mengizinkan kembali ekspor batubara setelah beberapa waktu lalu menerbitkan larangan ekspor untuk periode 1-31 Januari 2022. Pemerintah beralasan pasokan batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mulai membaik. Kelangkaan pasokan batubara untuk pasar dalam negeri tak boleh terulang.
Kepastian bakal dibukanya kembali ekspor batubara muncul setelah dilaksanakan rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Senin (10/1/2022), di Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta tim lintas kementerian/lembaga untuk segera menyiapkan solusi jangka menengah untuk penyelesaian pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) batubara.
”Per hari ini (Senin, 10/1/2022), melihat kondisi suplai (batubara) PLN yang sudah jauh lebih baik untuk 14 kapal yang sudah memiliki muatan penuh batubara, dan sudah dibayar oleh pihak pembeli, agar segera di-release (diizinkan) untuk bisa ekspor,” ujar Luhut melalui siaran pers.
Luhut menambahkan, pemerintah akan mengevaluasi kembali untuk pembukaan ekspor pada Rabu (12/1/2022). Ada beberapa hal yang perlu dipelajari oleh tim lintas kementerian/lembaga, yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan PLN, sebelum keran ekspor batubara dibuka. Sejumlah hal yang yang bakal dipelajari terkait mekanisme ekspor, kebijakan DMO batubara, dan ekspor bagi perusahaan yang tak memiliki kontrak dengan PLN atau yang spesifikasi batubaranya tak dibutuhkan PLN.
”Sehingga pada Rabu, jika pembukaan ekspor diputuskan, akan dilakukan gradual (bertahap untuk ekspornya),” kata Luhut.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menuturkan, jika memang kebutuhan batubara PLN sudah terpenuhi dan yakin tak ada lagi kekurangan pasokan batubara, hal itu tak menjadi masalah (keran ekspor batubara dibuka). Namun, menurut dia, jangan sampai PLN kembali mengalami krisis atau kekurangan pasokan batubara pasca-pembukaan keran ekspor tersebut.
“Menurut saya, harus dibuat perencanaan yang matang terkait pembukaan ekspor. Jangan sampai nantinya memberatkan. Saya pikir, pembukaan ini juga karena ada tekanan dari negara-negara yang merasa dirugikan dengan kebijakan tersebut. Juga pengusaha, terutama yang telah menjalankan kewajiban DMO,” kata Mamit.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Jamaludin, Sabtu (1/1/2022), melarang ekspor batubara bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tahap kegiatan operasi produksi, IUPK lanjutan operasi kontrak/perjanjian, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara.
Larangan itu ditempuh guna menjamin kebutuhan batubara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) PLN dan produsen listrik swasta (IPP). Jika pelarangan ekspor tak diambil, kekurangan pasokan batubara berdampak pada lebih dari 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di dalam dan di luar Jawa, Madura, dan Bali.
”Jika larangan ekspor tak dilakukan, hampir 20 PLTU dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan padam. Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional. Saat pasokan batubara untuk pembangkit terpenuhi, bisa ekspor,” ujar Ridwan.
Senin (3/1/2022), Presiden Joko Widodo meminta BUMN beserta anak perusahaannya dan perusahaan swasta yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, ataupun pengolahan sumber daya alam lainnya memprioritaskan kebutuhan dalam negeri sebelum mengekspor.
Desakan Jepang
Pada Senin (10/1/2022) pagi, di Jakarta, Menteri ESDM Arifin Tasrif menerima kunjungan Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang Hagiuda Koichi. Agenda utamanya ialah penandatanganan kerja sama (memorandum of cooperation/MOC) untuk merealisasikan transisi energi.
Namun, dalam pertemuan bilateral itu, Hagiuda juga menyinggung kebijakan larangan sementara ekspor batubara dari Indonesia, termasuk ke negaranya. Sebelumnya, Duta Besar Jepang untuk RI Kanasugi Kenji juga mengirim surat resmi kepada Arifin yang berisi permintaan agar Pemerintah Indonesia mencabut larangan itu.
Kepada Arifin, Hagiuda mengatakan, pihaknya telah memahami diterbitkannya larangan sementara ekspor batubara itu. ”(Namun) Impor batubara dari Indonesia tetap penting untuk suplai tenaga listrik Jepang. Kami perlu menyelesaikan solusi secepatnya. Kami mohon pengertian dari Bapak Menteri,” katanya dalam perbincangan yang juga disiarkan daring.
Menanggapi itu, Arifin menjelaskan, sejak tahun lalu harga batubara meningkat sehingga ada kecenderungan pengusaha ingin mengekspor. Namun, pemerintah sudah mengeluarkan aturan DMO batubara sebesar 25 persen dari total produksi. Adapun total produksi batubara di Indonesia sekitar 600 juta ton.
Pemerintah saat ini mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Pasalnya, jika tidak, akan memberi dampak luas termasuk padamnya listrik. ”Dalam seminggu ini kami sedang menginventarisasi. Kita berharap, beberapa hari ke depan segera ada kejelasan sehingga kita bisa melanjutkan ketahanan dan juga melanjutkan ekspor kembali,” ujar Arifin.
Kendati demikian, Arifin memastikan tetap menjaga hubungan bilateral dengan Jepang yang telah berlangsung lama. Pasalnya, selain masalah pasokan, musim hujan dan angin kencang juga turut memengaruhi (pengiriman batubara). Di sisi lain, Indonesia kekurangan kapal-kapal besar sehingga ke depan diharapkan ada kerja sama.
Mendengar penjelasan Arifin, Hagiuda memahami apa yang sedang terjadi di Indonesia. Ia pun tak sedang dalam posisi memaksa untuk membuka pintu ekspor. Namun, ia berharap setidaknya kapal-kapal Jepang yang sudah terisi penuh oleh batubara dan siap diberangkatkan, diizinkan untuk berangkat.