Tantangan Menekan Harga Kendaraan Listrik
Harga masih menjadi hambatan terbesar yang dihadapi sebagian besar konsumen kendaraan listrik di Indonesia. Sinergi antarpihak guna membangun ekosistem dan mengefisienkan produksi diperlukan guna mendongkrak adopsi.
Mahal itu relatif. Namun, sebagian besar masyarakat sepakat bahwa kendaraan listrik di Indonesia saat ini mahal. Mobil listrik, misalnya, umumnya dijual dengan harga Rp 600 juta-Rp 800 juta per unit, sementara daya beli mayoritas masyarakat Indonesia untuk mobil berkisar Rp 250 juta-Rp 300 juta per unit.
Keterjangkauan harga kendaraan listrik, entah mobil atau sepeda motor, menjadi tantangan yang harus dihadapi pemerintah, produsen, juga pemasar untuk mendongkrak populasi. Strategi mendorong permintaan dinilai penting guna mengembangkan ekosistem kendaraan listrik nasional.
Selain mengolah hasil tambang serta merintis pabrik baterai dan komponennya, pemerintah dan pelaku industri perlu berstrategi untuk membangun pasar di dalam negeri. Terlepas dari kontroversi ”mahal”, sejumlah pihak menilai, peralihan dari kendaraan bermesin pembakaran internal (ICE) yang berbahan bakar minyak ke teknologi listrik tidak terhindarkan.
Selayaknya teknologi baru, formulanya tetap sama, yaitu awalnya harga tinggi dan pengalaman (experience)rendah. Namun perlahan, seiring berjalannya waktu, kurvanya akan ketemu di tengah. ”Yang berani mencoba atau mengadopsi teknologi baru, namanya early adopter. Tanpa adanya para early adopter ini, teknologi masa depan yang seharusnya lebih baik, lebih ramah lingkungan, dan lebih murah (dalam jangka panjang) tidak akan ke mana-mana,” kata Cakdan, pencinta otomotif, mencermati keberadaan sepeda motor Gesits di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan dalam webinar ”Investment of Electric Vehicle in Indonesia” yang diselenggarakan Intelligent Transport System (ITS) Indonesia, Rabu (17/11/2021), mengakui mahalnya harga electric vehicle atau kendaraan listrik menjadi sebuah tantangan. Insentif-insentif pun siap diberikan supaya harganya bisa terjangkau.
”Seperti mobil Wuling, kita minta harga (jualnya) sekitar Rp 150 juta (per unit). Itu bisa menjadi mobil rakyat dan dibangun di sini. Bahan-bahan bakunya berasal dari kita,” kata Luhut.
Sesungguhnya, mengapa kendaraan listrik yang belakangan ini semakin gencar digaungkan masih dipandang mahal? Kalaupun kelak menjadi murah, jangan sampai kelak cibiran masyarakat terdengar, ”Murah, kok, minta selamat!”
Baca juga : Menjaga Semangat Inovasi Kendaraan Listrik
Mahal di baterai
Biaya tertinggi untuk memproduksi mobil listrik saat ini masih terletak pada komponen baterai. Oleh karena itu, sejak tahun 2019, pabrikan otomotif Korea Selatan, Hyundai, berkomitmen mendirikan pabrik kendaraan listrik di Indonesia. Bukan hanya perakitan, melainkan manufakturnya. Saat ini, pabriknya sudah selesai dan akan memproduksi mobil model sport utility (SUV), multipurpose vehichle (MPV), dan mobil listrik, dengan kapasitas produksi 250.000 unit per tahun.
Total nilai investasinya mencapai 1,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15 triliun. Jumlah itu yang terbagi dalam tahap pertama senilai 702 miliar dollar AS dan tahap kedua senilai 847 miliar dollar AS. Pada tahun 2022, Hyundai akan mulai memproduksi mobil listrik.
”Bicara mobil listrik, sebenarnya baterai adalah jantungnya. Baterai inilah yang akan menggerakkan motor listrik untuk memperlambat kecepatan rotasi motor dan menyalurkan tenaga ke roda kendaraan,” kata Direktur Pemasaran PT Hyundai Motors Indonesia, Erwin Djajadiputro.
Untuk fokus memproduksi baterai, Hyundai Motor Group bersama dengan LG Energy Solution telah memutuskan untuk berinvestasi di Indonesia. Nilai investasinya mencapai 1,1 miliar dollar AS. Pabriknya dibangun di lahan seluas 33 hektar dan mulai dibangun tahun 2023. Produksi baterai secara massal baru akan dimulai tahun 2024. Pabrik ini diperkirakan akan memproduksi baterai cell sekitar 10 GWh per tahun. Jumlah produksi baterai ini bisa dikonsumsi oleh sekitar 150.000 kendaraan listrik.
Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho mengakui, investasi pabrik baterai yang dilakukan tidak sesederhana yang dibayangkan. Banyak tahapan yang dibutuhkan untuk memanfaatkan hasil pertambahan sebagai bahan baku baterai.
Baca juga : Pacu Investasi, Peta Jalan Industri Kendaraan Listrik Direvisi
Sentuhan proses teknologi terhadap nickel ore atau bijih nikel diperlukan untuk mengubah menjadi battery chemical dan cell component, lalu proses katoda dan anoda. Ujungnya adalah manufaktur baterai. Tidak berhenti sampai di sini, kelanjutanpasca-pemakaian yang mencapai 8-9 tahun pun memerlukan investasi tersendiri sehingga diperlukan industri daur ulang (recycling) baterai.
Oleh karena proses panjang produksi baterai itulah, total investasi yang diperlukan cukup besar, yakni mencapai 15 miliar dollar AS untuk pengembangan 140 GWh rantai pasok end to end baterai listrik. Ini pun perlu dilakukan integrasi dan kerja sama antara pemilik teknologi, pemilik pasar, dan modal. Integrasi itu memerlukan investasi, waktu, dan regulasi yang mendukung.
Tentunya, kata Toto, apabila bisa mengembangkan 140 GWh sesuai skenario pengembangan baterai listrik, Indonesia akan menjadi salah satu pemain dominan di pasar global dengan segenap sumber daya yang dimilikinya, termasuk pasar yang besar. IBC bahkan sudah memperhitungkan bahwa untuk menjadi pengekspor ke pasar utama mobil listrik Amerika Serikat, China, dan Eropa, Indonesia tentu masih lebih kompetitif.
Sekali lagi, mahalnya baterai kendaraan listrik membutuhkan solusi berupa kemitraan antarpihak yang terkait. Yang diperlukan dalam investasi baterai kendaraan listrik adalah pertama, teknologi kendaraan listrik membutuhkan mitra yang benar-benar menguasai teknologi ini.
Kedua, dari sisi pengetahuan operasional, membutuhkan tenaga profesional. Selain itu, ketiga, kemitraan yang solid untuk mengakses pasar global. Nilai belanja modal saat ini sangat besar sehingga membutuhkan mitra internasional ataupun swasta nasional untuk membangun proyek baterai listrik ini.
Menurut Toto, kerja sama juga perlu dibangun dengan Universitas Indonesia (UI) dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI untuk menentukan formula regulasi dan insentif industri baterai. Kemudian, Institut Teknologi Bandung dan PT LAPI ITB untuk membantu dalam studi stasiun pertukaran (swapping) baterai, tidak terbatas pada pengujian teknis motor listrik, baterai, dan perilaku konsumen.
Begitu juga dengan Universitas Sebelas Maret (UNS), ICB pun perlu berkolaborasi dalam mengembangkan penggunaan kandungan baterai litium ion (LFP dan NMC) yang mendasari pengembangan dan prototipe komponen sel baterai. Banyak perguruan tinggi perlu dilibatkan untuk menentukan teknologi yang dibutuhkan di Indonesia.
Dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) Afriyanti Sumboja menilai, seiring perkembangan zaman, baterai yang dapat menyimpan energi dalam jumlah yang lebih besar dibutuhkan, seperti mobil listrik. Banyak cara sudah dilakukan peneliti untuk meningkatkan densitas energi dari sebuah baterai. Salah satunya dengan mengganti atau memodifikasi material pada baterai tersebut.
Baca juga : Pelaku Industri Otomotif Bertransisi di Tengah Disrupsi
Seberapa penting meningkatkan densitas baterai? Harga mobil listrik dengan jarak tempuh yang jauh mempunyai baterai dengan densitas tinggi. Harganya tentu lebih mahal, seperti dimiliki Tesla. Jika dibandingkan dengan mobil berteknologi ICE dan jarak tempuh yang sama, harga mobil dengan battery electric vehicle (BEV) masih lebih mahal.
”Bisa disimpulkan, mobil listrik masih tergolong mahal. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi baterai, harganya diperkirakan akan terus menurun,” kata Afriyanti.
Lalu, bagaimana cara memperpanjang jarak tempuh mobil listrik? Hal yang diperlukan adalah meningkatkan densitas baterai. Densitas energi ini adalah luas area di bawah kurva pemakaian baterai. Ibaratnya, kita membeli baterai, lalu diuji dengan diberi arus, kemudian diukur voltase dan waktu pemakaiannya.
Selain jarak tempuh, faktor harga mobil listrik juga perlu diperhitungkan. Sebab, harga mobil listrik bergantung pada harga baterainya. Sementara jika dipecah-pecah lagi, komponen baterai yang paling mahal terletak pada harga materialnya. Hampir 50 persen adalah harga katoda.
”Jadi, jika kita bisa menurunkan harga material untuk katoda dan bersamaan pula meningkatkan densitas energi baterai, kita bisa memproduksi mobil listrik dengan harga yang lebih murah dan mendapatkan jarak tempuh lebih tinggi,” kata Afriyanti.
Baterai litium berbasis nikel dapat membantu menyelesaikan masalah itu. Bagian dari baterai litium-ion biasanya terdapat katoda yang merupakan oksida logam yang mengandung litium. Kemudian, anoda pada umumnya terbuat dari karbon dan larutan elektrolit serta separator. Pada saat pengisian, ada elektron dan litium-ion yang akan pindah dari katoda ke anoda.
Generasi pertama baterai litium-ion menggunakan LiCoO2 yang masih banyak digunakan di telepon selular. Dari segi performa, baterai ini sudah bagus. Namun, dari segi harga sangat mahal karena mengandung banyak kobalt.
Target densitas energi untuk baterai mobil listrik dengan jarak tempuh 480 kilometer adalah sekitar 200 watt hour/kg. Sementara baterai dengan katoda LiCoO2 ini sudah berada di level 150 Wh/kg, tentu cukup dekat dengan targetnya. Namun, dari segi harga mahal sekali. ”Jadi, tidak mungkin dipakai untuk mobil listrik,” ujar Afriyanti.
Kandidat lain yang sudah dipasarkan untuk kebutuhan mobil listrik adalah baterai yang tidak banyak mengandung kobalt. Selain murah, densitas energinya jauh di bawah LiCoO2. Salah satu kandidat yang bisa menyelamatkan dari mahalnya harga kobalt dan densitas tinggi adalah katoda berbasis nikel.
Setidaknya, ada dua tipe baterai, yaitu tipe NCA yang mengandung nikel, kobalt, dan aluminium serta tipe NCM yang terdiri dari komponen nikel, kobalt, dan mangan. Dengan menambah konten nikel, densitas energi naik dan harganya akan turun.
Sisi positif pemakaian nikel adalah reaksi reduksi oksigen yang dapat menghasilkan densitas energi yang tinggi. Namun, sisi negatifnya, material ini tidak stabil sehingga baterai cepat rusak. Untuk kobalt, walaupun mahal, setidaknya sedikit kandungan kobalt masih dibutuhkan untuk menjaga stabilitas struktur. Keberadaan kobalt juga membantu proses kinetik, sedangkan mangan berfungsi menjaga stabilitas termal baterai. Harga mangan memang murah, tetapi jika kebanyakan digunakan, akan memperlambat reaksi.
Baca juga : Indonesia Perlu Berpacu untuk Mengejar Ambisi