Harga Sejumlah Bahan Pokok Melonjak di Akhir Tahun
Memasuki akhir tahun, harga sejumlah bahan pangan pokok melonjak. Kenaikan harga komoditas global dan La Nina menjadi faktor utama penyebab kenaikan harga.
JAKARTA, KOMPAS — Harga sejumlah bahan pangan pokok, seperti minyak goreng dan cabai merah, tidak terkendali pada Natal tahun ini. Kenaikan harga komoditas global dan La Nina menjadi faktor utama penyebab lonjakan harga itu. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat inflasi pada saat daya beli masyarakat belum pulih.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, komoditas pangan pokok yang melonjak harganya adalah minyak goreng, cabai merah, telur ayam ras, dan bawang merah. Per 24 Desember 2021, harga minyak goreng curah naik 3,49 persen secara bulanan menjadi Rp 17.800 per liter, di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 11.000 per liter.
Harga minyak goreng kemasan sederhana juga naik 4,55 persen menjadi Rp 18.400 per liter. Begitu pula minyak goreng kemasan premium yang harganya naik 5,26 persen menjadi Rp 20.000 per liter.
Sementara itu, harga cabai rawit merah naik 118,94 persen menjadi Rp 94.800 per kilogram (kg), cabai merah besar naik 23,5 persen menjadi Rp 49.400 per kg, dan cabai merah keriting naik 26,04 persen menjadi Rp 51.300 per kg. Harga telur ayam ras juga meningkat 11,72 persen menjadi Rp 28.600 per kg dan bawang merah naik 8,43 persen menjadi Rp 28.300 per kg.
Terkait harga minyak goreng yang melejit, pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah biasanya masih mampu mengendalikan harga. Sebagai perbandingan, memasuki pekan keempat Desember 2020, harga minyak goreng tercatat jauh lebih rendah dari saat ini, yaitu Rp 12.100 per liter untuk minyak goreng curah dan Rp 14.838 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.
Begitu juga dengan cabai rawit merah. Sebagai perbandingan, memasuki pekan keempat Desember 2020, cabai rawit merah tercatat seharga Rp 57.500 per kg, jauh di bawah harga cabai rawit merah yang pada pekan keempat Desember tahun ini mencapai Rp 94.800 per kg.
Kenaikan harga sejumlah pangan pokok ini, antara lain, terlihat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah; Kota Bandung, Jawa Barat; dan DKI Jakarta. Pantauan Kompas di Pasar Besar Kota Palangkaraya, Minggu (26/12/2021), harga cabai rawit merah dan hijau melonjak hingga Rp 130.000 per kg.
Pedagang sayuran dan bumbu masak di pasar itu, Suharni (30), mengungkapkan, harga cabai rawit pekan lalu sudah mencapai Rp 120.000 per kg dan terus naik. Padahal, harga normalnya hanya Rp 80.000 per kg. ”Susah carinya, pasokannya juga terbatas. Dari sana (tengkulak) harganya sudah mahal, sudah dari seminggu lalu,” kata Suharni.
Di Bandung, harga cabai rawit di sejumlah pasar juga naik signifikan. Di Pasar Cihapit, misalnya, harga cabai rawit naik menjadi Rp 120.000 per kg. Tiga pekan lalu, harganya masih Rp 40.000-Rp 50.000 per kg.
Sejumlah pembeli mengeluhkan kenaikan harga yang tinggi itu. Namun, pedagang tidak dapat berbuat banyak dalam mengendalikan harga. ”Pedagang beli memang harganya sudah tinggi. Kalau dijual dengan harga normal (sebelum Natal), pedagang yang rugi,” ujar Jejen (42), pedagang di Pasar Cihapit.
Pedagang cabai rawit merah di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta, Sodiqun, mengatakan, kenaikan harga sejumlah bahan pokok itu ikut berdampak pada penjualan. Banyak pembeli yang mengeluh dan akhirnya mengurangi pembelian cabai. ”Ada yang biasanya beli 10 kg, sekarang cuma beli 3 kg,” katanya.
Upaya mengendalikan
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan, kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri dipicu kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dunia. Harga itu mengacu pada harga lelang komoditas CPO Dumai yang pada minggu keempat Desember 2021 ini mencapai Rp 12.041 per liter, naik 42,28 persen dibandingkan Desember 2020.
”Kami memperkirakan harga CPO dunia akan sedikit terkoreksi pada awal Januari 2022 sehingga harga minyak goreng pada pertengahan Januari 2022 diperkirakan turun di kisaran Rp 16.000 per liter,” kata Oke.
Harga minyak goreng pada pertengahan Januari 2022 diperkirakan turun di kisaran Rp 16.000 per liter.
Menurut Oke, untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng, pemerintah melanjutkan pendistribusian 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp 14.000 per liter di 45.000 gerai ritel modern. Hal itu akan dikombinasikan dengan operasi pasar oleh pemerintah daerah dan subsidi harga minyak goreng curah menggunakan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Untuk cabai, kenaikan harga terjadi karena panen raya di beberapa sentra produksi di Jawa Timur mulai berakhir di tengah lonjakan permintaan, khususnya dari sejumlah daerah di Sumatera. Selain itu, produktivitas tanaman cabai turun lantaran efek La Nina yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada Januari 2022.
”Untuk mengatasinya, kami akan mendistribusikan cabai dari daerah yang stoknya masih berlimpah ke daerah yang kekurangan pasokan,” ujar Oke.
Tingginya harga sejumlah bahan pokok itu dapat berpengaruh pada tingkat inflasi nasional. Badan Pusat Statistik mencatat, andil minyak goreng terhadap inflasi kelompok pengeluaran makanan dan minuman pada Oktober dan November 2021 masing-masing sebesar 0,05 persen dan 0,08 persen.
Berdasarkan hasil survei pemantauan harga pada pekan keempat bulan ini, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan, komoditas utama penyumbang inflasi pada Desember 2021 adalah cabai rawit sebesar 0,13 persen dan minyak goreng 0,07 persen.
Komoditas lain yang berkontribusi terhadap inflasi adalah daging ayam ras dan cabai merah masing-masing 0,04 persen; telur ayam ras dengan tarif angkutan udara 0,02 persen; serta bawang merah, sabun detergen bubuk, dan semen 0,01 persen.
Adapun tingkat inflasi pada Desember 2021 diperkirakan sebesar 0,49 persen secara bulanan. Sementara tingkat inflasi sepanjang 2021 diperkirakan 1,79 persen, lebih rendah dari target BI di kisaran 2-4 persen.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, kenaikan inflasi pangan akibat imbas kenaikan harga sejumlah komoditas pangan global, gangguan logistik, dan perubahan iklim dapat berlanjut tahun depan. Indef memperkirakan, tingkat inflasi Indonesia pada 2022 sebesar 3,4 persen.
”Inflasi itu juga akan dipengaruhi oleh kenaikan harga energi yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi yang akan berdampak pada harga jual produk atau jasa. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengantisipasinya sembari terus memulihkan daya beli masyarakat,” katanya.