Emiten yang bisnisnya terkait teknologi digital dianggap paling menarik di mata investor di sepanjang tahun ini. Sebaliknya, yang tidak berbau digital kurang dilirik.
Oleh
joice tauris santi
·4 menit baca
Dinamika di pasar saham sepanjang 2021 memang menarik. Di tengah pandemi Covid-19, fenomena perubahan bank-bank kecil menjadi bank digital menjadi salah satu hal yang menarik untuk dicermati, sekaligus dinikmati pergerakan harga sahamnya.
Kelompok saham yang menguat banyak justru sebagian besar bukan merupakan saham unggulan. Saham ”zaman now” yang bisnisnya terkait dengan teknologi menjadi primadona. Saham dalam kelompok new economy menjadi jawara pada tahun ini. Bahkan, ada beberapa saham yang harganya naik hingga di atas 100 persen dari awal tahun.
Saham-saham yang naik menjadi berlipat ini dikenal dengan sebutan saham bagger. Dari 700-an saham yang ada di Bursa Efek Indonesia, setidaknya ada 112 saham yang naiknya sudah lebih dari 100 persen.
Kalau diteliti lagi dengan saksama, dari saham-saham yang naik hingga di atas 100 persen ini, hinggga Selasa (21/12/2021), ada empat saham yang naik lebih dari 1.000 persen atau 10 kali lipat. Ada 15 saham yang naik di atas 500 persen dan masih ada 6 saham yang naik di atas 400 persen.
Bayangkan jika pada awal tahun, seorang investor menempatkan dana sebesar Rp 100 juta pada empat saham yang akhirnya naik 1.000 persen, di akhir tahun uangnya sudah berkembang menjadi Rp 1 miliar.
Saham dalam kelompok new economy menjadi jawara pada tahun ini. Bahkan, ada beberapa saham yang harganya naik hingga di atas 100 persen dari awal tahun.
Saham apa saja yang naik hingga 1.000 persen? Tercatat ada saham PT Allo Bank Indonesia Tbk yang naik hingga 3.140 persen, PT Telefast Indonesia Tbk 2.677 persen, PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk 1.464 persen, dan PT Digital Mediatama Maxima 1.001 persen. Sementara saham yang naik di atas 500 persen antara lain saham PT Bank Bumi Arta Tbk sebesar 643 persen dan PT Temas Tbk 997 persen.
Jika diperhatikan, sebagian saham yang moncer itu justru saham yang sebelumnya tidak banyak didengar. Beberapa di antaranya saham yang sempat tertidur atau tidak memiliki tren sebelum akhirnya mendapatkan kesempatan untuk melaju. Aksi korporasi seperti diakuisisi, diubah bentuk bisnisnya, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan saham itu dilirik para investor. Persyaratan Otoritas Jasa Keuangan agar perbankan memiliki modal inti setidaknya Rp 2 triliun pada akhir tahun ini juga menjadi salah satu faktor maraknya merger dan akuisisi di kalangan bank-bank kecil.
Emiten ”boncos”
Sebaliknya, ada harga saham emiten yang minus hingga akhir tahun ini. Bukannya memberikan keuntungan, jika berinvestasi pada saham ini investor akan merugi. Dari 700-an saham, ada sekitar 24 saham yang harganya turun lebih dari 50 persen.
Di antaranya adalah saham PT Bank Mayapada Tbk turun 85 persen, PT Cahaya Bintang Medan Tbk minus 84 persen, dan PT Wilton Makmur Indonesia Tbk minus 80 persen. Investor yang membeli saham-saham ini pada awal tahun sebesar Rp 100 juta pada Desember ini hanya akan tersisa sekitar Rp 20 juta. Jika dilihat dari kinerjanya, sebagian dari saham yang melorot hingga lebih dari separuh harga awal tahun memang tidak membukukan kinerja yang baik.
Aksi korporasi seperti diakuisisi, diubah bentuk bisnisnya, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan saham itu dilirik para investor.
Pada jajaran saham berkinerja baik itu, jarang ditemukan saham-saham unggulan. Saham unggulan, seperti saham-saham likuid yang termasuk dalam indeks LQ 45, justru sebagian terbenam. Saham-saham ini sering disebut saham ”zaman old”, bisnis mereka adalah bisnis yang sudah lama dilakukan dan kurang menarik jika tidak berbau digital.
Sepanjang 2021, dari 45 saham terlikuid yang biasanya menjadi jagoan dalam portofolio investasi investor, hanya ada 17 yang membukukan imbal hasil positif hingga 21 Desember 2021. Sisanya malah tergerus. Saham-saham ini juga tidak ada yang membukukan kenaikan harga lebih dari 100 persen.
Saham dalam jajaran LQ 45 yang paling tinggi imbal hasilnya adalah PT Tower Bersama Infrastruktur Tbk yang naik 86,5 persen. Disusul oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk 47 persen, PT Adaro Energy Tbk 48 persen, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk 47 persen. Ketiga emiten ini bergerak pada bidang pertambangan. Harga komoditas pertambangan memang naik pada 2021. Adapun kenaikan terendah dibukukan oleh bank pelat merah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebesar 1,34 persen dan PT Timah Tbk 1 persen.
Ada 28 saham pada jajaran LQ 45 lain yang melorot. Penurunan terbesar terjadi pada saham PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk yang melorot 46 persen dari awal tahun. Perusahaan BUMN lain, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, juga turun 45 persen dan PT Unilever Indonesia Tbk minus 44 persen. Dari daftar saham LQ 45, emiten yang membukukan penurunan harga saham paling kecil adalah PT Astra International Tbk yang ”hanya” minus 6,22 persen.
Saham Anda yang mana? Buat yang masih pegang saham ”boncos”, sabar ya….