Produk-produk ekspor Indonesia sudah mulai berevolusi dari bahan mentah ke produk bernilai tambah. Di sisi lain, kontribusi daerah-daerah di wilayah timur Indonesia terhadap ekspor nasional juga semakin besar.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama 10 tahun terakhir ini, produk-produk ekspor Indonesia telah berevolusi dari bahan mentah dan setengah jadi menjadi produk bernilai tambah dan berteknologi tinggi. Pemerintah berkomitmen menjaga dan mengembangkan tren itu sembari mengatasi tantangan dan hambatan dagang.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, sekitar 10 tahun lalu ekspor Indonesia masih didominasi bahan mentah dan bahan jadi, terutama hasil pertambangan dan perkebunan. Pada tahun ini, ekspor Indonesia mulai ditopang sejumlah produk bernilai tambah dan berteknologi tinggi, seperti besi baja, elektronik, dan otomotif.
Ke depan, ekspor tersebut akan diperkuat lagi dari hasil hilirisasi, seperti produk olahan nikel dan tembaga serta dimethyl ether (DME) yang merupakan produk turunan batubara. Pemerintah juga tengah berupaya meningkatkan ekspor motor listrik Gesits selain ke Senegal, Afrika Barat.
”Ekspor bernilai tambah itu akan dijaga trennya melalui investasi dan pembukaan pasar-pasar ekspor baru,” kata Lutfi dalam acara Pelepasan Ekspor Akhir Tahun 2022 yang digelar secara hibrida, Kamis (23/12/2021).
Sekitar 10 tahun lalu ekspor Indonesia masih didominasi bahan mentah dan bahan jadi, terutama hasil pertambangan dan perkebunan. Pada tahun ini, ekspor Indonesia mulai ditopang sejumlah produk bernilai tambah dan teknologi tinggi, seperti besi baja, elektronik, dan otomotif.
Pelepasan ekspor senilai total 2,44 miliar dollar AS atau Rp 35,03 triliun itu diikuti 278 eksportir dari 62 kabupaten/kota di 26 provinsi. Produk-produknya, antara lain, kendaraan bermotor, garmen, perikanan, batang dan kawat kuningan, makanan-minuman, minyak kelapa sawit mentah (CPO), batubara, serta karet dan produk dari karet.
Produk-produk itu diekspor ke 58 negara yang sebesar 87 persennya merupakan pasar tradisional. Sisanya merupakan negara-negara pasar nontradisional, seperti Polandia, Kolombia, Pakistan, Kamboja, Afrika Selatan, Meksiko, Maladewa, dan Oceania.
Menurut Lutfi, daerah-daerah penopang ekspor juga mulai berkembang merata, tak hanya wilayah barat, tetapi juga timur Indonesia. Pada pelepasan ekspor tersebut, misalnya, produk-produknya ada yang berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku Utara, dan Maluku.
”Ini mengindikasikan ke depan ekspor nasional akan ditopang oleh daerah-daerah di wilayah timur Indonesia,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-November 2021 surplus 34,32 miliar dollar AS atau Rp 492,42 triliun. Total nilai ekspor migas dan nonmigas mencapai 209,16 miliar dollar AS, lebih tinggi dari impor yang sebesar 174,84 miliar dollar AS.
Lutfi memproyeksikan, nilai ekspor Indonesia hingga akhir tahun ini bisa mencapai sekitar 230 miliar dollar AS. Adapun surplus neraca perdagangannya diperkirakan minimal bisa 37 miliar dollar AS.
Di samping itu, jumlah eksportir di luar Jawa juga bertambah dalam satu dekade ini, terutama dari kalangan pelaku usaha kecil menengah (UKM). Di Kalimantan Timur, misalnya, Wakil Gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi menyatakan, pada 2010, hanya ada tujuh pelaku UKM yang menjadi eksportir, saat ini jumlahnya bertambah menjadi 35 eksportir.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Didi Sumedi menuturkan, pelaku UKM berkontribusi cukup besar dalam pelepasan ekspor akhir tahun ini. Dari 278 eksportir, 54 eksportir adalah pelaku UKM dengan kontribusi ekspor senilai 5,56 juta dollar AS. Komoditas yang diekspor adalah produk perikanan dan kelautan, furnitur, kerajinan dan dekorasi rumah, makanan olahan, rempah-rempah, serta tekstil dan produk tekstil.
Sementara 224 eksportir yang lain merupakan pengusaha non-UKM. Kontribusinya sebesar 2,43 miliar dollar AS dari total nilai pelepasan ekspor tersebut. Komoditas yang diekspor, antara lain, batubara, otomotif, minyak sawit, produk perikanan dan kelautan, TPT, produk kimia, sepeda dan bagiannya, karet dan produk karet, besi baja, serta makanan-minuman olahan.
Dalam telekonferensi dengan sejumlah pemerintah daerah dan eksportir, Lutfi juga meminta agar pemerintah daerah mendorong ekspor, terutama dari kalangan UKM. Ia juga meminta sejumlah tantangan ekspor dicermati. Tantangan itu, antara lain, terkait dengan potensi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, lonjakan biaya dan hambatan logistik laut, serta krisis energi di sejumlah negara di Eropa dan China.
Kementerian Perdagangan juga akan berupaya mengurai hambatan-hambatan perdagangan dari sejumlah negara dan kawasan. Salah satu hambatan perdagangan itu berasal dari Uni Eropa yang akan menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan pajak karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023.
”Produk-produk ekspor Indonesia seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik bisa terhambat. Jika Uni Eropa menerapkan hal itu, kami akan mengadukannya ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),” ujarnya.