Para pelaku industri kelapa sawit nasional diharapkan tidak terlena dengan lonjakan harga komoditas. Salah satu pekerjaan besar yang mesti dihadapi adalah mendorong produktivitas yang saat ini masih jauh dari potensinya.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski sedang menikmati harga tinggi, seluruh pihak di industri kelapa sawit nasional diharapkan tidak terlena dengan bonanza atau keuntungan besar seiring lonjakan harga komoditas. Industri ini dibayangi kenaikan biaya produksi yang lebih besar ketimbang kenaikan harga jualnya, sementara produktivitas tanaman belum optimal.
Intensifikasi dinilai perlu terus didorong untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Demikian salah satu poin yang mengemuka dalam webinar bertajuk ”Upaya Mempercepat Peningkatan Produksi dan Produktivitas Sawit Nasional yang Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas” yang digelar majalah Agrina dan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) secara daring, Rabu (22/12/2021).
Menteri Pertanian periode 2000-2004 Bungaran Saragih dan Koordinator Substansi Kelapa Sawit Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Mula Putera hadir untuk memberikan sambutan dalam webinar tersebut. Turut hadir sebagai pembicara, yakni Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, dan Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Agam Fatturochman.
Nilai ekspor sawit Indonesia sepanjang Januari-Oktober 2021, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 30,04 miliar dollar AS atau Rp 426,56 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 14.200 per dollar AS. Nilai ekspor sawit 10 bulan pada 2021 itu lebih besar dibandingkan dengan nilai ekspor sawit selama 12 bulan tahun 2020 yang mencapai 22,95 miliar dollar AS atau Rp 325,89 triliun.
Nilai ekspor kelapa sawit tersebut juga setara dengan 17,02 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia yang pada periode Januari-Oktober 2021 mencapai 176,46 miliar dollar AS atau Rp 2.505 triliun. Produk sawit juga menyumbang penghematan devisa melalui program biosolar B30 (campuran 30 persen minyak nabati dengan solar) sebesar 3,77 miliar dollar AS atau Rp 53,53 triliun pada periode Januari-Oktober 2021.
Video Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung soal lonjakan ekspor sawit.
Industri kelapa sawit dinilai berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Kementerian Pertanian mencatat, saat ini industri kelapa sawit nasional menyerap 16,2 juta tenaga kerja yang tersebar di 25 provinsi dan 345 kabupaten/kota. Industri kelapa sawit juga menghasilkan bahan bakar B30 pengganti bahan bakar fosil sebanyak 8,4 juta kiloliter.
Seiring dengan membaiknya perekonomian dunia, permintaan dan konsumsi sawit dan produk turunannya meningkat, termasuk biodiesel. Di sisi lain, pasokan sawit belum mampu mengimbangi kenaikan permintaannya. Hasilnya, harga jual rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sepanjang 2021 berada di atas 1.000 dollar AS per metrik ton dan bahkan mencapai titik tertingginya, yakni 1.390 dollar AS per metrik ton, pada Oktober 2021.
Situasi itu diikuti peningkatan ekspor sawit Indonesia, yakni mencapai 56,73 persen, pada Agustus 2021 dibandingkan dengan Juli 2021. Pada Agustus, Indonesia mengekspor 4,27 juta ton produk minyak sawit senilai 4,42 miliar dollar AS atau sekitar Rp 62,76 triliun. Sebagai perbandingan, Indonesia memproduksi 48,29 juta ton sawit dan mengisi 59 persen pasar dunia pada tahun 2020. Hal itu membuat Indonesia menjadi produsen sawit terbesar dunia.
Tungkot mengatakan, di tengah lonjakan harga komoditas sawit, seluruh pemangku diminta untuk tidak terlena dan bersiap diri. Sebab, industri dibayangi kenaikan biaya produksi yang lebih besar ketimbang kenaikan harga jualnya. ”Kalau biaya produksi sama atau bahkan lebih besar dari harga jualnya, ini berbahaya. Petani dan pengusaha sawit bisa tutup semua,” ujarnya.
Riset PASPI menyebutkan, laju kenaikan biaya produksi minyak sawit mentah (CPO) mencapai 5 persen per tahun, sedangkan kenaikan harga CPO dunia hanya 1,8 persen per tahun. Mengacu hal itu, pihaknya memproyeksikan pada 2024 harga CPO akan sama dengan biaya produksi CPO dan kemungkinan akan lebih besar pada tahun-tahun berikutnya.
Kenaikan biaya produksi ini paling besar dipicu oleh kenaikan upah minimum bagi pekerja. Mengingat industri kelapa sawit merupakan industri padat karya yang membutuhkan tenaga kerja yang besar, kata Tungkot, kenaikan upah minimum akan langsung berpengaruh pada kenaikan biaya produksi.
Pada saat bersamaan, produktivitas tandan buah segar (TBS) sawit juga menurun. Riset PASPI mengungkapkan, produktivitas TBS sawit pada 2020 mencapai 15 ton per hektar, turun dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 17 ton per hektar. Sementara biaya produksi pada 2020 mencapai Rp 7.000 per kilogram, naik dibandingkan dengan 2019 yang sebesar Rp 6.000 per kilogram.
Menurut Bungaran Saragih, produktivitas sawit Indonesia saat ini masih jauh di bawah potensinya. Data Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), produktivitas sawit rakyat mencapai 3,3 ton per hektar, sementara produktivitas sawit milik badan usaha milik negara (BUMN) 3,8 ton per hektar dan sawit swasta 3,9 ton per hektar. Capaian itu jauh di bawah potensi yang bisa dicapai menurut riset PPKS, yakni 7,8 ton per hektar.
Intensifikasi
Bungaran mengatakan, salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas sawit nasional adalah melalui intensifikasi pertanian, yakni bagaimana dengan luas lahan yang sama bisa menghasilkan sawit yang bisa lebih banyak. Upaya intensifikasi itu bisa berupaya peremajaan tanaman yang telah tua dan rendah hasil panennya.
”Peningkatan produktivitas tanaman sawit ini juga bagian dari menciptakan sawit berkelanjutan agar petani dan pelaku usaha sawit bisa tetap bertahan,” ujar Bungaran.
Saat ini total luas lahan sawit di Indonesia mencapai 16,4 juta hektar. Jumlah itu terdiri dari 53 persen milik swasta, 41 persen milik rakyat, dan 6 persen milik negara. Dari jumlah itu, 8 persen tanaman sawit berusia renta (lebih dari 25 tahun), 12 persen tanaman tua (21-25 tahun), 25 persen berusia dewasa (14-20 tahun), 16 persen berusia remaja (9-13 tahun), 24 persen berusia muda (4-8 tahun), dan 15 persen tanaman belum menghasilkan (TBM), yakni 0-3 tahun.
Mula Putera mengatakan, Kementerian Pertanian telah menyiapkan sejumlah rencana peremajaan sawit rakyat. Pihaknya merencanakan peremajaan di lahan seluas 540.000 hektar selama kurun waktu 2020-2022 di 22 provinsi dan 108 kabupaten/kota. ”Selain itu, kami akan lakukan perbaikan sarana prasarana perkebunan sawit untuk intensifikasi,” ujar Mula.
Video Koordinator Substansi Kelapa Sawit Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Mula Putera soal program peremajaan sawit.
Tungkot mengatakan, program peremajaan sawit rakyat hanya membenahi 20 persen persoalan terkait rendahnya produktivitas kontribusi pembenahan lebih besar, yakni mencapai 80 persen, bisa dilakukan dengan mengupayakan praktik pertanian yang baik atau good agricultural practice (GAP) untuk meningkatkan produktivitas.
”Ini, antara lain, bagaimana penanaman yang tepat hingga pengawasan terhadap serangan hama dan penyakit. Penanganan yang tepat untuk memberikan hasil panen dan produktivitas yang lebih besar,” ujar Tungkot.