Keluhan petani Temanggung soal bawang putih impor sejatinya bukan hal baru. Pengembangannya seolah terabaikan, tecermin dari target yang terus direvisi, bawang impor yang kian dominan, dan kasus korupsi yang mewarnai.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Dalam kunjungan kerjanya ke Jawa Tengah, Selasa (14/12/2021), Presiden Joko Widodo berdialog dengan para petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung. Para petani mengeluhkan soal masuknya bawang putih impor saat panen bawang putih. Harga bawang putih lokal pun melorot dan petani enggan menanam bawang putih.
Kepada Presiden Joko Widodo, Selasa (14/12/2021), petani Desa Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, berkeluh tentang bawang putih impor yang masuk ketika panen berlangsung. Selain menekan harga di tingkat petani, bawang impor dinilai menutup akses petani ke pasar sehingga hasil panennya menumpuk tak terserap.
Saat mendengar keluhan itu, Presiden yang tengah berdialog dengan petani di sela-sela kunjungan kerjanya untuk meninjau program lumbung pangan di Temanggung dan Wonosobo langsung mengontak Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Presiden berharap persoalan itu tidak terulang lagi.
Keluhan serupa sejatinya bukan hal baru. Tahun lalu, Bupati Temanggung M Al Khadziq meminta penghentian masuknya bawang putih impor ke Jawa Tengah karena hasil panen petani menumpuk di gudang dan rumah petani. Pada April 2020, bersamaan dengan masuknya 54.000 ton bawang putih impor ke Jawa Tengah, harga bawang putih di tingkat petani di Temanggung anjlok dari kisaran Rp 10.000-Rp 14.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 6.000-Rp 8.000 per kg.
Selain oleh pasar, bawang produksi petani Temanggung juga tidak terserap untuk program pengembangan bawang putih nasional. Padahal, sebagai sentra bawang putih nasional, Temanggung telah ditunjuk sebagai salah satu tempat pengembangan sekaligus penyuplai benih guna menopang target swasembada.
Keterbatasan benih merupakan salah satu kendala pengembangan bawang putih nasional. Oleh karena bertahun-tahun tidak dibudidayakan petani, suplai benih makin berkurang dan jumlahnya terbatas. Pada tahun 2017, pemerintah mencanangkan target swasembada bawang putih dengan terlebih dulu fokus pada penyediaan bibit.
Ketika itu, kebutuhan bawang putih nasional diperkirakan mencapai 480.000 ton per tahun. Dengan perkiraan produktivitas 8 ton per hektar dan kebutuhan bibit 1 ton per hektar, Kementerian Pertanian memperkirakan kebutuhan bibit mencapai setidaknya 60.000 ton per tahun untuk memenuhi kebutuhan bawang putih nasional. Pada tahap awal, seluruh bawang putih yang dipanen petani diproyeksikan untuk bibit, sementara kebutuhan konsumsi dipenuhi dengan bawang putih impor.
Pemerintah juga memberlakukan peraturan lebih ketat untuk impor bawang putih. Selain membuat surat kesanggupan mengembangkan bawang di dalam negeri, pemerintah menetapkan sanksi bagi importir pelanggar, yakni pengurangan volume serta pencabutan rekomendasi.
Melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2017, pemerintah merevisi peraturan tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Importir bawang putih mesti mengantongi rekomendasi. Selain itu, importir juga harus memproduksi bawang putih di dalam negeri setidaknya 5 persen dari kuota impornya, menanam sendiri atau bermitra dengan petani, menanam di lahan baru, dan menanam paling lama satu tahun sejak penerbitan RIPH.
Kewajiban itu diharapkan meningkatkan daya saing bawang putih produksi dalam negeri. Pada saat yang sama, pemerintah mengembangkan bawang putih di sejumlah daerah sentra, seperti Temanggung dan Karanganyar (Jawa Tengah) serta Sembalun dan Bima (Nusa Tenggara Barat). Namun, pencapaiannya belum sesuai harapan. Hal itu tecermin dari porsi bawang putih impor yang kian dominan. Keluhan petani Temanggung kepada Presiden bisa menjadi cermin untuk melihat pencapaian program.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja membersihkan bawang putih pesanan pelanggan, Kamis (14/5/2020).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor bawang putih Indonesia mencapai 444.300 ton pada tahun 2016, lalu naik jadi 556.000 ton tahun 2017. Pada tahun 2018, volume impor bertambah lagi menjadi 581.100 ton, lalu sempat turun jadi 465.300 ton tahun 2019 dan naik lagi jadi 587.700 ton tahun 2020.
Tahun ini, menurut prognosis Badan Ketahanan Pangan, impor bawang putih diperkirakan 534.545 ton atau 97,7 persen dari total kebutuhan yang mencapai 546.888 ton. Jumlah itu mencakup kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga; hotel, restoran, dan industri; serta kebutuhan benih 1 ton per hektar luas tanam. Bawang impor masih dominan karena produksi dalam negeri diperkirakan hanya 27.695 ton.
Dengan harga yang relatif lebih murah, pedagang dan konsumen tentu lebih memilih bawang impor. Namun, situasi itu terbukti menghancurkan sektor budidaya di hulu. Keluhan petani Temanggung sejatinya menegaskan ulang problem pengaturan dan pengawasan impor yang menghambat pengembangan bawang putih nasional.
Tanpa keseriusan pemerintah memperketat impor dan mengembangkan bawang di dalam negeri, lupakan target swasembada yang berulang-ulang direvisi.
Tanpa keseriusan pemerintah memperketat impor dan mengembangkan bawang di dalam negeri, lupakan target swasembada yang berulang-ulang direvisi. Target itu tidak akan benar-benar tercapai jika petani tidak diberi kesempatan memperoleh keuntungan dari usahanya. Anggaran dan tenaga yang dikerahkan untuk mengawal program akan sia-sia. Apalagi jika importasi hanya jadi celah korupsi.
Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengurusan izin impor bawang putih, 7-8 Agustus 2019, lalu vonis oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, cukuplah sebagai cermin untuk memperbaiki langkah ke depan.