Petani Bawang Putih Tegal Keluhkan Minimnya Serapan
Petani bawang putih di Kabupaten Tegal, Jateng, mengeluhkan minimnya serapan hasil panen akibat perubahan kebijakan wajib tanam bagi importir bawang putih. Ketidakpastian serapan berpotensi mengendurkan semangat petani.
Oleh
KRISTI UTAMI
·3 menit baca
KOMPAS/KRISTI UTAMI
Petani menunjukkan hasil panen bawang putih di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (2/9/2020). Panen tersebut dilakukan di lahan seluas 0,5 hektar.
SLAWI, KOMPAS — Sejumlah petani bawang putih di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, mengeluhkan minimnya penyerapan hasil panen. Salah satu hal yang dituding menjadi penyebabnya adalah perubahan aturan wajib tanam bagi importir bawang putih.
Ratusan petani bawang putih di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, mengeluhkan penumpukan lebih kurang 30 ton bawang putih hasil panen pada 2019. Seharusnya, bawang putih senilai Rp 1,6 milar itu diserap para importir bawang putih untuk bibit pada masa tanam di awal 2020.
Puluhan ton bawang putih itu tidak terserap lantaran adanya pelonggaran syarat wajib tanam bagi importir bawang putih. Pelonggaran wajib tanam itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis.
Petani bawang putih Kabupaten Tegal, Bank Indonesia, Pemerintah Kabupaten Tegal, Kementerian Perdagangan, dan Institut Pertanian Bogor mengikuti panen bawang putih di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (2/9/2020). Mereka memanen 15 ton bawang putih di lahan seluas 0,5 hektar.
Sebelumnya, para importir diwajibkan menanam 5 persen dari volume impor sebelum mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Untuk menanam bawang putih, importir biasanya bekerja sama dengan petani lokal.
Akan tetapi, setelah permentan itu terbit, importir bisa langsung mendapatkan RIPH. Kewajiban menanam sebesar 5 persen dari volume impor boleh dipenuhi setelah impor dilakukan.
”Setelah impornya ini kapan? Ini tidak pasti. Padahal, bibit yang kami siapkan bisa rusak kalau tidak segera ditanam,” ujar Ketua Kelompok Tani Bawang Putih Desa Bojong Ahmad Maufur, Rabu (2/9/2020) di Tegal.
Petani memanen bawang putih di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (2/9/2020). Bawang putih yang dipanen sebelumnya ditanam menggunakan sistem penggandaan kromosom.
Maufur mengatakan, selama ini, para petani bawang putih di Kabupaten Tegal bekerja sama dengan delapan importir. Dalam tiga tahun terakhir, misalnya, para petani menanam dan menyuplai ribuan ton bibit.
Tahun ini, mereka hanya bekerja sama dengan satu importir. Kepada petani, importir tersebut bahkan belum memberi kepastian terkait kapan akan menyerap hasil panen.
Maufur menambahkan, luas tanam bawang putih di Kecamatan Bojong pada 2020 sekitar 50 hektar. Dari Januari-Agustus, petani memanen sebanyak 170 ton. Ratusan ton bawang putih tersebut juga terancam tidak terserap.
Petani menunjukkan umbi bawang putih hasil panen mereka di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (2/9/2020). Berat umbi bawang putih lokal tersebut 10-20 gram per siung.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tegal M Taufik Amrozy mengatakan, pelonggaran wajib tanam 5 persen dari volume impor berpotensi mengendurkan semangat petani. Pemerintah dinilai perlu berpihak kepada petani bawang putih lokal. Beberapa caranya, memberikan jaminan penyerapan hasil panen dan memperluas lahan tanam. Harapannya, tujuan pemerintah untuk swasembada bawang putih bisa lekas tercapai.
”Sebanyak 95 persen dari kebutuhan bawang putih nasional (sebesar 600.000 ton per tahun) dipenuhi bawang putih impor. Bayangkan, berapa triliun devisa yang bisa kita hemat kalau swasembada bawang putih?” ujar Taufik.
Kalah bersaing
Saat ini, petani di Kabupaten Tegal menanam bawang putih untuk keperluan pembibitan. Bawang putih yang mereka hasilkan dinilai belum mampu bersaing dengan bawang putih impor untuk keperluan konsumsi. Sebab, ukuran umbi bawang putih lokal lebih kecil dari umbi bawang putih impor.
KOMPAS/KRISTI UTAMI
Petani menunjukkan perbedaan bawang putih lokal (kanan) dan bawang putih impor (kiri) di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (2/9/2020).
Bank Indonesia dan Pemerintah Kabupaten Tegal menggandeng peneliti dari Institut Pertanian Bogor untuk mengembangkan bibit bawang putih dengan sistem penggandaan kromosom. Sistem tersebut diharapkan mampu membuat umbi bawang putih yang dihasilkan memiliki ukuran mendekati ukuran bawang putih impor.
”Rata-rata bawang putih impor memiliki berat sekitar 30 gram. Adapun berat bawang putih lokal berkisar 10-20 gram. Dengan sistem penggandaan kromosom, berat bawang putih lokal diharapkan bisa mencapai 30 gram,” kata Kepala Bidang Pertanian dan Perkebunan di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tegal Nur Udi Setiawan.
Sebelumnya, para petani di Kabupaten Tegal trauma untuk kembali menanam bawang putih. Sebab, pada sekitar tahun 1998, petani bawang putih di Kabupaten Tegal merugi akibat dibukanya keran impor bawang putih. Harga bawang putih lokal saat itu anjlok karena tidak mampu bersaing dengan harga bawang putih impor.
KOMPAS/KRISTI UTAMI
Para petani memanen bawang putih di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (2/9/2020). Saat ini ada 400 petani bawang putih di Kabupaten Tegal.
Pada 2015, Bank Indonesia mendampingi seorang petani dari Kabupaten Tegal untuk menanam bawang putih di lahan seluas 3.000 meter persegi. Tujuannya, mengurangi ketergantungan pada bawang putih impor.
Pada 2020, jumlah petani bawang putih bertambah menjadi 400 orang, sementara luas lahan tanamnya mencapai 50 hektar. Adapun rata-rata produktivitas tanaman bawang putih sebanyak 12 ton per hektar.
KOMPAS/KRISTI UTAMI
Petani memikul hasil panen bawang putih di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Jateng, Rabu (2/9/2020). Petani memerlukan jaminan penyerapan bawang putih hasil panen.