Perusahaan yang bisnis utamanya penambangan batubara ini memperkuat lini usaha pengembangan energi terbarukan dan hilirisasi batubara.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Bukit Asam Tbk menegaskan strategi diversifikasi usaha menghadapi fenomena dekarbonisasi yang menguat akhir-akhir ini. Perusahaan yang bisnis utamanya penambangan batubara ini memperkuat lini usaha pengembangan energi terbarukan dan hilirisasi batubara.
”Pada tahun 2026, kami ingin menjadi perusahaan yang berbasis energi, tetapi masih bertumpu pada bisnis batubara dengan porsi sekitar 50 persen,” ujar Direktur Utama Bukit Asam Suryo Eko Hadianto dalam telekonferensi pers, Jumat (10/12/2021), di Jakarta.
Menurut Suryo, Bukit Asam menyiapkan tiga strategi transformasi bisnis sampai 2026 mendatang. Ketiga strategi tersebut adalah mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di area bekas tambang, pengembangan hilirisasi batubara menjadi metanol, serta penjajakan program manajemen karbon.
Khusus PLTS, imbuh Suryo, pihaknya memulai dengan kapasitas kecil, yaitu bekerja sama dengan PT Angkasa Pura (Persero) II mengoperasikan PLTS berkapasitas 241 kilowatt peak (kWp) pada 2020. Pada tahun yang sama, Bukit Asam membangun empat PLTS untuk kegiatan pendidikan dan irigasi sebagai bagian program tanggung jawab sosial perusahaan. Bukit Asam direncakan juga akan menambah 10 PLTS untuk kebutuhan irigasi pada 2022.
Perusahaan yang bisnis utamanya penambangan batubara ini memperkuat lini usaha pengembangan energi terbarukan dan hilirisasi batubara.
Adapun pembangunan PLTS berskala besar akan dilakukan di area bekas tambang batubara perusahaan yang ada di Ombilin (Sumatera Barat), Tanjung Enim (Sumatera Selatan), dan Bantuas (Kalimantan Timur). Pembangunan dilakukan bertahap sampai mencapai kapasitas 200 megawatt (MW). Sementara untuk hilirisasi batubara dilakukan dengan proses gasifikasi menjadi metanol.
Mengenai manajemen karbon, menurut Suryo, perusahaan masih melakukan studi kelayakan. Di luar itu, perusahaan terus mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca yang salah satunya adalah dengan mengganti alat pertambangan berbahan bakar minyak ke alat yang bertenaga listrik.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, isu dekarbonisasi memang ditujukan mengurangi emisi gas rumah kaca. Perusahaan tambang batubara yang tergabung di asosiasi tenagh fokus ke tujuan tersebut.
”Kami tetap melaksanakan pertambangan batubara. Namun, saat melakukan kegiatan operasional itu, kami berupaya sebanyak mungkin mengurangi emisi gas rumah kaca. Jadi, (perusahaan tambang batubara) tidak lantas segera ’berganti baju’ ke bisnis lain,” ucap Hendra.
Beradaptasi
Mengutip laporan BP Statistical Review of World Energy 2021, Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 34,87 miliar ton pada 2020 atau 3,25 persen dari cadangan batubara dunia yang sebanyak 1.074 miliar ton. Dengan cadangan seperti itu, Indonesia berada di urutan ke-8 yang memiliki cadangan batubara terbesar di antara negara G-20.
Perusahaan terus mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca yang salah satunya adalah dengan mengganti alat pertambangan berbahan bakar minyak ke alat yang bertenaga listrik.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, pernyataan pemerintah yang menargetkan dekarbonisasi tahun 2060 atau lebih awal merupakan sinyal bahwa kelangsungan industri batubara tidak akan lama lagi. Apalagi, di negara kawasan Eropa dan Amerika Serikat sudah memensiunkan dini sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Negara-negara itu, menurut dia, mengakui bahwa teknologi PLTU tidak bisa lagi bersaing dengan teknologi untuk energi terbarukan.
Menurut Fabby, pelaku industri pertambangan batubara sebenarnya menunggu kejelasan kebijakan energi nasional untuk jangka panjang pascapernyataan target karbon netral 2060 atau lebih awal. Kejelasan itu, misalnya, merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) atau Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, hingga sekarang belum semua jenis energi baru dan terbarukan bisa digunakan sebagai sumber energi secara cepat dan terjangkau bagi masyarakat. ”Pemakaian batubara dalam jangka panjang akan terus berkurang, tetapi pengurangannya tidak bisa dilakukan cepat. Apalagi, dalam konteks pemakaiannya untuk PLTU. Pemerintah harus mempunyai mekanisme phasing out yang tepat,” katanya.