Ditunggu, Peta Jalan Pengakhiran Batubara Sebelum 2040
Rencana penghapusan batubara bagi pembangkit listrik pada 2040 membutuhkan peta jalan yang dijalankan dengan komitmen kuat dan terarah.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berencana untuk mempercepat transisi pembangkit listrik tenaga batubara menjadi energi bersih sebelum tahun 2040 jika mendapat dukungan dana internasional. Hal ini diharapkan juga diikuti dengan berbagai produk kebijakan dan mengimplementasikannya dengan peta jalan yang jelas.
”PLTU batubara (di Indonesia) dengan kapasitas saat ini sebesar 31,9 GW (gigawatt) telah berkontribusi sangat besar terhadap krisis iklim serta dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia. Belum lagi tambahan sebesar 13,8 GW PLTU di dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2021-2030, 90 persen diantaranya akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas,” kata Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, di Jakarta, Kamis (4/11/2021).
Tata menyampaikan ini menanggapi inisiatif Indonesia untuk menghentikan operasi PLTU batubara pada 2040 sesuai rekomendasi IPCC dan melakukan transisi ambisius ke energi bersih dan terbarukan. Sebelumnya, dalam konferensi COP26 di Glasgow, pada Rabu (3/11), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia bisa mempercepat transisi energi batubara ke energi bersih jika ada bantuan keuangan dari lembaga multilateral, sektor swasta, dan negara-negara maju.
”Kalau kita mau maju sampai 2040, kita perlu dana untuk pensiunkan batubara lebih awal dan untuk membangun kapasitas baru energi terbarukan,” kata Sri Mulyani, sebagaimana dilaporkan Reuters.
Transisi ke energi bersih dan terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar.
Sebelumnya, Indonesia mengatakan pihaknya berencana untuk menghentikan penggunaan batubara untuk listrik pada 2056, sebagai bagian dari rencana untuk mencapai emisi nol karbon bersih pada 2060. Namun, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pekan lalu mengatakan kepada parlemen Inggris bahwa Presiden Joko Widodo telah berencana akan memajukan penghapusan penggunaan batubara hingga 2040.
Sri Mulyani mengatakan bahwa untuk memenuhi target tersebut tergantung pada bantuan keuangan dari lembaga multilateral, sektor swasta, dan negara-negara maju. ”Itulah yang sekarang menjadi inti isu dan saya sekarang sebagai menteri keuangan menghitung apa artinya pensiun batubara lebih awal. Berapa biaya kita?” kata Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, Indonesia juga membutuhkan dukungan internasional untuk memastikan listrik tetap terjangkau ketika beralih ke sumber terbarukan. Perhitungan sementara, kebutuhannya mencapai 10 miliar dollar AS hingga 23 miliar dollar AS, guna memberi subsidi proyek pembangkit listrik terbarukan hingga 2030.
”Jika ini semua seharusnya dibiayai dari uang pembayar pajak saya, itu tidak akan berhasil. Dunia bertanya kepada kita, jadi sekarang pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan dunia untuk membantu Indonesia,” katanya.
Juga di Glasgow, Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Masatsugu Asakawa mengumumkan telah meluncurkan ”Mekanisme Transisi Energi”, untuk membantu Indonesia dan Filipina memensiunkan 50 persen PLTU batubara dalam 10 hingga 15 tahun ke depan. Rencana tersebut terdiri dari dua dana multimiliar dollar, satu akan digunakan untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara, sementara yang lain akan fokus pada investasi energi bersih,
Bank multilateral, investor institusi swasta dan lainnya akan menyediakan modal untuk mekanisme tersebut. Pembiayaan pertama untuk mekanisme tersebut direncanakan akan datang dari Jepang, yang memberikan komitmen 25 juta dollar AS. Tahap percontohan di awal ini bertujuan untuk mempercepat penghentian lima hingga tujuh pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia dan Filipina.
Butuh rincian
Tata Mustasya mengatakan, Pemerintah Indonesia diharapkan menuangkan rencana transisi energi batubara ini dalam berbagai produk kebijakan, dan mengimplementasikannya dengan peta jalan yang jelas. ”Pengumuman ini tidak akan berarti bila berbagai produk kebijakan di level implementasi justru bertolak belakang,” katanya.
Menurut Tata, penutupan lebih awal PLTU batubara harus diikuti transisi yang sesungguhnya ke energi bersih dan terbarukan, seperti energi matahari. ”Inisiatif ini tidak boleh membawa rakyat Indonesia kepada solusi semu, seperti energi gas, yang malah bakal menunda transisi,” katanya.
Berikutnya, harus ada upaya menghilangkan berbagai hambatan dan menciptakan insentif bagi pengembangan energi bersih dan terbarukan yang potensinya melimpah di Indonesia. Dengan demikian, penambahan kapasitas dari energi bersih dan terbarukan bisa berjalan seiring dengan penutupan PLTU batu bara untuk memastikan akses energi bagi seluruh rakyat Indonesia.
”Transisi ke energi bersih dan terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar,” katanya.
Pemerintah Indonesia, menurut Tata juga harus menerapkan tata kelola yang baik melalui transparansi dan pelibatan partisipasi semua pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi mekanisme tersebut. Untuk itu, mekanisme transisi ini juga tidak menjadi bail out dan pencarian rente ekonomi baru bagi pengusaha PLTU batubara. ”Penentuan harga PLTU batubara dalam mekanisme ini harus dilakukan secara transparan sehingga mencegah kelebihan harga yang mengabaikan bahwa PLTU batubara terancam menjadi aset mangkrak dalam 10-15 tahun ke depan dan saat ini berada dalam kondisi kelebihan kapasitas,” katanya.
Selan itu, transisi ini juga harus memasukkan eksternalitas dan biaya pemulihan kerusakan dari operasi PLTU batubara. Mekanisme ini harus menyediakan pembiayaan yang memadai dan berkeadilan untuk pemulihan dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi warga terdampak. ”Transisi ini tidak boleh mengabaikan dampak merusak operasi PLTU yang telah dan akan terus terjadi hingga 2040,” katanya.