BUMN berkomitmen menggalang dana mandiri untuk memperkuat modal bisnis dan pelan-pelan mengurangi ketergantungan terhadap anggaran negara. IPO, “right issue”, privatisasi, dan penutupan anak-cucu usaha ditempuh.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahan-perusahan milik negara beramai-ramai menggalang dana melalui right issue dan menawarkan saham perdana. Hal itu dalam rangka memperkuat modal bisnis dan merestrukturisasi utang.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Kamis (12/2/2021), mengatakan, perusahaan-perusahaan BUMN tidak akan selalu bergantung pada anggaran negara. Mereka diarahkan untuk menggalang dana mandiri, salah satunya melalui skema panawaran saham perdana (IPO) di pasar modal.
Pada 2022, misalnya, dua perusahaan yang akan memulai melantai di bursa adalah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry. PGE akan menggunakan dana itu untuk menambah kapasitas energi menjadi dua kali lipat pada lima tahun mendatang dari kapasitas saat ini yang sebesar 900 megawatt. Hal itu merupakan bagian dari target transformasi dan transisi energi fosil ke energi baru terbarukan yang sebesar 15 gigawatt.
”Sementara itu, ASDP akan memanfaatkan dana tersebut untuk mengganti kapal-kapal penyeberangan yang berusia 40-60 tahun. Penggantian kapal-kapal tua ini diperlukan lantaran menyangkut keselamatan,” kata Erick dalam rapat kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang disiarkan secara virtual.
Perusahaan-perusahaan BUMN tidak akan selalu bergantung pada anggaran negara. Mereka diarahkan untuk menggalang dana mandiri, salah satunya melalui skema IPO.
Selain IPO, sejumlah BUMN berupaya menggalang dana melalui penerbitan right issue atau hak memesan efek terlebih dahulu. Skema ini tetap membuka kemungkinan perusahaan penerbit right issue mendapatkan penyertaan modal negara (PMN). Perusahan-perusahaan itu, antara lain, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Kimia Farma (Persero) Tbk, PT Krakatau Steel (Persero Tbk), PT Waskita Karya (Persero) Tbk, dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk.
Erick menjelaskan, dana yang didapat itu akan digunakan untuk mengembangkan bisnis, restrukturisasi, dan merampungkan proyek-proyek pemerintah yang ditugaskan ke BUMN. BNI akan memperkuat lini bisnis internasional dengan menjembatani pembiayaan ekspor dan BTN akan digunakan untuk melanjutkan program perumahan rakyat.
”Khusus Waskita Karya dan Krakatau Steel, dana itu akan digunakan untuk merestrukturisasi bisnis dan keuangan,” katanya.
Kondisi finansial Waskita Karya tertekan lantaran mengambil alih proyek-proyek pembangunan jalan tol yang tidak kelar digarap swasta pada 2015-2016. Hal ini menyebabkan utang Waskita Karya membengkak menjadi Rp 64,942 triliun dan pendapatannya tergerus sebesar 48,42 persen pada 2020.
Untuk itu, Waskita Karya akan menambah modal melalui right issue senilai sekitar Rp 4 triliun. Hal ini terkait rencana pemerintah memberikan PMN kepada perusahaan itu senilai Rp 7,9 triliun. Jalan-jalan tol yang dikelola Waskita juga dapat dikerjasamakan dengan swasta dalam konteks privatisasi BUMN.
Menurut Erick, privatisasi BUMN ini juga dalam rangka meningkatkan peran swasta membangun ekonomi Indonesia. Hal ini dibarengi dengan menutup 74 anak dan cucu usaha yang memiliki penghasilan di bawah Rp 50 miliar. Langkah ini otomatis akan mengurangi persaingan usaha sejenis dan memunculkan peluang usaha baru dari kalangan swasta.
”Anak dan cucu perusahaan itu ada yang hanya berupa perusahaan-perusahaan cangkang. Fungsinya hanya untuk membuat izin. Namun, di perusahaan-perusahaan tetap ada direktur dan komisaris, bahkan rangkap jabatan. Ini tetap membebani. Kalau mau digaji Rp 1 juta, tetapi ongkos perjalanan dan kartu kreditnya tetap ter-cover,” ujar Erick.
Anak dan cucu perusahaan itu ada yang hanya berupa perusahaan-perusahaan cangkang. Fungsinya hanya untuk membuat izin.
Krakatau Steel
Sementara itu, sama halnya dengan Waskita Karya, Krakatau Steel juga berencana menggalang dana melalui skema rights issue senilai 200 juta juta dollar AS. Dana itu akan digunakan untuk melunasi utang perseroan bernilai total Rp 31 triliun secara bertahap.
Manajemen baru Krakatau Steel juga akan melepas 40 persen kepemilikan aset perusahaan kepada mitra strategis pada akhir 2021. Investor yang tertarik antara lain Indonesia Investment Authority (INA) dan PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA). Kini, proses pelepasan aset itu memasuki tahap finalisasi.
Salah satu aset perusahaan yang mangkrak dan akan dilepas adalah pabrik blast furnace yang memproduksi besi cair. Pabrik baja bertanur tinggi yang diinisiasi pada 2008 itu mulai dibangun pada 2012 dan ditagetkan beroperasi pada 2015.
Setelah sekian lama mangkrak, aset ini akan dibenahi dan ditargetkan bisa beroperasi pada triwulan III-2022. Pengoperasian blast furnace nantinya akan menggunakan teknologi yang memaksimalkan bahan baku dalam negeri, yaitu pasir besi.
”Penggunaan pasir besi ini akan menghemat biaya produksi dan menurunkan impor bahan baku besi cair, yaitu biji besi,” kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim melalui siaran pers di Jakarta.
Krakatau Steel mencatat, perseroan telah menurunkan total beban bunga utang selama sembilan tahun dari Rp 12,3 triliun menjadi Rp 6,7 triliun. Total penghematan dari restrukturisasi utang tersebut sebesar Rp 9,9 triliun. Hingga akhir tahun, perseroan menargetkan utangnya berkurang lagi sebesar Rp 2,9 triliun.
Menurut Erick, Kementerian BUMN dan manajemen Krakatau Steel masih melanjutkan proses negosiasi dengan mitranya Pohang Iron & Steel Company (Posco), Korea Selatan, terkait komposisi kepemilikan saham Krakatau Posco. Kepemilikan saham Krakatau Steel diharapkan bisa menjadi 50 persen dari semula 30 persen. Hal ini merupakan bagian dari restrukturisasi Krakatau Steel.
”Memang tidak mudah. Namun, kami tetap akan meyakinkan Posco karena kerja sama kedua perusahaan itu saling menguntungkan. Selain menyasar pasar ekspor, besi baja hasil produksi Krakatau dan Posco dapat mengisi kekurangan pasar baja di Indonesia yang baru terisi sebanyak 16 juta ton dari total potensi pasar 18 juta ton,” kata Erick.