Penyelamatan BUMN bermasalah dengan model ”berbagi beban” menjadi tren di tengah pandemi. Model itu antara lain dilakukan dengan cara melibatkan BUMN lain, pembentukan ”holding”, bahkan mengubah regulasi.
Oleh
hendriyo widi
·6 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sejumlah armada pesawat Garuda Indonesia parkir di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (23/6). Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak tahun lalu hingga sekarang menyebabkan jumlah penumpang Garuda Indonesia turun drastis.
Siapa sangka pandemi Covid-19 dengan beragam variannya bakal melanda. Sudah lebih dari 1,5 tahun pagebluk berjalan belum ada tanda-tanda kapan pandemi tersebut akan ”terdiam”. Imbasnya tak hanya di sektor kesehatan. Ekonomi juga turut ”sakit”, termasuk badan-badan usaha milik negara kita, Indonesia.
Perusahaan-perusahaan pelat merah yang sudah ”sakit” sebelum pandemi semakin bertambah ”sakit”. Yang sebelumnya baik-baik saja dan mulai melejit berkembang, mulai ”batuk-batuk”. Sebagian besar dari kedua jenis kondisi badan usaha milik negara (BUMN) tersebut mulai mencari ”obat” dengan datang ke ”dokter” yang diharapkan bisa memberikan ”resep” jitu dan ”obat” mujarab.
Bahkan, sesama BUMN pun saling turut menjadi ”obat”. Mereka ”berbagi beban” melalui mekanisme pengangaran penyertaan modal negara (PMN) tahun anggaran 2021 dan 2022. Setidaknya ada dua perusahaan induk (holding) BUMN dan satu BUMN yang akan ”berbagi beban” dengan dua BUMN yang tengah ”sakit” dan satu BUMN yang tengah menanggung penugasan negara.
”Hati-hati, cara ini bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. BUMN yang semula berprestasi bagus dan juga tengah terimbas pandemi, serta holding BUMN baru yang seharusnya, bisa menciptakan model bisnis baru, bisa turut tertular ’sakit’,” kata Abra PG Talattov, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ketika dihubungi, Minggu (5/9/2021).
BUMN yang semula berprestasi bagus dan juga tengah terimbas pandemi, serta holding BUMN baru yang seharusnya bisa menciptakan model bisnis baru, bisa turut tertular ’sakit’.
Kompas/Priyombodo
Seorang karyawan melintas di depan kantor pusat PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di Jakarta, Kamis (9/1/2020). Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan terhadap PT Asuransi Jiwasraya (Persero) pada 2018 menemukan kejahatan korporasi dalam pengelolaan perusahaan yang berakibat pada kerugian secara internal dan kerugian negara.
Dalam tiga tahun terakhir, 2019-2021, model ”berbagi beban” antar-BUMN ini muncul pertama kali dalam misi penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Caranya dengan membentuk Holding BUMN Perasuransian dan Penjaminan, yakni Indonesia Finansial Group (IFG), yang dikomandani PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI.
BPUI akan menyuntikkan PMN yang diterima dari pemerintah ke IFG Life, anak usahanya, senilai total Rp 22 triliun secara bertahap, yaitu Rp 20 triliun pada 2021 dan Rp 2 triliun pada 2022. Dana itu merupakan modal merestrukturisasi polis asuransi Jiwasraya yang membutuhkan dana Rp 26,7 triliun.
Wakil Direktur Utama IFG Hexana Tri Sasongko mengatakan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan telah menginformasikan tidak ada alokasi PMN Rp 2 triliun bagi IFG pada 2022. Hal ini menyebabkan holding harus berupaya sendiri menambah dana Rp 6,7 triliun untuk penyelamatan Jiawasraya.
”Total dana yang dibutuhkan Rp 26,7 triliun sehingga holding cukup menambah Rp 4,7 triliun tahun depan jika PMN Rp 2 triliun disetujui. Jika tidak, total dana yang kami tanggung menjadi Rp 6,7 triliun,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat pada 1 September 2021.
Pola serupa atau setidaknya mirip juga ditempuh untuk memberikan ”napas” bagi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Melalui pembentukan Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung, yakni PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero), Garuda Indonesia setidaknya bisa mendapatkan guliran dana operasional pengadaan armada tahun depan.
Dari PMN 2022 yang diajukan Rp 7,5 triliun, sebesar Rp 3,3 triliun akan digunakan untuk investasi penyediaan fleet (armada) bagi maskapai milik negara. Investasi itu guna mengantisipasi potensi ”terkatung-katung”-nya sekitar 20 juta penumpang saat penerbangan mulai pulih pada pertengahan 2022.
Bentuk investasi itu bisa berupa kerja sama kemitraan antara PT Aviasi Pariwisata Indonesia dan maskapai itu. Holding akan menyediakan pesawat yang nantinya akan dioperasikan maskapai terkait. Cara lainnya, holding akan membeli saham maskapai itu melalui mekanisme right issue atau hak memesan efek terlebih dahulu.
PT Aviasiasi Pariwisata Indonesia berkomitmen menunggu proses restrukturisasi Garuda Indonesia dengan para kreditornya selesai. Setelah proses itu kelar, holding baru akan menggunakan dana PMN itu.
”Kami mencadangkan dana itu lebih untuk mengantisipasi penyediaan armada pesawat di saat pemulihan industri penerbangan mulai terjadi pada pertengahan 2022. Hal ini perlu direncakan sehingga pada saat dibutuhkan bisa langsung digunakan,” kata Direktur Project Management Office (PMO) Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung Edwin Hidayat (Kompas, 3 September 2021).
Model ”berbagi beban” lain juga terjadi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI diminta menambal pembengkakan biaya (cost overrun) proyek itu senilai Rp 4,1 triliun. Pembengkakan biaya itu seharusnya menjadi tanggung jawab konsorsium Indonesia yang dipimpin PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.
KOMPAS/HENDRIYO WIDI
Tangkapan layar paparan Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Kereta Api Indonesia (Persero) Salusra Wijaya tentang penyebab pembengkakan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dalam rapat kerja PT KAI dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Rabu (1/9/2021.
Dana tersebut akan diberikan melalui mekanisme PMN 2022 yang sampai saat ini masih disetujui oleh Kementerian Keuangan. Sejak awal, pemerintah telah menetapkan proyek itu tidak boleh menggunakan APBN dan tidak mendapatkan jaminan dari pemerintah sesuai Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Dalam regulasi itu, PT KAI juga tidak masuk dalam konsorsium Indonesia, penanggung jawab proyek.
”Kami tengah membicarakannya dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Pemerintah juga tengah merevisi Perpres No 105/2015. Kami akan selesaikan dahulu dengan pemerintah karena ini proyek dua negara yang harus dijaga keberlanjutannya,” ujar Direktur Utama PT KAI Didiek Hartyanto (Kompas, 2 September 2021).
Pada tahun ini, PT KAI juga diusulkan turut menanggung tambahan modal awal ekuitas yang belum disetorkan konsorsium Indonesia senilai total Rp 4,3 triliun bersama Wijaya Karya, PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero), dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Porsi setoran yang ditanggung PT KAI sebesar Rp 3,13 triliun yang akan dialokasikan melalui tambahan PMN 2021. Usulan itu tidak disetujui Kementerian Keuangan.
Menurut Abra, BUMN memang memiliki beban berat untuk merampungkan proyek-proyek strategis nasional yang ditugaskan pemerintah. Namun, ketika terbentur persoalan, BUMN-BUMN lain turut dilibatkan untuk merampungkan masalah itu. Masalah yang terjadi dalam sebuah BUMN bisa berpotensi menularkan masalah ke BUMN lain.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pengguna Jalan Tol Cikampek melintasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Jaticempaka, Pondokgede, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/9/2021). Pemerintah berencana menambal pembengkakan biaya atau cost overrun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung melalui pernyertaan modal negara senilai Rp 4,1 triliun. Dana negara itu akan digulirkan melalui PT Kereta Api Indonesia (Persero) pada 2022. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer ini adalah salah satu proyek strategis nasional.
Pandemi Covid-19 dijadikan alasan untuk menyelamatkan atau menyuntik modal BUMN-BUMN yang mengalami masalah. Padahal, ada sejumlah BUMN yang sebelum pandemi juga sudah bermasalah.
”Ini menjadi tren sekarang. Saya khawatir, hal ini bisa menjadi model yang berkelanjutan dan bisa memengaruhi persepsi investor atau lembaga pembiayaan terhadap reputasi BUMN yang ditarik untuk merampungkan masalah BUMN lain,” katanya.
Saya khawatir, hal ini bisa menjadi model yang berkelanjutan dan bisa memengaruhi persepsi investor atau lembaga pembiayaan terhadap reputasi BUMN yang ditarik untuk merampungkan masalah BUMN lain.
Abra juga menilai, pemerintah begitu mudahnya mengubah-ubah regulasi agar kebijakan baru yang diambil bisa terakomodasi. Sebenarnya, sejak awal, pemerintah bisa melibatkan swasta berinvestasi di sejumlah proyek strategis nasional. Misalnya melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan memprioritaskan bahan baku dari dalam negeri.
Deputi Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko Kementerian BUMN Nawal Nely menuturkan, banyak BUMN yang terlibat dalam proyek strategis nasional lantaran melihat banyak badan usaha swasta yang tidak berani mengambil risiko untuk masuk ke sektor-sektor tersebut. Sementara terkait PMN yang dimintakan ke pemerintah, Kementerian BUMN juga telah menyesuaikan sesuai kebutuhan.
PMN itu dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu PMN untuk menopang BUMN yang ditugasi pemerintah merampungkan proyek-proyek strategis nasional, PMN untuk pengembangan usaha, dan PMN untuk restrukturisasi atau penyelamatan.
”Khusus PMN untuk restrukturisasi dan penyelamatan, kami baru mengusulkannya pada 2020 karena banyak BUMN yang terimbas pandemi,” katanya.