Sistem Kontrak Penangkapan Ikan Terbuka untuk Investor Domestik dan Asing
Sistem kontrak penangkapan ikan untuk industri perikanan besar mulai diterapkan tahun 2022. Pengawasan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi gesekan dengan nelayan lokal.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja memindahkan ikan hasil tangkapan yang telah ditimbang ke dalam bak mobil pengangkut di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (4/11/2021). Pemerintah akan menerapkan kebijakan perikanan berbasis kuota untuk memastikan perlindungan ekologi dan mengoptimalkan manfaat ekonomi. Dengan perikanan berbasis kuota, diharapkan akan memberantas praktik perikanan ilegal dan mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan akan memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan mulai tahun 2022 dengan mengundang investor dalam dan luar negeri. Sistem kontrak diyakini akan mendorong penerimaan negara bukan pajak atau PNBP sektor perikanan tangkap.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini Hanafi mengungkapkan, PNBP perikanan tangkap tahun ini diperkirakan belum mencapai target. Hingga akhir November 2021, realisasi PNBP baru sekitar Rp 575 miliar atau 63,88 persen dari target tahun ini yang sebesar Rp 900 miliar.
Mulai tahun 2022, pemerintah akan memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan di zona industri perikanan (fishing industry) sebagai bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI. Aturan terkait sistem kontrak dalam tahap finalisasi. Dengan sistem kontrak itu, negara menargetkan PNBP perikanan tahun 2022 menembus Rp 1,5 triliun dan tahun 2023 diharapkan naik menjadi Rp 4 triliun.
Sistem kontrak yang dirancang berlaku 15 tahun dan bisa diperpanjang dinilai memberikan kepastian usaha, yakni izin usaha perikanan tidak dicabut sepanjang perusahaan tidak melakukan pelanggaran. Perusahaan juga memiliki kepastian hukum untuk memanfaatkan kuota tangkapan ikan. Kuota tangkapan didasarkan pada hasil penghitungan stok ikan di laut dan jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB).
”Sejauh ini, penjajakan (sistem kontrak) sedang dilakukan oleh beberapa investor perikanan dalam negeri. Investor asing juga sudah menyatakan minat. Kemungkinan, setelah peraturan sistem kontrak diteken, investor mulai masuk,” kata Zaini saat dihubungi, Kamis (2/12/2021).
Sistem kontrak yang dirancang berlaku 15 tahun dan bisa diperpanjang dinilai memberikan kepastian usaha, yakni izin usaha perikanan tidak dicabut sepanjang perusahaan tidak melakukan pelanggaran.
Pekerja membongkar ikan tuna hasil tangkapan dari Samudra Hindia di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara, Jumat (17/9/2021). Pemerintah segera memberlakukan sistem kontrak penangkapan ikan bagi industri perikanan. Sistem itu merupakan bagian dari kebijakan penangkapan terukur dan berkelanjutan.
Zona industri perikanan yang menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan meliputi empat zona yang terdiri dari tujuh WPP, yakni WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi) dan 717 (Teluk Cenderawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera),WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur); WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).
Data sementara KKP, JTB yang ditawarkan untuk dieksploitasi oleh industri perikanan sebesar 4.881.000 ton per tahun. Adapun investor asing yang mengikuti sistem kontrak disyaratkan berbentuk perusahaan penanaman modal asing, dengan nakhoda dan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia.
Zaini menambahkan, beberapa pelabuhan perikanan pemerintah dan swasta disiapkan untuk menopang sistem kontrak, antara lain di Ambon, Tual, Benjina, Merauke, dan Kendari (WPP 715 dan 718). Selain itu, pelabuhan di Bitung dan Biak (WPP 716 dan 717), serta Batam dan Natuna (WPP 711). Untuk pelabuhan yang dikelola swasta, pihaknya memastikan fungsi pemerintahan tetap berlangsung.
Nasib nelayan kecil
Zona industri perikanan akan diisi industri yang memiliki kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton (GT). Nelayan lokal dengan ukuran kapal di bawah 30 GT tetap dapat menangkap ikan dengan kuota pada zona industri perikanan, yakni dengan batas perairan 12 mil atau 19 kilometer.
Menurut Zaini, pemberlakuan sistem kontrak tidak akan meminggirkan nelayan lokal dan tradisional. Nelayan kecil tetap dikenakan kuota tangkapan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan nelayan. Pendataan nelayan kecil masih terus dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah.
Adapun investor asing yang mengikuti sistem kontrak disyaratkan berbentuk perusahaan penanaman modal asing, dengan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Nelayan cantrang membongkar hasil tangkapannya di dermaga Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah, Selasa (10/8/2021). Di pelabuhan perikanan terbesar di Kota Tegal tersebut, ada belasan ribu ton ikan yang dibongkar setiap tahunnya. Pelabuhan yang diresmikan pada tahun 2004 tersebut direncanakan akan direvitalisasi pada tahun 2022 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membuat aktivitas perikanan di pelabuhan itu lebih nyaman dan sehat.
Ia mencontohkan, kapal kecil yang beroperasi di Laut Arafura saat ini diperkirakan 20.000 kapal, sedangkan kapal besar dengan ukuran di atas 30 GT berjumlah 1.800 kapal. Kapal-kapal itu juga akan dikenakan kuota tangkapan, serta diwajibkan untuk berkelompok ataupun bergabung dalam badan hukum, seperti koperasi dan usaha patungan. Setiap badan hukum memiliki kapasitas tangkapan minimal 100.000 ton per tahun.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, mengemukakan, dibukanya investasi kapal-kapal besar oleh korporasi besar lewat sistem kontrak memicu kekhawatiran konflik dengan nelayan-nelayan lokal. Meski pemerintah telah mengatur zona tangkapan kapal-kapal besar itu, selama ini kerap terjadi pelanggaran zona tangkapan di mana kapal besar masuk ke zona nelayan-nelayan kecil.
”Postur pengawasan masih belum berubah dan minim untuk mengawasi perairan yang luas. Pengawasan perikanan mutlak ditingkatkan untuk menekan potensi penyalahgunaan dan pelanggaran yang merugikan nelayan kecil,” katanya.
Abdi menambahkan, sampai saat ini pemerintah belum memiliki data yang jelas dan akurat terkait jumlah kapal yang telah beroperasi di zona industri perikanan. Kapal yang terdata oleh KKP adalah kapal-kapal besar yang jumlahnya hanya 1 persen dari total kapal perikanan Indonesia, sedangkan 99 persen sisanya adalah kapal kecil yang perizinannya di daerah.
Nelayan di Siwalima, Kepulauan Aru, Andi Subrandi, berpendapat, masuknya investor besar harus bisa membawa manfaat bagi masyarakat lokal, serta tidak mengganggu mata pencarian nelayan kecil di zona perairan di bawah 12 mil. Di masa lalu, ketika kapal-kapal pukat harimau (trawl) beroperasi, nelayan lokal terpinggir dan terganggu oleh operasional trawl yang masuk ke zona tangkapan nelayan kecil.
”Jangan sampai terjadi gesekan dengan nelayan lokal pesisir. Harus ada batasan yang tegas wilayah tangkapan agar tidak merugikan nelayan kecil,” katanya.