Berdasar klasifikasi kapal, ada nuansa ketidakadilan dalam hal penerapan pungutan bagi nelayan kapal kecil. Aturan terbaru mengenai pungutan untuk usaha perikanan tangkap bakal membebani nelayan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketentuan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP untuk usaha perikanan tangkap dinilai membebani dan tidak adil bagi nelayan kecil. Pungutan hasil perikanan untuk nelayan kapal berukuran 6 gros ton ditetapkan sebesar 5 persen atau disamakan dengan nelayan kapal berukuran 60 gros ton.
Pungutan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketentuan ini menggantikan PP 75/2015. Tarif pungutan hasil perikanan (PHP) itu dihitung berdasarkan produktivitas kapal, harga patokan ikan, dan ukuran kapal.
Tarif ini berlaku untuk kategori kapal penangkapan ikan berukuran di atas 5 gros ton (GT) hingga 60 GT. Adapun opsi tarif praproduksi untuk kapal di atas 60 GT-1.000 GT dikenakan 10 persen dan kapal di atas 1.000 GT sebesar 25 persen. Sementara itu, untuk opsi tarif pascaproduksi kapal di atas 5 GT sampai 60 GT ditetapkan 5 persen. Adapun untuk kapal di atas 60 GT sebesar 10 persen.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Tradisional Budi Laksana, mengemukakan, pemberlakuan pungutan itu akan memberatkan nelayan kecil. Hasil tangkapan nelayan kapal skala kecil berukuran di bawah 10 GT selama ini tidak menentu, jangkauan tangkapan terbatas, sedangkan jenis ikan dan harga ikan jauh di bawah kapal-kapal ukuran besar di atas 30 GT. Di samping itu, tidak ada jaminan mereka mendapat bahan bakar minyak bersubsidi.
Opsi tarif pascaproduksi kapal di atas 5 GT sampai 60 GT ditetapkan 5 persen. Adapun untuk kapal di atas 60 GT sebesar 10 persen.
”Penerapan tarif ini terkesan tidak adil. Nelayan kecil masih harus menanggung biaya perbekalan, sedangkan hasil tangkapan tidak menentu dan tidak ada jaminan harga ikan memadai. Padahal, kami terus menghadapi kenaikan harga bahan pokok,” kata Budi, saat dihubungi, Rabu (25/8/2021).
Pemerhati Perikanan Muhammad Bilahmar, mengemukakan, sebelumnya kapal berukuran di bawah 30 GT tidak dikenakan pungutan. Pengenaan PNBP yang diperluas seharusnya diimbangi dengan perbaikan tata kelola perikanan. Selama ini, keruwetan proses bongkar ikan hingga pendataan hasil tangkapan masih terjadi di pelabuhan perikanan. Pemerintah pernah menerapkan sistem timbangan ikan secara daring pada tahun 2015, namun tidak berjalan baik.
Di sisi lain, kategorisasi usaha kapal skala kecil menjadi berukuran di atas 5-60 GT dinilai menekan rasa keadilan. Pasalnya, nilai investasi, kapasitas usaha, jangkauan kapal, dan alat tangkap yang digunakan kapal berukuran 6 GT, misalnya, jauh berbeda dengan 60 GT. Sebagai ilustrasi, permodalan kapal ukuran 6 GT sekitar Rp 30 juta, sedangkan kapal berukuran 60 GT setidaknya Rp 300 juta.
Izin kapal berukuran 5 GT sampai di bawah 30 GT ditetapkan dengan perizinan daerah, sedangkan kapal berukuran 30-60 GT ditetapkan dengan perizinan pemerintah pusat.
Pengenaan PNBP yang diperluas seharusnya diimbangi dengan perbaikan tata kelola perikanan. Selama ini, keruwetan proses bongkar ikan hingga pendataan hasil tangkapan masih terjadi di pelabuhan perikanan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Mohammad Zaini Hanafi mengemukakan, penangkapan terukur atau peningkatan PNBP dari sektor penangkapan ikan merupakan bagian dari program prioritas kementerian yang bertujuan mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan. Sebanyak 99 persen nelayan Indonesia adalah nelayan kecil.
Pemerintah mendorong penangkapan yang terukur untuk mengoptimalkan ekonomi yang dibarengi pengendalian ekologi. Penangkapan terukur, selain memberikan manfaat bagi pelaku usaha, juga memberikan pemasukan bagi negara berupa PNBP dan pajak. Semua jenis ikan yang ditangkap wajib untuk didaratkan di pelabuhan dan ditimbang.
”Pengumpulan data menjadi akurat ketika semua ikan yang didaratkan ditimbang. Kami akan lengkapi sarana dan prasarana, termasuk sarana mempercepat proses pembongkaran. Ke depan, pengelolaan pelabuhan juga akan dimodernisasi,” kata Zaini.