Ekspor dan impor Indonesia diperkirakan tumbuh masing-masing 5,8-7,9 persen dan 6-8,6 persen pada 2022. Pada 2030, ekspor Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 8 persen menjadi 348 miliar dollar AS.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Perdagangan internasional akan menopang pertumbuhan ekonomi nasional pada 2022. Tingginya harga sejumlah komoditas ekspor masih akan menjadi tumpuan. Di sisi lain, lonjakan impor, inflasi, pandemi Covid-19, dan restriksi perdagangan akan mengiringi geliat pemulihan ekonomi nasional.
Pemerintah menargetkan ekonomi Indonesia pada 2022 tumbuh 5-5,5 persen. Ekspor dan impor diperkirakan tumbuh masing-masing 5,8-7,9 persen dan 6-8,6 persen dengan pertumbuhan ekspor nonmigas berkisar 5,4-7,9 persen. Sementara neraca perdagangan barang diperkirakan senilai 19,1-19,6 miliar dollar AS.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, ekspor dan impor masih akan menopang pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan seperti tahun ini. Hingga akhir tahun ini, total nilai ekspor diperkirakan bisa di atas 200 miliar dollar AS atau lebih tinggi dari 2011 yang sebesar 203 miliar dollar AS.
Hal itu terutama berkat siklus super (supercycle) komoditas, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara. Kenaikan harga komoditas itu diperkirakan akan berlanjut tahun depan kendati tidak akan bertahan lama.
”Siklus superkomoditas akan terus dipantau dan diperhitungkan, karena tidak akan permanen. Sembari itu kami akan mendorong produk-produk ekspor lain, seperti besi baja, produk tambang bernilai tambah tinggi, dan otomotif untuk menjaga kinerja ekspor pasca-super siklus komoditas mereda,” kata Kasan dalam webinar ”Proyeksi Ekonomi Indonesia 2022: Pemulihan di Atas Fundamental Rapuh” di Jakarta, Rabu (25/11/2021).
Ekspor dan impor diperkirakan tumbuh masing-masing 5,8-7,9 persen dan 6-8,6 persen dengan pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 5,4-7,9 persen.
Menurut Kasan, kinerja perdagangan internasional ke depan akan menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, potensi terjadinya lonjakan kembali pandemi Covid-19. Kedua, kenaikan tarif peti kemas global yang diperkirakan masih terjadi pada tahun depan.
Ketiga, mempersiapkan perdagangan hijau dan perdagangan karbon dalam rangka mewujudkan emisi bebas karbon. Hal ini penting karena Uni Eropa akan mengenakan pajak bagi produk-produk yang mengandung karbon sebagai salah satu bagian kebijakan The European Green Deal. Jika tidak disiapkan sejak sekarang, kebijakan itu akan berpengaruh terhadap daya saing produk-produk Indonesia di Uni Eropa.
”Tantangan berikutnya adalah semakin banyak negara yang melakukan trade remidies (tindakan pengamanan produk dan industri di dalam negeri). Indonesia juga akan mengambil langkah serupa jika terjadi lonjakan impor yang merugikan produk dan industri di dalam negeri,” tuturnya.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya juga berpendapat senada. Perdagangan tetap akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi 2022, terutama di sektor pertambangan, manufaktur, dan perkebunan.
Akan tetapi, ia mengingatkan, kenaikan harga minyak mentah global dapat berpengaruh terhadap kondisi keuangan dan inflasi Indonesia. Pada tahun ini, harga minyak mentah global mencapai titik tertinggi sejak lima tahun terakhir.
”Indonesia sebagai pengimpor bersih (net importer) migas akan kembali dihadapkan pada pilihan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau tidak. Jika harga BBM dinaikkan, inflasi akan naik. Namun, jika harga BBM dipertahankan, subsidi BBM akan membengkak,” ujarnya.
Kenaikan harga minyak mentah global, dapat berpengaruh terhadap kondisi keuangan dan inflasi Indonesia.
Barley juga mengingatkan agar Indonesia perlu melanjutkan keberlanjutan industrialisasi. Hal ini guna mendongkrak kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto yang trennya cenderung turun.
Indef memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2022 tumbuh 4,3 persen dan tingkat inflasi 3,5 persen. Tingkat pengangguran terbuka diperkirakan sekitar 6 persen dan angka kemiskinan 9,3 persen. Tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan ini turun lantaran tertolong geliat aktivitas industri dan ekonomi di daerah-daerah penghasil komoditas ekspor.
”Pertumbuhan ekonomi tetap akan ditopang ekspor. Namun, perlu diimbangi pula dengan memulihkan konsumsi rumah tangga sembari tetap mewaspadai pandemi Covid-19. Bantuan sosial, percepatan vaksin, dan distribusi buah ekspor yang merata menjadi kuncinya,” ujar Barley.
Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian bertajuk ”Future of Trade 2030: Trends and Markets to Watch”, Standard Chartered memproyeksikan, tingkat rata-rata tahunan pertumbuhan (CAGR) ekspor Indonesia sebesar 8 persen pada 2020-2030. Nilai ekspornya bisa mencapai 348 miliar dollar AS pada 2030.
Pertumbuhan ekspor itu tidak terlepas dari upaya Indonesia meningkatkan investasi di industri pengolahan komoditas hilir dan mengembangkan manufaktur. Pada 2030, sektor-sektor yang akan tumbuh adalah logam dan mineral dengan pangsa ekspor (29 persen), agrikultur dan pangan (20 persen), serta tekstil dan pakaian (11 persen).
China, Amerika Serikat, dan India akan menjadi koridor ekspor utama bagi Indonesia. Pada 2030, ekspor Indonesia ke China akan tumbuh 8,2 persen menjadi 67,8 miliar dollar AS. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat diperkirakan tumbuh 6,3 persen menjadi 33,5 miliar dollar AS. Adapun ekspor Indonesia ke India akan tumbuh 11,2 persen menjadi 35 miliar dollar AS.
Dalam laporan itu, Standard Chatered juga menunjukkan, 40 persen perusahaan global saat ini sudah atau berencana berproduksi di Indonesia dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan. Hampir 90 persen pemimpin perusahaan menempatkan pentingnya rantai pasok global untuk meningkatkan skala usaha dan ekspor.
Standar Chartered memperkirakan, ekspor global pada 2030 akan tumbuh hampir dua kali lipat dari 17,4 triliun dollar AS menjadi 29,7 triliun dollar AS. Selain Indonesia, ada 12 negara lain yang akan mendorong pertumbuhan ekspor global, antara lain, Bangladesh, Kenya, Malaysia, India, Nigeria, China, Amerika Serikat, Arab Saudi, Singapura, Uni Emirat Arab, dan Vietnam.
Cluster CEO Indonesia & ASEAN Markets (Australia, Brunei & Filipina) Standard Chartered Andrew Chia mengatakan, globalisasi masih terus berjalan dan menopang pertumbuhan perdagangan dunia. Indonesia memiliki posisi strategis dalam perdagangan global itu.
”Kami akan fokus menjadikan globalisasi sebagai motor penggerak yang menguntungkan bagi banyak pasar dan bisnis, mulai dari berskala mikro hingga multinasional, dan mendorong model perdagangan global yang lebih berkelanjutan dan inklusif,” ujarnya melalui siaran pers.