Menambal Kantong Bolong Kelas Bawah
Pemerintah perlu menggerakkan konsumsi rumah tangga miskin dan rentan miskin. Tak seperti kelas menengah dan atas, mereka tak bisa bertahan dengan menekan mobilitas, karena pendapatan dan tabungan tak memungkinkannya.

Pejalan kaki memberi uang kepada badut Mickey Mouse yang berjalan gontai di Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Rabu (8/7/2020).
Di tengah pandemi Covid-19, kondisi finansial masyarakat, terutama kelas bawah, ibarat kantong bolong. Sudah memeras keringat dan berani mengambil risiko terpapar virus korona demi mengisi kantong, tetapi uang yang didapat cepat menguap.
Penghasilan yang belum sebanding dengan masa sebelum pandemi, terpaksa dicukup-cukupkan untuk membiayai berbagai kebutuhan di saat pandemi, terutama kebutuhan pokok dan kesehatan. Hasil survei Litbang Kompas terhadap 1.200 responden menyebutkan, pada Oktober 2021, pendapatan masyarakat belum membaik, bahkan cenderung turun selama setahun terakhir.
Sebanyak 79,8 persen responden mengaku pendapatannya berkurang, bertambah dari setahun sebelumnya yang baru 77,7 persen responden. Kelompok masyarakat bawah mengalami pengurangan pendapatan terbesar, yaitu 88,3 persen, kemudian disusul kelas menengah bawah sebesar 75,6 persen, menengah atas 79,6 persen, dan kelas atas 75 persen.
Penurunan daya beli masyarakat tersebut tecermin dari peningkatan pengeluaran penduduk, penurunan upah hampir di seluruh sektor lapangan usaha, serta terindikasi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2021. Dalam survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 Badan Pusat Statistik (BPS), disebutkan, rata-rata pengeluaran dan konsumsi penduduk Indonesia pada Maret 2021 sebesar Rp 1.264.590 juta per kapita per bulan, meningkat 3,17 persen dari Maret 2020.
Di sisi lain, BPS juga menunjukkan, rata-rata upah buruh nasional turun. Pada Agustus 2021, rata-rata upah buruh Rp 2.736.463, turun 0,72 persen dibandingkan Agustus 2020 yang sebesar Rp 2.756.345.

Penurunan pendapatan dan peningkatan pengeluaran, ditambah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk mengendalikan lonjakan kasus Covid-19 pada Juli-Agustus 2021 itu berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2021. Pada triwulan tersebut, ekonomi nasional tumbuh 3,51 persen secara tahunan, lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II-2021 yang sebesar 7,07 persen. Secara triwulanan, pertumbuhan ekonominya hanya sebesar 1,55 persen.
Pada triwulan III-2021 itu pula, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar pertumbuhan ekonomi nasional hanya tumbuh 1,03 persen secara tahunan. Jika dibandingkan triwulan II-2021, tumbuhnya minus 0,18 persen. Pada triwulan III-2021, konsumsi untuk makanan dan minuman hanya tumbuh 0,79 persen. Adapun, kesehatan dan pendidikan tumbuh cukup tinggi 2,44 persen.
Baca juga: Konsumsi Tertekan, Ekspor Jadi Penolong
Perlindungan sosial
Ekonom senior dari Universitas Indonesia dan juga Menteri Keuangan periode 2013-2014 M Chatib Basri mengatakan, konsumsi rumah tangga merupakan elemen penting penggerak perekonomian nasional. Pemerintah perlu menggerakkan konsumsi rumah tangga, terutama masyarakat miskin dan rentan miskin.
Mereka tidak seperti kelas menengah dan atas yang bisa bisa bertahan dan menekan mobilitas lantaran pendapatan dan tabungannya cukup. Masyarakat kelas bawah cenderung dituntut lebih banyak beraktivitas untuk mempertahankan hidup, meskipun ada pembatasan mobilitas.
”Dengan kompensasi yang cukup, mereka bisa tinggal di rumah jika terjadi pembatasan mobilitas pada tahun depan akibat lonjakan kasus Covid-19. Kalau hanya dengan bantuan langsung tunai (BLT) Rp 300.000 per bulan per rumah tangga, tidak akan cukup. Setidaknya BLT itu perlu ditambah menjadi Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan,” ujarnya.
Pemerintah perlu menggerakkan konsumsi rumah tangga, terutama masyarakat miskin dan rentan miskin.
Baca Juga: Menyoal Konsumsi dan ”Resesi” Ekonomi Masyarakat Bawah

Ekonom senior dari Universitas Indonesia dan juga Menteri Keuangan periode 2013-2014, M Chatib Basri
Jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2021 sebanyak 27,54 juta orang. Adapun jumlah penduduk rentan miskin sebanyak 167 juta orang atau sekitar 61 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Menurut Chatib, jika 167 juta orang atau sekitar 40 juta rumah tangga itu diberi Rp 1 juta saja, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 40 triliun per bulan dan Rp 120 triliun untuk tiga bulan. Masih ada ruang fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 untuk menambah perlindungan sosial itu.
Anggaran di sejumlah pos sebenarnya masih bisa ditunda dan dialihkan ke perlindungan sosial, seperti anggaran pertahanan dan keamanan, penyertaan modal negara, dan bahkan ibu kota baru. Begitu juga insentif-insentif pajak yang tidak berdampak signifikan terhadap pemulihan ekonomi nasional, juga dapat dipindahkan.
”Tambahan BLT itu akan menggerakkan konsumsi. Hal ini menyangkut kecenderungan pola konsumsi masyarakat. Kalau orang miskin dapat uang pasti belanja karena dalam kesehariannya saja uang mereka tidak cukup. Namun kalau orang kaya, belum tentu akan belanja,” katanya.
Selain itu, lanjut Chatib, manfaatkan pula berkah ekspor dengan optimal untuk mendorong daya beli dan konsumsi, terutama di daerah-daerah penghasil komoditas ekspor itu. Berkah ekspor itu diperkirakan baru akan berimbas setelah 6-12 bulan ke depan.
”Hal ini menjadi modal bagi pemulihan ekonomi di daerah-daerah tersebut dan nasional pada tahun depan. Pemerintah harus bisa memastikan dan memeratakan distribusi berkah ekspor itu agar efek gandanya tidak dinikmati segelintir orang, tetapi juga petani dan penambang di hulu,” ujarnya.
Baca Juga: Berkah ”Supercycle” dan Investasi

Seorang pekerja memanen kelapa sawit di areal perkebunan PT Sawit Sumbermas Saran Tbk (SSMS) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021). Minyak sawit mentah dan produk turunan yang diproduksi perusahaan tersebut telah menembus pasar China, Bangladesh, India, dan Pakistan.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengaku, para pengusaha juga masih tertatih-tatih untuk meningkatkan daya beli pekerja. Saat ini, hampir semua lini usaha belum pulih sepenuhnya dari imbas pandemi.
Kunci utama pemulihan geliat usaha dan konsumsi rumah tangga adalah penanganan Covid-19, percepatan dan perluasan vaksinasi, serta kesadaran masyarakat menerapkan protokol kesehatan. Hal itu juga perlu ditopang dengan biaya tes reaksi berantai polimerase (PCR) yang murah di bawah Rp 200.000 agar perusahaan, pekerja, bahkan masyarakat umum tidak semakin terbebani.
Upaya-upaya itu perlu dilakukan, terutama saat pemerintah membuka pusat-pusat ekonomi dan pariwisata. Di samping itu, selain melanjutkan program insentif bagi perusahaan dan karyawan, pemerintah juga perlu melindungi para pengusaha dari kebangkrutan.
”Misalnya dengan mendorong perbankan melakukan restrukturisasi kredit sesuai kondisi riil keuangan perusahaan, memberikan modal kerja dengan bunga murah, dan melindungi pengusaha yang berusaha dipailitkan oleh kreditor,” kata Hariyadi.
Selain melanjutkan program insentif bagi perusahaan dan karyawan, pemerintah juga perlu melindungi para pengusaha dari kebangkrutan.

Kebijakan fiskal
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, tahun depan pemerintah masih akan melanjutkan kebijakan ”gas dan rem”. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan kasus Covid-19.
Pergerakan ekonomi, termasuk konsumsi rumah tangga, sangat bergantung pada pandemi dan kebijakan ”gas dan rem”. Jika pandemi kembali melonjak dan pemerintah menginjak ”rem” atau membatasi aktivitas, konsumsi akan turut tertahan.
Oleh karena itu, lanjut Airlangga, pemerintah telah menyiapkan anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2022 sebesar Rp 321,11 triliun. Dana itu dialokasikan untuk penanganan di bidang kesehatan Rp 77,05 triliun, perlindungan sosial Rp 126,54 triliun, program prioritas Rp 90,04 triliun, serta dukungan UMKM dan koporasi Rp 27,48 triliun.
Alokasi PC-PEN 2022 tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada 2020 dan 2021 yang masing-masing sebesar Rp 579,78 triliun dan Rp 699,43 triliun. ”APBN 2022 sifatnya fleksibel. Meskipun turun, dana PC-PEN itu dapat ditambah jika diperlukan melalui realokasi anggaran,” katanya.
APBN 2022 sifatnya fleksibel. Meskipun turun, dana PC-PEN itu dapat ditambah jika diperlukan melalui realokasi anggaran.
Baca Juga: Anggaran Perlindungan Sosial dan Kesehatan Ditambah Lagi
Di samping itu, lanjut Airlangga, kenaikan harga komoditas ekspor akan turut menjaga daya beli. Kenaikan harga CPO yang saat ini berada di kisaran 1.200 dollar AS per ton, juga dapat dinikmati petani. Harga tandan buah segar di tingkat petani saat ini Rp 1.800 per kilogram hingga Rp 3.000 per kilogram.

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Saat ini, pemerintah juga tengah menggulirkan program penanggulangan kemiskinan ekstrem di 35 kabupaten/kota di 7 provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Papua Barat. Dana yang dialokasikan sekitar Rp 2 triliun.
Program itu dibarengi dengan pemberian sembako dan BLT dana desa senilai Rp 300.000 per bulan untuk tiga bulan ke depan. ”Jika program ini berjalan baik dan mampu menjaga daya beli dan mengentaskan kemiskinan ekstrem di daerah-daerah tersebut, program ini akan dilanjutkan pada tahun depan. Sasarannya adalah 212 kabupaten/kota,” kata Airlangga.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menuturkan, pada 2022 kebijakan fiskal kontra siklus (countercyclical) masih akan diterapkan untuk mendorong pemulihan ekonomi 2022. Utamanya adalah menopang konsumsi rumah tangga dan menjaga penurunan angka kasus Covid-19.
”Belanja negara 2022 diarahkan untuk mendukung sinergi penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat, dan perbaikan konsumsi rumah tangga guna mewujudkan pemulihan ekonomi bersama,” ujarnya.

Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X memberikan keterangan pers saat berkunjung ke kawasan wisata Malioboro, Kota Yogyakarta, Sabtu (9/10/2021). Dalam kunjungan tersebut, Presiden meresmikan pemberian bantuan kepada para pedagang kaki lima (PKL) dan pemilik warung kecil. Total ada 1 juta PKL dan pemilik warung di Indonesia yang akan menerima bantuan tunai sebesar Rp 1.200.0000.
Menurut Isa, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada 2022 akan didorong pola aktivitas dan mobilitas masyarakat yang lebih baik pasca-pemulihan dari imbas pandemi. Selain itu, program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan miskin juga menjadi faktor penting dalam mendorong kinerja konsumsi masyarakat.
Penguatan program perlindungan sosial itu akan dijalankan dengan integrasi data, perbaikan mekanisme penyaluran, serta sinergi program yang relevan, termasuk program subsidi bagi masyarakat. Total anggaran perlindungan sosial pada 2022, termasuk dalam program PC-PEN, sebesar Rp 427,5 triliun atau sekitar 15,8 persen dari anggaran total belanja negara yang sebesar Rp 2.708,7 triliun.
Baca Juga: Pontang-panting Warga Miskin Brebes Hidup dengan Rp 340.000 Per Bulan
Dana perlindungan sosial itu, antara lain, akan digunakan untuk program Kartu Sembako; Kartu Pra Kerja, Program Keluarga Harapan dan Program Indonesia Pintar; jaminan kehilangan pekerjaan; subsidi listrik, elpiji, dan bahan bakar minyak; dan bantuan langsung tunai desa. ”Anggaran tersebut digunakan untuk mengakselerasi reformasi menuju sistem perlindungan sosial yang adaptif,” katanya.
Menanggapi tambahan BLT, Isa berpendapat, alokasi anggaran untuk setiap program perlindungan sosial sudah ditentukan berdasarkan kajian dan penghitungan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Harapannya, anggaran itu dapat menimbulkan dampak positif terhadap putaran roda ekonomi nasional.
Pada 2022, pemerintah memperkirakan ekonomi nasional bisa tumbuh 5-5,5 persen. Adapun Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) masing-masing memproyeksikan ekonomi Indonesia pada tahun depan tumbuh 5,1 persen dan 5,9 persen.