Pemerintah menerapkan kebijakan upah minimum yang lebih ketat mulai tahun depan. Kepala daerah yang menetapkan upah minimum provinsi lebih tinggi dari simulasi sesuai dengan peraturan yang berlaku akan dikenai sanksi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upah minimum provinsi 2022 sudah resmi diumumkan oleh setiap kepala daerah. Ada sejumlah daerah yang menetapkan upah minimum lebih tinggi dari simulasi awal. Kepala daerah yang tidak mengikuti sistem pengupahan baru sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 akan dikenai sanksi.
Data rekapitulasi pengumuman upah minimum provinsi (UMP) oleh Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) menunjukkan, dari total 34 provinsi, sebanyak 28 provinsi menetapkan upah minimum sesuai dengan formula baru yang diatur di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dua provinsi, yaitu Nusa Tenggara Barat dan Maluku, belum menetapkan upah minimum. Sementara ada empat provinsi yang menetapkan upah minimum di atas simulasi berdasarkan PP No 36/2021. Keempat provinsi itu adalah Sulawesi Tenggara (Sultra), Riau, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sultra menetapkan UMP lebih tinggi 5,37 persen atau Rp 134.578 di atas simulasi. Sebagai gambaran, berdasarkan simulasi, UMP Sultra naik 0,94 persen atau Rp 24.002. Riau menetapkan kenaikan UMP 0,68 persen di atas simulasi atau lebih tinggi Rp 19.783. Sementara simulasi UMP Riau awalnya naik 1,05 persen atau naik Rp 30.216.
Papua Barat menaikkan UMP dengan selisih 0,6 persen di atas simulasi atau lebih tinggi Rp 18.660. Awalnya, simulasi UMP untuk Papua Barat adalah naik Rp 46.739 atau naik 1,49 persen. Terakhir, NTT menaikkan UMP dengan selisih 0,47 persen di atas simulasi atau lebih tinggi Rp 9.126. Sementara simulasi awalnya, UMP NTT naik 0,81 persen atau Rp 15.874.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Selasa (23/11/2021), mengatakan, kepala daerah yang menetapkan UMP di luar ketentuan PP No 36/2021 akan dikenai sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sanksi yang diatur di undang-undang itu berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian permanen. Menteri Dalam Negeri sudah menyampaikan surat kepada para gubernur terkait dengan penetapan upah minimum. Dalam surat itu juga disampaikan sanksi kepada gubernur yang tidak memenuhi kebijakan pengupahan.
”Sanksinya akan sesuai dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri. Itu yang akan dijadikan pegangan. Jadi, terkait kepatuhan ini, nanti akan menjadi ranahnya Kementerian Dalam Negeri,” kata Anwar saat dihubungi.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional Surnadi mengatakan, selama ini belum pernah ada sanksi yang berat, seperti pemberhentian kepala daerah. Bagi gubernur yang tidak mengikuti surat edaran menteri biasanya akan diberikan teguran lisan. Misalnya, teguran kepada sejumlah gubernur yang menaikkan UMP tahun 2021 ketika upah minimum seharusnya tidak naik di tengah pandemi.
Namun, menurut dia, kebijakan sanksi pada tahun ini akan lebih tegas. ”Kali ini akan lebih serius, tidak main-main, karena sistem pengupahan itu sudah masuk program strategis nasional,” kata Surnadi, yang merupakan perwakilan unsur serikat buruh.
Menurut dia, penetapan UMP oleh para gubernur bisa berbeda dari simulasi awal karena beragam faktor. Salah satunya adalah nuansa kepentingan politik di daerah. ”Ini yang paling berpengaruh. Karena, dari dulu penetapan upah itu memang sangat politis. Selain itu, bisa jadi juga gubernur menyesuaikan dengan kondisi perekonomian di daerahnya yang jelas berbeda dari kondisi nasional,” ujarnya.
Struktur dan skala upah
Ke depan, upah minimum hanya boleh diterapkan kepada pekerja lajang yang baru mulai bekerja. Sementara bagi pekerja yang sudah berkeluarga dengan masa kerja di atas satu tahun harus menerapkan struktur dan skala upah. Saat ini, pemerintah sedang menyusun revisi peraturan terkait dengan struktur dan skala upah sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut Surnadi, buruh akan memiliki kesempatan untuk bernegosiasi dan memperjuangkan kenaikan upah berdasarkan struktur dan skala upah dengan pihak manajemen perusahaan. ”Peraturannya sudah hampir jadi, tinggal disahkan. Dengan begini, kebijakan upah akan lebih adil dan proporsional bagi pekerja,” katanya.
Senada, anggota Depenas dari unsur pakar, Joko Santosa, mengatakan, dengan sistem pengupahan yang berdasarkan pada struktur dan skala upah, implementasi upah akan lebih disesuaikan dengan manajemen kinerja sehingga ada keadilan antara jabatan dan masa kerja setiap pekerja.
Pengupahan yang berbasis struktur dan skala upah juga akan disesuaikan dengan tingkat produktivitas pekerja. Dengan demikian, menurut dia, selain memberikan perlindungan dan kepastian upah bagi pekerja, sistem itu juga bisa mendukung kinerja dan produktivitas perusahaan. ”Pengusaha bisa menambahkan sendiri komponen pembagian hasil keuntungan yang diperoleh kepada pekerja dalam bentuk komisi, insentif, bonus, dan lain-lain,” ujar Joko.