Pelaku Industri Otomotif Bertransisi di Tengah Disrupsi
Para pelaku industri otomotif bersiap menghadapi perubahan ke arah kendaraan listrik. Hampir separuh industri komponen di Tanah Air diperkirakan terdampak oleh peralihan ke kendaraan listrik.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peralihan menuju kendaraan rendah karbon dan ramah lingkungan menjadi tantangan bagi pelaku industri otomotif di Tanah Air. Mereka bersiap menyambut era elektrifikasi kendaraan dengan sejumlah strategi agar transisi tidak sampai menimbulkan disrupsi yang terlalu dalam pada rantai pasok otomotif.
Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) memperkirakan, elektrifikasi kendaraan akan berdampak pada lebih dari 47 persen dari total industri komponen mobil dan motor yang ada di Indonesia saat ini. Pada 2019, Kementerian Perindustrian mencatat, ada sekitar 1.500 perusahaan komponen otomotif di Indonesia yang menyerap sekitar 3 juta tenaga kerja.
Direktur Corporate Affairs PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan, peralihan menuju kendaraan yang ramah lingkungan merupakan keniscayaan. Pelaku industri otomotif berusaha melakukan transisi bertahap agar tidak menimbulkan disrupsi rantai pasok yang terlalu buruk.
”Semua akan berubah. Dari pembiayaan, sistem produksi, teknologi, tenaga kerja, hingga rantai pasok dari hulu ke hilir akan terdisrupsi. Makanya, ini harus disiapkan dari sekarang secara bertahap. Tidak bisa langsung membalikkan tangan, industri harus disiapkan. Pemerintah harus punya peta jalan yang jelas,” ujar Bob, Rabu (17/11/2021).
TMMIN akan mulai bertransisi tahun depan, diawali dengan mengonversi model keluaran lamanya menjadi kendaraan listrik atau rendah emisi karbon. ”Kami merasa strategi paling tepat adalah mengonversi dulu model-model populer yang sudah ada saat ini dan memasukkan teknologi elektrifikasi agar industri tidak langsung terdisrupsi,” katanya.
Tidak hanya konversi menjadi kendaraan berbasis baterai listrik, TMMIN juga akan mengubah model-model lama menjadi kendaraan berbahan bakar biodiesel serta menjadi kendaraan hibrida (bermesin bensin sekaligus baterai listrik).
”Kami sudah lakukan test drive. Dengan konversi menjadi hybrid, bahan bakar bisa dihemat sampai 30-50 persen. Di satu sisi, harganya tidak terlalu tinggi untuk konsumen seperti halnya mobil listrik. Di sisi lain, kita tetap hemat bahan bakar dan mengurangi emisi,” ujar Bob.
Menurut dia, upaya mewujudkan kendaraan ramah lingkungan tak hanya melalui elektrifikasi. ”Perlu dipahami bahwa pada dasarnya musuh utama kita itu adalah emisi karbon. Teknologinya bisa pakai listrik, bisa biofuel, bisa juga dengan efisiensi bahan bakar dari mobil-mobil ICE (internal combustion engine/berbahan bakar fosil).”
Keterjangkauan harga bagi konsumen menjadi salah satu pertimbangan utama pelaku industri dalam memproduksi kendaraan listrik. Umumnya, kendaraan listrik dijual dengan harga Rp 600 juta-Rp 800 juta, sementara daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Rp 250 juta-Rp 300 juta.
Berdasarkan studi perusahaan riset Deloitte Indonesia, 61 persen responden Indonesia baru mau membeli kendaraan listrik jika harganya sama dengan kendaraan berbahan bakar fosil dan 23 persen akan membeli jika harganya lebih murah.
”Kita, kan, ingin produk ini bisa dijangkau semua konsumen. Kalau teknologinya eksklusif, tidak banyak yang membeli, pengurangan emisi karbon juga tidak tercapai. Masyarakat menengah-bawah kena penalti, sementara masyarakat menengah-atas menikmati insentif karena dia mampu membeli kendaraan yang ’bersih’,” tutur Bob.
Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Shodiq Wicaksono berharap, transisi tetap berjalan alamiah dan bertahap agar tidak membawa disrupsi yang merugikan industri komponen otomotif. Ia memberi contoh pengalaman transisi mobil manual menuju otomatik, serta kendaraan konvensional menuju kendaraan bermotor hemat energi (LCGC/low cost green car) yang berlangsung alamiah.
”Kita harus memikirkan bagaimana meminimalisir perubahan struktur ini, agar industri komponen dan pemasok komponen dalam negeri bisa mengikuti perubahan dengan smooth, tanpa harus rugi besar,” katanya.
Saat ini, pangsa pasar kendaraan listrik memang masih sangat kecil di Indonesia. Gaikindo mencatat, penetrasi pasar kendaraan listrik dalam negeri belum mencapai 1 persen terhadap total penjualan mobil di dalam negeri.
Per September 2021, pangsa pasar kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) hanya 0,1 persen (611 unit) terhadap total penjualan kendaraan bermotor sebanyak 627.537 unit. Sementara pangsa pasar untuk kendaraan hibrida (hybrid electric vehicle) 0,3 persen dengan total penjualan 1.737 unit.
Menurut prediksi GIAMM, elektrifikasi kendaraan akan berdampak pada nyaris separuh dari industri komponen mobil dan motor yang ada saat ini. Diestimasi lebih dari 47 persen industri komponen akan mengalami disrupsi akibat peralihan dari kendaraan konvensional menuju elektrik.
Beberapa kelompok komponen kendaraan yang akan terganti akibat elektrifikasi, antara lain, mesin kendaraan (engine), tangki bensin (oil supply), dan katup exhaust yang berfungsi mengatur keluarnya gas buang sisa pembakaran dari mesin kendaraan.
Sementara kelompok komponen yang tidak tergantikan, tetapi perlu penyesuaian, antara lain rem (brake), komponen-komponen elektronik, drivetrain yang berfungsi menyalurkan tenaga dari mesin ke roda kendaraan, serta AC dan kompresornya.
Terakhir, kelompok komponen konvensional yang masih akan digunakan pada kendaraan listrik, seperti roda dan ban, sistem kemudi (steering system), suspensi, aki, interior-eksterior mobil, serta sistem penerangan (lighting).
Namun, meski beberapa komponen akan tergantikan, industri melihatnya sebagai peluang baru. Ketua Umum GIAMM Hamdhani Zulkarnaen Salim mengatakan, akan ada jenis komponen lain yang bisa dikembangkan, seperti baterai listrik, inverter yang berfungsi mengubah arus listrik searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC), serta pengisi daya (charging station). ”Kami melihat ini sebagai peluang, bukan kendala,” katanya.