Era kendaraan listrik diperkirakan datang lebih awal. Selain regulasi soal larangan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil, elektrifikasi dipercepat oleh tuntutan konsumen yang bergeser ke arah mobilitas berkelanjutan.
Oleh
Agnes Theodora/Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berambisi menjadi pemain utama industri kendaraan listrik di rantai pasok global sekaligus mengembangkan pasar dalam negeri guna menekan emisi karbon. Namun, di tengah pertumbuhan adopsi kendaraan listrik yang eksponensial, Indonesia mesti berpacu untuk mengejar ambisi itu.
Peluang Indonesia menjadi pemain penting di industri kendaraan listrik global dinilai besar. Selain memiliki sumber bahan baku utama baterai listrik, seperti nikel, kobalt, dan mangan, Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Hilirisasi tambang dan pengembangan kendaraan listrik juga akan mendorong nilai tambah, membuka lapangan kerja, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) impor sekaligus menekan emisi karbon.
Guna mewujudkan ambisi itu, pemerintah menerbitkan sederet regulasi dan menetapkan peta jalan untuk membangun ekosistem industri kendaraan listrik yang terintegrasi. Ekosistem itu terdiri dari industri bahan baku, baterai dan komponen, pabrikan mobil dan motor, serta daur ulang baterai.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Sony Sulaksono mengatakan, pendalaman struktur industri dilakukan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain di rantai pasok dunia, bukan sekadar pasar atau penghasil bahan baku.
Akan tetapi, pengembangan ekosistem itu bertahap dan membutuhkan waktu. Menurut Sony, pengembangan industri kendaraan listrik di awal dimulai dengan mengimpor kendaraan utuh (completely built up/CBU) secara terbatas, disusul dengan mengimpor kendaraan CKD (completely knocked down) atau kendaraan yang diimpor dalam keadaan komponen lengkap, tetapi belum dirakit.
Berdasarkan peta jalan pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai, Indonesia hanya akan mengimpor kendaraan CBU dan CKD sampai 2021. Mulai 2022-2030, kendaraan yang diimpor adalah IKD (incompletely knocked down) atau dalam kondisi tak utuh dan tak lengkap karena beberapa komponennya sudah bisa dipenuhi sendiri dan dirakit di dalam negeri.
”Seperti dulu ketika membangun industri kendaraan bermotor jenis bahan bakar minyak (ICE/internal combustion engine), prosesnya bertahap, sampai nanti di tahun 2030 Indonesia cukup mengimpor komponen yang diperlukan untuk mendapat nilai tambah yang lebih maksimal di dalam negeri,” kata Sony, Kamis pekan lalu.
Dalam peta jalan pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi mobil listrik dan bus listrik sebanyak 600.000 unit dari total 3 juta unit produksi kendaraan bermotor roda empat dan lebih tahun 2030. Pada tahun yang sama, produksi motor (roda dua dan tiga) listrik ditargetkan 2,45 juta unit dari total produksi 9,8 juta kendaraan bermotor roda dua dan tiga. Target itu diharapkan dapat menurunkan emisi karbon sebanyak 2,7 juta ton (kendaraan roda empat) dan 1,1 juta ton (kendaraan roda dua).
Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation (IBC), konsorsium perusahaan milik negara, Toto Nugroho, dalam diskusi yang digelar Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Sabtu (20/11/2021), menyatakan, butuh waktu 4-5 tahun dari proses menambang hingga menjadi baterai. Oleh karena itu, baterai produksi IBC diperkirakan baru terwujud tahun 2025-2026.
Jajaki investasi
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, perlu investasi komprehensif untuk membangun ekosistem kendaraan listrik. Tidak hanya untuk mendorong Indonesia menjadi produsen, tetapi juga untuk menciptakan pasar kendaraan listrik di dalam negeri dan memenuhi komitmen pengurangan emisi karbon.
Selain untuk penguatan struktur industri manufaktur dari hulu ke hilir dan industri daur ulang baterai, dibutuhkan juga investasi untuk penyediaan listrik berkelanjutan untuk menggantikan listrik berbasis energi fosil, serta pembangunan infrastruktur pengisian dan penukaran baterai listrik.
Targetnya, tahun 2030 akan dibangun 31.859 stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan 67.000 stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU). ”Perlu investasi masif untuk infrastruktur charging. Bali akan menjadi pilot project, di sana kita akan mempercepat penggunaan mobil dan motor listrik dalam waktu 3-4 tahun ini,” kata Luhut.
Upaya menarik peluang investasi dan memperkuat ekosistem kendaraan listrik terus dijajaki. Pemerintah aktif melobi investor asing untuk menanamkan modal dan membuka pabrik di Indonesia. Umumnya masih berupa komitmen investasi yang belum direalisasikan.
Beberapa investor yang kini sedang dijajaki antara lain raksasa otomotif asal Jerman, BMW dan Mercedes-Benz, yang dilobi oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Kedua perusahaan itu berniat membangun pabrik kendaraan listrik.
Sementara Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sedang bernegosiasi dengan perusahaan otomotif besar asal Jerman lainnya, Volkswagen dan BASF, untuk masuk dalam rantai pasok baterai listrik. Di sektor ini, Indonesia sudah mulai membangun pabrik baterai listrik oleh IBC yang merupakan kerja sama antara BUMN dan konsorsium Hyundai Motor-LG Energy Solution.
Di luar itu, Kementerian Perindustrian mencatat, ada empat komitmen investasi pembangunan pabrik kendaraan listrik dengan nilai investasi puluhan triliun rupiah. Antara lain, investasi Hyundai Motor Corporation senilai Rp 21 triliun secara bertahap pada 2020-2021 dan 2021-2030. Menurut rencana, mereka mulai memproduksi kendaraan listrik berbasis baterai pada 2023.
Komitmen kedua adalah Mitsubishi dengan nilai investasi Rp 11,2 triliun yang, menurut rencana, akan dieksekusi pada 2024. Ketiga, Toyota dengan nilai investasi Rp 7 triliun pada 2024 dan Suzuki dengan nilai investasi Rp 7 triliun-Rp 9 triliun pada 2022-2026.
Sejumlah perusahaan otomotif lain yang sudah mempunyai pabrik di Indonesia juga sedang bersiap memproduksi atau mengonversi kendaraan listrik dan ramah lingkungan lainnya.