Pemerintah Gencar Berburu Investor Kendaraan Listrik
Pemerintah melobi dua raksasa otomotif Jerman, BMW dan Mercedes-Benz, untuk membangun pabrik kendaraan listrik di Indonesia. Keduanya berencana menjadikan Indonesia hub produksi untuk diekspor ke ASEAN dan Australia.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus memacu pembangunan ekosistem industri kendaraan listrik di dalam negeri. Lobi-lobi terhadap investor asing untuk menanamkan modal dan membuka pabrik di Indonesia terus digencarkan. Kali ini, yang disasar adalah dua raksasa otomotif asal Jerman, BMW dan Mercedes-Benz.
Dalam kunjungannya ke Jerman, akhir pekan ini, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bertemu dengan perwakilan BMW dan Mercedes-Benz. Di sana, ia melobi mereka untuk membuka pabrik kendaraan listrik di Indonesia.
Menurut Agus, kedua perusahaan itu sudah menyatakan ketertarikan untuk berinvestasi di Indonesia. Menurut rencana, mereka akan menjadikan Indonesia sebagai hub produksi kendaraan untuk diekspor ke Australia dan kawasan ASEAN.
”BMW sudah menyatakan minatnya untuk membangun ekosistem itu di Indonesia. Mercedes-Benz juga bersedia bekerja sama. Saat ini mereka sedang mengeksplorasi peluang untuk mengekspor kendaraan ke Australia dan ASEAN dari Indonesia,” kata Agus dalam keterangan resminya dari Jerman, Minggu (31/10/2021).
Namun, kedua raksasa otomotif Jerman itu belum bisa memberi kepastian. Saat ini, Mercedes-Benz sedang mengalkulasi kondisi rantai pasok jika mereka memutuskan untuk memproduksi kendaraan listrik dari Indonesia.
Selain itu, masih ada hal-hal mendasar lain yang sedang dikaji perusahaan itu, seperti biaya manufaktur, biaya logistik, regulasi yang berlaku, persyaratan teknologi, dan tarif pajak.
Meski demikian, Agus yakin, penjajakan investasi itu akan berbuah manis. Salah satu aspek yang dijual Indonesia untuk menjadi hub produksi kendaraan listrik di kawasan Asia Pasifik adalah poin-poin dalam perjanjian dagang yang dapat menekan biaya perdagangan.
Dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA), misalnya, ada klausul penghapusan tarif perdagangan kendaraan CBU (completely built up), atau kendaraan yang sudah dirakit dan dalam keadaan utuh, menjadi 0 persen untuk tipe mobil penumpang yang diproduksi di Indonesia.
Agus meyakini, ini akan menjadi daya tarik yang kuat di mata investor untuk menjadikan Indonesia sebagai hub produksi. ”Karena mereka memang sedang menyiapkan diri untuk rencana membuka pasar ke Australia,” kata Agus.
BMW dan Mercedes-Benz sudah memiliki pabrik di Indonesia meski bukan pabrik kendaraan listrik. BMW Indonesia bermitra dengan perusahaan lokal PT Tjahja Sakti Motor memiliki kinerja produksi pada tahun 2020 sebanyak 1.470 unit mobil dan pada Januari-September 2021 sebanyak 1.152 unit. Sementara, Mercedes-Benz Indonesia (PT MBI) mencatat performa produksi pada 2020 sebanyak 457 mobil dan Januari-September 2021 sebanyak 224 unit.
Agus menambahkan, arah kebijakan nasional yang kini mengarah untuk mengurangi emisi karbon juga bisa memberi kepastian hukum bagi negara-negara Eropa. ”Kita sudah punya aturan dan regulasi yang bisa memberi kepastian dan menarik lebih banyak investasi dari produsen kendaraan Eropa. Pengujian emisi karbon dioksida dan konsumsi bahan bakar kita juga sudah berdasarkan standar internasional,” ujarnya.
Penjajakan investasi di sektor kendaraan listrik ini tidak hanya gencar dilakukan Kemenperin. Pekan lalu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia juga melobi perusahaan asal Taiwan, Foxconn Technology Group, untuk membangun pabrik baterai listrik dan kendaraan listrik di Indonesia.
Sebelumnya, Bahlil juga melobi produsen otomotif Jerman lainnya, Volkswagen (VW), untuk memproduksi prekursor katoda untuk baterai kendaraan listrik di dalam negeri. Investasi itu diharapkan bisa memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok industri kendaraan listrik dunia. VW masih menimbang-nimbang peluang investasi itu serta masih mendalami regulasi terkait investasi dan ekspor dan ketersediaan bahan baku di Indonesia.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Sony Sulaksono mengatakan, pemerintah terus mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Penguatan struktur industri kendaraan listrik masih menjadi tantangan. Ia mencontohkan, saat ini memang sudah dibangun beberapa smelter nikel untuk diolah menjadi bahan baku baterai listrik. ”Namun, industri prekursor dan anodanya justru belum ada di kita. Jadi, ini semacam ada lubang di tengah rantai pasok ini dan itu harus kita bangun,” katanya.
Untuk menjamin kemudahan industri mengakses bahan baku, pemerintah juga akan menyusun peta jalan baru pengembangan kendaraan listrik. Menurut dia, peta jalan yang disusun pada 2019 dengan mengacu pada Peraturan Menperin Nomor 16 Tahun 2011 dapat memberatkan pelaku industri terkait perhitungan dan pemenuhan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Hal itu dikhawatirkan juga akan menghambat masuknya investasi. ”Kalau perhitungan TKDN-nya tetap mengikuti peraturan berbasis cost (biaya), menjadi sangat berat bagi industri karena bahan baku utama untuk produksi kendaraan, dari baja, baja paduan, ini masih sangat tergantung dari luar,” katanya.
Data Kemenperin, sejauh ini ada empat komitmen investasi pembangunan pabrik kendaraan listrik di Indonesia. Nilai investasinya mencapai puluhan triliun rupiah.
Komitmen itu antara lain datang dari Hyundai Motor Corporation dengan nilai total Rp 21 triliun dan akan dilangsungkan bertahap pada 2020-2021, kemudian 2021-2030. Menurut rencana, mereka akan mulai memproduksi kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) pada 2023.
Komitmen kedua adalah Mitsubishi dengan nilai investasi Rp 11,2 triliun yang rencananya akan dieksekusi pada tahun 2024. Ketiga, Toyota dengan nilai investasi Rp 7 triliun pada tahun 2024 dan Suzuki dengan nilai investasi Rp 7 triliun-Rp 9 triliun pada 2022-2026.
Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Shodiq Wicaksono menilai, transisi menuju elektrifikasi kendaraan memang perlu disiapkan dari sekarang. Namun, ia berharap transisi itu dapat berlangsung secara alamiah dan tidak terburu-buru. Perubahan radikal yang tiba-tiba dapat mengganggu struktur industri otomotif nasional, khususnya industri komponen otomotif yang umumnya terdiri dari industri kecil menengah (IKM).
Ia menilai, transisi dapat dimulai dari mobil berbahan bakar fosil menuju kendaraan hibrida (hybrid), baru menuju kendaraan listrik. Apalagi, diperlukan penguatan aspek riset dan pengembangan (R&D) untuk memperkuat struktur industri kendaraan listrik di dalam negeri. ”Banyak hal yang harus dipikirkan untuk mengembangkan industri kendaraan listrik dan komponennya secara utuh dari hulu ke hilir,” kata Shodiq.