Harga kendaraan listrik dinilai masih terlalu mahal bagi sebagian besar konsumen di Tanah Air. Inovasi dan insentif diperlukan guna menekan harga kendaraan agar lebih terjangkau dan menarik pasar yang lebih luas.
Oleh
Mediana / Agnes Theodora / Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi mendorong permintaan dinilai penting guna mengembangkan ekosistem kendaraan listrik nasional. Oleh karena itu, selain mengolah hasil tambang serta merintis pabrik baterai dan komponennya, pemerintah dan pelaku industri perlu berstrategi untuk membangun pasar di dalam negeri.
Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan utama konsumen di Tanah Air untuk membeli kendaraan listrik adalah tingkat keekonomiannya. Harga kendaraan, pajak, dan biaya operasional menjadi indikatornya.
Pengguna kendaraan listrik sekaligus pebalap Fitra Eri menilai, kendaraan listrik mesti menarik dari sisi ekonomi agar dibeli dan diterima pasar secara luas. ”Pemerintah perlu membuat regulasi agar kendaraan listrik lebih terjangkau dan menarik bagi konsumen,” ujarnya saat diskusi tentang industri baterai nasional yang digelar Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), Sabtu (20/11/2021).
Menurut Fitra, sejumlah insentif memang sudah diberikan pemerintah, tetapi perlu insentif tambahan untuk melipatgandakan adopsinya. Penambahan infrastruktur, seperti tempat pengisian daya, juga penting guna menopang operasi kendaraan listrik untuk perjalanan ke luar kota.
Peneliti spesialis teknologi energi dan kendaraan listrik Institute for Essential Services Reform (IESR), Idoan Marciano, saat dihubungi secara terpisah pekan lalu berpendapat, di pasaran, harga kendaraan listrik roda empat yang paling murah adalah Rp 600 juta, sedangkan daya beli warga berkisar Rp 270 juta hingga Rp 300 juta per unit.
Pemerintah sebenarnya telah memberikan insentif fiskal dan non-fiskal, seperti pengenaan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) nol persen, pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) nol persen di DKI Jakarta, uang muka minimum nol persen dan suku bunga rendah untuk kendaraan listrik, serta diskon penyambungan dan penambahan daya listrik.
Insentif juga diberikan kepada industri kendaraan listrik berbasis baterai, seperti keringanan pajak, pembebaasan bea masuk dan bea masuk ditanggung pemerintah, serta supertax deduction untuk kegiatan penelitian dan pengembangan.
Meski demikian, menurut Idoan, hal itu belum cukup sehingga perlu kebijakan lain yang lebih agresif. ”Kebijakan larangan penjualan kendaraan konvensional roda dua mulai 2040 dan mobil tahun 2050 itu kurang agresif. Usulan kami, tahun 2035 sudah dilarang sehingga periode 2040-2050 konversi ke kendaraan listrik berjalan sepenuhnya,” ujarnya.
Selain langkah yang lebih progresif, target antarkementerian/lembaga dan pemerintah pusat dan daerah perlu diselaraskan terkait peta pengembangan kendaraan listrik. Di tingkat daerah juga belum terbentuk komite pengembangan kendaraan listrik yang menyelaraskan kebijakan pusat sesuai kondisi di daerah.
Menurut dia, Indonesia bisa belajar dari pengalaman China yang lebih dulu memiliki ekosistem kendaraan listrik yang matang karena memiliki komite daerah. Komite ini mempercepat adopsi kendaraan listrik di daerah dengan regulasi fiskal dan nonfiskal.
Ciptakan pasar
Hal terpenting bagi Indonesia sekarang, kata Idoan, adalah menciptakan pasar (permintaan) kendaraan listrik terlebih dulu sambil merintis pengembangan industrinya. Perkembangan ekosistem industri listrik baru-baru ini cukup positif, seperti ada investasi industri baterai dan manufaktur kendaraan listrik.
Senada dengan Idoan, Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation (IBC)—konsorsium perusahaan milik negara—Toto Nugroho menyatakan, upaya menciptakan permintaan krusial untuk menopang ekosistem kendaraan listrik. Oleh karena itu, selain menyiapkan produksi baterai, pihaknya juga mengenalkan dan menguji kendaraan listrik ke pasaran.
IBC juga membidik pasar potensial, seperti jasa pengiriman/kurir, layanan pesan antar makanan, serta transportasi berbasis aplikasi, seperti Gojek dan Grab, sebagai pengguna kendaraan listrik. ”Kendaraan niaga juga berpotensi karena pertumbuhannya relatif tinggi seiring meningkatnya jasa pengantaran dan transaksi e-dagang,” kata Toto.
Salah satu tantangan untuk menciptakan pasar kendaraan listrik di dalam negeri adalah harga yang terlampau mahal. Berdasarkan studi perusahaan riset Deloitte Indonesia, 61 persen responden Indonesia baru mau membeli kendaraan listrik jika harganya sama dengan kendaraan berbahan bakar minyak dan 23 persen akan membeli jika harganya lebih murah.
”Mahalnya harga ini memang jadi tantangan. Makanya, kita akan memberikan berbagai insentif dan bahan-bahan bakunya akan banyak kita sediakan dari dalam negeri agar harganya jadi terjangkau,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT PLN (Persero) Agung Murdifi, dari sisi pasokan, PLN memastikan daya listrik di seluruh sistem kelistrikan cukup, sebagian besar cadangan daya telah di atas 30 persen. Soal Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), saat ini PLN sudah memiliki 47 unit SPKLU yang beroperasi dan hingga akhir tahun akan ada 67 unit SPKLU yang beroperasi.
PLN juga menghadirkan layanan pengecasan di rumah (home charging services) untuk memudahkan konsumen mendapatkan fasilitas pendukung kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Layanan itu merupakan produk layanan satu pintu bagi pelanggan yang membeli kendaraan listrik di penyedia yang bekerja sama dengan PLN.