Pemulihan ekonomi masih menjadi fokus di tengah situasi pandemi Covid-19. Dana bergulir Lembaga Pengelola Dana Bergulir-Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) telah tersalur sebesar Rp 1,29 triliun.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana bergulir Lembaga Pengelola Dana Bergulir-Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau LPDB-KUMKM telah tersalur Rp 1,29 triliun kepada 163 mitra. Penyaluran dana bergulir saat ini masih berfokus pada upaya pemulihan ekonomi para pelaku koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah.
Secara rinci, penyaluran dana dengan pola konvensional mencapai Rp 669 miliar kepada 104 mitra, sedangkan dana yang disalurkan dengan pola syariah mencapai Rp 624 miliar kepada 59 mitra. Secara akumulasi, dana bergulir yang disalurkan sejak tahun 2008 ini telah mencapai Rp 13,62 triliun dengan total jumlah penerima 3.126 mitra.
Direktur Utama LPDB-KUMKM Supomo dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (19/11/2021), mengatakan, pada tahun 2020 LPDB-KUKM juga melaksanakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan pola konvensional dan pola syariah. Hasil dari pola konvensional tercatat penyaluran Rp 724 miliar kepada 41 mitra dengan penerima manfaat mencapai 58.050 orang.
Sementara penyaluran dengan pola syariah mencapai Rp 567 miliar kepada 43 mitra dengan penerima manfaat 60.733 orang. ”Dengan demikian, total penyaluran dana PEN mencapai Rp 1,292 triliun kepada 84 mitra dengan peneriman manfaat 118.783 orang,” kata Supomo.
Di sisi lain, LPDB-KUMKM juga melaksanakan program inkubator wirausaha dengan bekerja sama dengan delapan lembaga inkubator di seluruh Indonesia. Di Jawa Barat, LPDB-KUMKM bekerja sama dengan Pusat Inkubator Bisnis Oorange Universitas Padjajaran, Cubic Inkubator Bisnis.
LPDB-KUMKM juga bekerja sama dengan Siger Innovation Hub di Lampung, Badan Inovasi dan Inkubator Wirausaha Universitas Brawijaya, Badan Pengembangan Bisnis Rintisan dan Inkubasi Universitas Airlangga di Jawa Timur, dan Inkubator Bisnis LPPM Univesitas Udayana di Bali.
Ada pula kerja sama dengan Pusat Pengembangan Inovasi dan Inkubator Bisnis Teknologi Universitas Tanjungpura di Kalimantan Barat dan Pusat Inkubator Bisnis Universitas Ottow Geissler Papua di Papua.
Selain dana bergulir, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki secara terpisah mengungkapkan, pihaknya mengupayakan pemulihan ekonomi antara lain melalui Bantuan Presiden untuk Usaha Mikro (BPUM) dengan target penyaluran kepada 12,8 juta usaha mikro. Hingga kini, BPUM telah disalurkan dengan anggaran Rp 15,36 trilliun.
Kemudian, ada pula kredit usaha rakyat (KUR) dengan target Rp 285 trilliun. Hingga kini, telah terealisasi Rp 244,9 trilliun atau 85,92 persen dengan jumlah 6,48 juta debitor. Ada pula penyaluran modal kerja bagi koperasi melalui LPDB, dengan target Rp 1,6 trilliun, telah terealisasi Rp 1,2 trilliun atau 80,27 persen kepada 162 koperasi.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto mencermati, selama ini kebijakan penyaluran KUR tidak tepat sasaran. Sebab, KUR dipahami sebagai kredit program bersubsidi, tetapi alokasinya lebih banyak diperuntukkan bagi usaha yang sudah mapan ketimbang usaha mikro yang gurem.
”Bagaimana bisa kredit bersubsidi, tetapi untuk alokasi kredit dengan plafon hingga Rp 100 juta dan Rp 500 juta? KUR itu harusnya dibatasi plafonnya. Kalau plafon pinjaman sudah berada di atas Rp 100 juta, jumlah itu seharusnya sudah masuk kredit komersial. Tidak boleh lagi menerima fasilitas subsidi pemerintah, karena pada setiap outstanding KUR itu terdapat uang rakyat,” jelas Suroto.
Suroto mengatakan, apabila KUR mau disebut sebagai program yang membantu masyarakat kecil, harusnya sasaranya usaha mikro, bukan UKM. Jumlah pelaku usaha mikro Indonesia mencapai 64 juta (99,6 persen). Omzetnya tidak lebih dari Rp 1 miliar sesuai dengan peraturan pemerintah terbaru. Ini harusnya yang jadi fokus sasarannya.
Menurut Suroto, KUR seharusnya ditujukan untuk alokasi kredit di bawah Rp 5 juta. Kapasitas usaha mikro berada di angka ini. Mereka membutuhkan modal kerja, bukan yang lain. Selama ini, mereka itu menjadi sasaran pemerasan rentenir.
Selain pembatasan plafon, skema KUR semestinya ada kuota sektor yang tegas berikut sanksinya. Di sektor perdagangan, misalnya, hanya boleh untuk plafon maksimal Rp 5 juta tanpa agunan. Untuk sektor pangan (pertanian dan perikanan) misalnya, plafon boleh mencapai Rp 25 juta. ”Jadi jelas sasaran dan juga sanksinya terhadap bank yang melanggar,” kata Suroto.