Minyak dan Gas, Harapan Baru Penopang Pembangunan Aceh
Ketika pemberian anggaran otonomi khusus berakhir pada 2028, potensi pendapatan dari sektor migas dapat menjadi sandaran pembangunan Aceh masa mendatang.
Pasca-perjanjian damai Helsinki tahun 2005, pembangunan Aceh bergantung sepenuhnya pada dana otonomi khusus. Akan tetapi, pemberian dana otonomi khusus itu bakal berakhir pada 2028. Harapan baru ada pada sektor minyak dan gas yang dapat menjadi sandaran baru sumber dana pembangunan Aceh masa mendatang.
Aceh dan sektor minyak dan gas (migas) sepertinya tidak bisa dipisahkan. Sejarah mencatat, Aceh pernah menjadi daerah penghasil migas terbesar di Indonesia, yakni pada masa kejayaan perusahaan Arun LNG dan ExxonMobil pada era 1970-an hingga selepas tahun 2010.
Namun, kala itu migas yang dihasilkan Aceh justru lebih banyak dinikmati oleh pihak asing. Persoalan ketidakadilan pembangunan dan penguasaan sumber daya alam itu pula yang menjadi salah satu bara konflik di Aceh.
Akan tetapi, dalam perjanjian damai 15 Agustus 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI, Aceh diberi beberapa keistimewaan, di antaranya pemberian dana otonomi khusus (otsus) dan kewenangan mengelola migas.
Baca juga: UEA dan Inggris Menangi Pengelolaan Migas Blok Andaman
Dana otsus digunakan sebagai modal untuk membenahi Aceh yang terpuruk karena konflik. Adapun migas sebagai modal pembangunan Aceh masa depan. Dua kesepakatan ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Otsus diberikan selama 20 tahun sejak 2008 hingga 2027 dengan total anggaran Rp 122,579 triliun. Hingga 2021, Aceh telah mendapatkan Rp 81,715 triliun.
Adapun dalam hal pemberian kewenangan bagi Aceh untuk mengelola migas, pemerintah pusat dan Pemprov Aceh sepakat membentuk Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Lembaga ini bertugas melaksanakan, mengendalikan, dan mengawasi kontrak kerja migas. BPMA bertanggung jawab kepada Gubernur Aceh serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Khairil Syahrial, Rabu (3/11/2021), menuturkan, setelah otsus berakhir, Aceh perlu sumber anggaran lain untuk menopang pembangunan. Menurut dia, sektor migas salah satu yang bisa diandalkan.
Cadangan migas Aceh masih menjanjikan, tetapi harus dipastikan keberadaan migas tersebut akan memberikan dampak positif bagi Aceh. Memang eksploitasi migas memakan waktu yang panjang dan investasi yang besar. Namun, dampak baiknya adalah tersedia lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan bagi daerah.
”Saat ini kami (DPRA) sedang membahas rancangan qanun/perda pertambangan minyak dan gas alam rakyat Aceh. Kami ingin investasi migas benar-benar bermanfaat bagi Aceh,” kata Khairil.
Baca juga: Abadikan Damai Perkuat Ekonomi Aceh
Dihubungi terpisah, Deputi Perencanaan BPMA Muhammad Mulyawan mengatakan, Aceh memiliki cadangan minyak 10 million stock tank barrels (MMSTB) dan cadangan gas sebesar 210 billion standard cubic feet (BSCF). Cadangan migas itu tersebar di darat dan lepas pantai. Di luar itu survei dan penelitian terus dilakukan untuk mencari cadangan baru migas Aceh.
Cadangan migas Aceh itu mulai dilirik perusahaan migas global, salah satunya Repsol, sebuah perusahaan migas Spanyol. Menurut rencana, pada pertengahan 2022 Repsol akan melakukan pengeboran di garis pantai Kabupaten Pidie Jaya. Nilai investasi Repsol mencapai137,4 juta dollar AS atau Rp 1,964 triliun (kurs Rp 14.300).
Sejumlah kegiatan awal telah dilakukan pada Oktober 2021, seperti pengiriman alat berat, pengerukan tanah, dan pemadatan tanah. Pada November 2021, kegiatan bakal dilanjutkan dengan pemasangan pagar pembatas, instalasi peralatan elektrikal, dan instalasi peralatan informasi teknologi.
Aceh memiliki cadangan minyak 10 million stock tank barrels (MMSTB) dan cadangan gas sebesar 210 billion standard cubic feet (BSCF). (Muhammad Mulyawan)
Di samping itu juga ada eksplorasi yang telah berjalan lama, seperti yang dilakukan Triangle Pase yang mengelola Blok Pase di Aceh Timur, Medco E&P mengelola Blok A di Aceh Timur, dan Pertamina Hulu Energi (PHE) mengelola Blok B di Aceh Utara.
Semakin besar produksi migas dan semakin tinggi harga minyak dunia, semakin besar pula potensi pendapatan Aceh dari sektor ini. Data BPMA menunjukkan, pada 2019 pendapatan Aceh dari migas mencapai 46,4 juta dollar AS atau Rp 649 miliar dan pada 2020 sebesar Rp 19,4 juta dollar AS atau Rp 271,5 miliar.
”Untuk semester I tahun 2021 penerimaan dari sektor migas 8,6 juta dollar AS atau Rp 120,4 miliar, capaian 72,5 persen dari target,” kata Mulyawan.
Mulyawan menambahkan, pengelolaan migas di Aceh sekarang jauh lebih menguntungkan Aceh dibandingkan dengan masa lalu. Pola dana bagi hasil (DBH) migas antara Aceh dan pemerintah pusat diatur dalam Undang-Undang Perimbangan Keuangan Daerah, UU Pemerintahan Aceh, dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pengelolaan Migas Aceh dan Pusat.
Baca juga: Industri Hulu Migas Masih Diperlukan pada Masa Transisi Energi
Khusus untuk kegiatan eksploitasi migas lepas pantai, Aceh berhak mendapatkan 30 persen dari penerimaan negara. ”Dengan adanya BPMA, informasi kian terbuka dan peran Pemprov Aceh semakin besar dalam industri migas di wilayahnya,” ujar Mulyawan.
BPMA merangkul para pihak di Aceh untuk terlibat dan mendukung industri migas di Aceh, salah satunya para akademisi. BPMA telah meneken kerja sama dengan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh; Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh; Universitas Samudera Langsa; Universitas Teuku Umar, Meulaboh; Universitas Malikussaleh; dan Politeknik Lhokseumawe. Para akademisi akan terlibat dalam riset hingga konsultasi.
Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal mengatakan, industri migas harus dihidupkan kembali karena akan menampung banyak tenaga kerja. Selain itu, industri ini juga memberikan dampak ganda terhadap pertumbuhan sektor lain.
Samsul berharap pihak industri memberikan kepercayaan pada perguruan tinggi yang ada di Aceh untuk terlibat dalam proses pengelolaan migas di Aceh. ”Berikan kepercayaan pada pihak kampus. Lalu, kami akan berusaha menghasilkan produk yang diinginkan pihak industri,” ujar Samsul.
Antropolog Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya menuturkan, industri migas Aceh pascadamai merupakan gelombang kedua pengembangan migas dalam sejarah provinsi itu. Gelombang pertama adalah masa industri migas dikembangkan oleh ExxonMobil dan Arun LNG yang beroperasi pada masa konflik Aceh.
ExxonMobil mulai melakukan perjanjian kerja sama di Aceh pada 1968 dan berakhir masa kerjanya pada 2018. Bekas ladang mereka kini dikelola oleh PHE. Sedangkan Arun LNG mulai beroperasi pada 1978 dan berhenti pada 2014. Ladang itu kini dikelola oleh Pertagas, anak perusahaan Pertamina.
Dalam sejarah industri migas gelombang pertama itu banyak kekecewaan yang dirasakan oleh warga Aceh. Mayoritas warga Aceh merasa keberadaan industri migas kala itu tidak menghadirkan kesejahteraan.
Meski demikian, lanjut Kemal, pengalaman buruk masa ExxonMobil tidak memberikan trauma bagi warga Aceh pada pengembangan industri migas. ”Tidak ada kelompok warga yang menolak kehadiran perusahaan migas. Ada keyakinan perusahaan-perusahaan migas baru tidak akan mengulang gaya ExxonMobil,” kata Kemal.
Baca juga: Mendorong Energi Terbarukan Jangan Abaikan Migas
Masyarakat Aceh saat ini, termasuk warga di wilayah eksploitasi migas besar di masa lalu, tidak menunjukkan sikap resisten pada keberadaan perusahaan migas baru. Optimistisme itu muncul karena regulasi pengelolaan kini jauh menguntungkan Aceh. Selain mendapatkan dana bagi hasil yang proporsional, Aceh bahkan memiliki peluang mengelola sumur minyak secara mandiri melalui perusahaan daerah.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Nova Iriansyah menuturkan, Pemprov Aceh mendukung penuh investasi migas. Nova optimistis ekonomi Aceh akan lebih cepat berkembang dengan adanya investasi. ”Saya menjamin Pemerintah Aceh all out mendukung kegiatan investasi, termasuk investasi minyak dan gas bumi di Aceh,” kata Nova.