Transisi Energi Perlu 1 Triliun Dollar AS Per Tahun
Pembiyaaan dan teknologi sangat diperlukan oleh negara-negara berkembang untuk mewujudkan transisi energi dari batubara ke sumber energi baru dan terbarukan.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
GLASGOW, KOMPAS — Dibutuhkan lebih kurang 1 triliun dollar Amerika Serikat per tahun untuk mewujudkan transisi energi dari batubara ke sumber energi baru dan terbarukan pada 2040 di seluruh dunia. Pembiayaan dibutuhkan tak hanya bagi pengadaan teknologi baru, tetapi juga memastikan komunitas tak kehilangan mata pencaharian dan mengelola aset pembangkit atau tambang batubara yang tak terpakai.
Mari Elka Pangestu, Managing Director of Development Policy and Partnerships World Bank, Kamis (4/11/2021), di Scottish Event Campus, Glasgow, Inggris Raya, mengatakan, dana tersebut diperkirakan dibutuhkan untuk mencapai target mengakhiri penggunaan batubara sebagai energi pembangkit listrik pada 2040. ”Ada 2.173 gigawatt pembangkit batubara yang harus exit pada 2040. Artinya, sekitar 100 gigawatt per tahun atau satu pembangkit batubara harus ditutup per hari,” ujarnya saat berkunjung ke Paviliun Indonesia di tengah kegiatan Konferensi Perubahan Iklim atau COP 26 di Glasgow.
Menurut mantan menteri perdagangan serta menteri pariwisata dan ekonomi kreatif itu, Bank Dunia atau World Bank ingin negara berkembang juga bisa melakukan transisi menghadapi krisis iklim. Namun, pada saat yang sama, negara-negara berkembang tetap mampu mencapai target pembangunan mereka.
Dua hal tersebut bisa dicapai lewat pembiayaan dan teknologi. ”Jadi, bicara transisi energi, kalau harus keluar dari batubara, ada biayanya,” ujarnya.
Indonesia diperkirakan memerlukan 50-60 miliar dollar AS per tahun untuk meninggalkan penggunaan pembangkit batubara. Tentu tidak semuanya bisa dibiayai oleh Pemerintah RI. Maka, perlu ada bantuan dari swasta, lembaga donor seperti Bank Dunia, dan lembaga filantropi.
Ia menjelaskan, tugas penting pemerintah ialah menyusun paket agar pihak yang memberikan bantuan dapat menyalurkan dana. ”Agar dapat masuk, swasta memerlukan paket atau platform. Harus jelas program transisi dari pemerintah seperti apa untuk 10 tahun ke depan. Kebijakannya seperti apa, undang-undangnya bagaimana. Itu tugas pemerintah,” tuturnya.
Menurut Mari, ada empat langkah yang diperlukan guna mewujudkan transisi energi. Pertama, meninggalkan penggunaan pembangkit batu bara. Kedua, penggunaan kembali aset pembangkit, lahan tambang, dan sebagainya. Ketiga, transisi bagi komunitas di sekitar tambang mengingat tak sedikit komunitas yang akan kehilangan mata pencaharian saat batubara ditinggalkan. Keempat, penggunaan renewable energy. Pada fase terakhir ini, diperlukan teknologi dan biaya yang dapat disediakan oleh swasta.
Upaya korporasi
Sementara itu, dalam diskusi para pemimpin korporasi di Paviliun Indonesia, Rabu (3/11/2021), Basrie Kamba, Direktur PT Asia Pacific Rayon, perusahaan yang tergabung dalam APRIL Group, mengatakan, kelompok usaha itu menargetkan untuk meningkatkan penggunaan energi dari sumber terbarukan hingga 90 persen pada 2030. Dalam pemaparannya, Basrie mengatakan, pada 2020, penggunaan energi terbarukan telah mencapai 80,2 persen.
APRIL juga tengah mengerjakan pembangunan 20 megawatt energi matahari. Hal itu menjadikannya sebagai instalasi sel surya terbesar oleh sektor swasta.
Iman Rachman, Director of Strategy, Portfolio, and New Venture PT Pertamina (Persero), menyatakan, perusahaan itu telah mengurangi 27 persen emisi karbon pada 2020 guna mendukung target nasional dalam pengurangan emisi. Untuk menghadapi era energi hijau, Pertamina mengembangkan proyek dan kegiatan guna memperluas portofolio energi hijau. Beberapa di antaranya ialah pengembangan panas bumi, bio-energy, dan circular carbon economy.