Investasi Asing Turun, Komitmen Investasi Berkelanjutan Perlu Diperkuat
Undang-Undang Cipta Kerja berkutat pada urusan memudahkan investasi dan mendirikan usaha, tetapi luput memperkuat aspek tanggung jawab sosial dan kepedulian lingkungan yang kini justru menjadi perhatian investor asing.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekeja berada di antara konsruksi baja dalam proyek pembangunan pabrik dan gudang di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Selasa (17/4/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Investasi berkelanjutan yang memperhatikan aspek pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial, dan tata kelola yang baik semakin diminati investor. Iklim dan regulasi investasi yang berpihak pada prinsip berkelanjutan perlu diperkuat untuk menjaga daya tarik berinvestasi di Indonesia.
Pada triwulan III-2021, realisasi investasi mengalami penurunan. Pada periode Juli-September 2021, investasi tercatat Rp 216,7 triliun. Angka itu turun 2,8 persen dibandingkan capaian triwulan II-2021 kendati tumbuh 3,7 persen secara tahunan dibandingkan triwulan III-2020.
Investasi yang masuk pada periode ini lebih banyak berasal dari pemodal dalam negeri. Penanaman modal asing (PMA) turun 11 persen dari triwulan II-2021 dan turun 2,7 persen dari triwulan II-2020. Sebaliknya, penanaman modal dalam negeri (PMDN) naik 6,8 persen dibandingkan triwulan II-2021 dan naik 10,3 persen dibandingkan triwulan II-2020.
Seiring dengan berkurangnya realisasi investasi dari pemodal asing, penciptaan lapangan kerja ikut menurun. Pada triwulan III-2021, penyerapan tenaga kerja tercatat 288.687 orang, turun dari 311.922 orang pada triwulan II-2021 dan 311.793 orang pada triwulan I-2021.
Meski nilai investasi dari PMDN naik, penyerapan tenaga kerjanya hanya 133.972 orang pada triwulan III-2021. Adapun penyerapan tenaga kerja dari PMA lebih tinggi, yaitu 154.715 orang, meski nilai investasinya menurun. Investor asing umumnya menanamkan modal di sektor padat karya seperti industri manufaktur ketimbang sektor jasa yang lebih diminati investor dalam negeri.
Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance, Andry Satrio Nugroho, Kamis (28/10/2021) menilai, ada beberapa faktor yang dapat mengurangi arus investasi asing masuk ke Indonesia.
Selain dampak lonjakan kasus Covid-19 dan merebaknya varian Delta pada triwulan III-2021, iklim investasi yang belum sejalan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan (environmental, social, governance/ESG) juga bisa menghalangi minat investor menanamkan modal di Indonesia.
Apalagi mengingat prinsip investasi berkelanjutan semakin kuat dianut investor dari sejumlah negara. ”Ke depan, ini menjadi tantangan. Bagaimana kita bisa menghadirkan investasi yang tidak hanya besar dari sisi nilai dan bisa membuka banyak lapangan kerja, tetapi juga memenuhi aspek-aspek berkelanjutan itu?” kata Andry.
Ia menilai, deregulasi yang dihadirkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih berkutat pada aspek memudahkan investasi dan mendirikan usaha. Namun, luput pada aspek tanggung jawab sosial dan kepedulian lingkungan yang kini justru menjadi perhatian investor asing.
”Beberapa peraturan yang ada belum bisa mengaplikasikan risiko-risiko ESG itu. Padahal, investasi masa depan ada di situ,” ujarnya.
Ia mencontohkan, ketika produsen kendaraan listrik asal Amerika Serikat, yakni Tesla, tidak jadi berinvestasi di Indonesia. Salah satu alasannya disebut-sebut karena Indonesia dinilai tidak ramah ESG.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petani memanen padi di sawah yang dikepung perumahan di Desa Sendangadi, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (29/4/2021). Semakin maraknya investasi di Sleman membuat alih fungsi lahan pertanian di kabupaten itu terus berlangsung.
Mengoreksi regulasi
Dari sisi sosial, selain aturan ketenagakerjaan yang masih problematik, potensi kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang dinilai mengganggu investasi atau pendirian usaha lewat UU Cipta Kerja dan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga menunjukkan masih jauhnya komitmen regulasi pada investasi yang ramah ESG. Di beberapa daerah, regulasi ini sudah mulai menjerat warga yang menolak masuknya investasi.
Andry mengatakan, hal ini menjadi pekerjaan rumah baru bagi pemerintah. Sejumlah aspek dari UU Cipta Kerja yang mampu menjawab persoalan kemudahan berusaha perlu dijaga. Namun, aspek kepedulian pada lingkungan, ketenagakerjaan, masyarakat sekitar, perlu segera dikoreksi lewat regulasi baru yang mengikat.
”Kalau mengejar target investasi hingga ribuan triliun (rupiah), dari kuantitas saja mungkin bisa tercapai. Tetapi, dari sisi kualitas, apakah bisa? Itu yang jadi salah satu pekerjaan rumah kita jika ingin menjaga kinerja investasi,” kata Andry.
Sementara itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, faktor yang membuat investasi asing menurun pada triwulan III-2021 adalah dampak merebaknya varian Delta di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pengetatan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama periode Juli-Agustus 2021 juga memengaruhi kinerja investasi.
”Saat PPKM, banyak tenaga ahli dari luar tidak bisa masuk ke Indonesia karena protokol Covid-19. Arus barang masuk dari luar negeri juga sedikit terhambat karena pandemi,” ujarnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Proyek pembangunan gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (26/8/2021). Pemerintah menaikkan proyeksi pembiayaan investasi tahun 2021 menjadi Rp 204,5 triliun. Tambahan pembiayaan investasi akan diambil dari cadangan dana program pemulihan ekonomi nasional dan sisa anggaran lebih tahun lalu.
Akan tetapi, ia menilai, meski investasi asing menurun, investasi lokal yang meningkat pada triwulan III-2021 menjadi indikasi membaiknya iklim usaha di dalam negeri. ”Kita bertahan dan menyerang. Kalau tidak bisa (menarik investasi) dari luar negeri karena Covid-19, kita ’hajar’ dari investasi dalam negeri. Nanti begitu longgar, kita ’hajar’ lagi dari investasi luar,” kata Bahlil.
Bahlil membenarkan, penyerapan tenaga kerja memang mengalami tren menurun. Namun, data yang dipublikasikan Kementerian Investasi hanya realisasi tenaga kerja secara langsung dari investasi, bukan dampak penciptaan lapangan kerja secara tidak langsung langsung.
”Biasanya, dalam teori ekonomi, dampak tidak langsung itu bisa sampai 4-5 kali lipat lebih besar daripada dampak secara langsungnya,” kata Bahlil.