Pemerintah Diingatkan untuk Mengedepankan Investasi Inklusif
Selain menghasilkan capaian luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi, investasi juga memunculkan persoalan kompleks, seperti kerusakan lingkungan, peminggiran masyarakat lokal, dehumanisasi, dan ketimpangan sosial.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Investasi yang inklusif menjadi keniscayaan agar pembangunan ekonomi tidak menimbulkan dampak buruk pada aspek sosial dan lingkungan. Pemerintah diingatkan untuk mengedepankan agenda demokrasi ekonomi, literasi teknologi bagi pelaku ekonomi domestik, serta investasi yang inklusif dan hijau dalam peta jalan kebijakan ke depan.
Guru Besar Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika, Rabu (8/9/2021), mengatakan, di samping menghasilkan capaian luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi, investasi juga telah memunculkan aneka persoalan kompleks, seperti kerusakan lingkungan, peminggiran masyarakat lokal, dehumanisasi, ketimpangan sosial, dan ketergantungan pada negara lain.
Oleh karena itu, investasi tidak bisa dilihat hanya dari perspektif nilai tambah ekonomi yang bisa mendorong kinerja ekspor dan angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan. Investasi yang berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja lokal, afirmasi usaha kecil setempat, dan ramah terhadap lingkungan harus menjadi prioritas pemerintah.
”Kita harus bergerak dari investasi yang sifatnya ekstraktif dan eksploitatif menjadi investasi yang inklusif dan hijau. Daftar prioritas investasi harus disesuaikan dengan potensi, sumber daya, dan target kelompok masyarakat yang ingin disasar,” ujar Erani dalam webinar ”Investasi, Nilai Tambah, dan Kesinambungan Pembangunan" yang diadakan Institute for Development on Economics and Finance (Indef).
Ia mengatakan, ada beberapa isu strategis yang harus diperhatikan pemerintah dalam menyusun kebijakan investasi yang inklusif sesuai perkembangan iklim ekonomi ke depan. Pertama, agenda demokrasi ekonomi, seperti pemerataan wilayah tujuan investasi, pemerataan antarpelaku ekonomi, antarsektor, dan antarproduksi.
Investasi harus menjadi solusi, bukan menambah tajam persoalan sosial yang sudah ada. ”Distribusi alat produksi dan pengarusutamaan UMKM serta koperasi harus menjadi instrumen penting dalam agenda demokrasi ekonomi,” ujarnya.
Kedua, agenda literasi teknologi yang penting dikedepankan untuk mendukung pelaku ekonomi domestik di tengah arus investasi asing yang semakin berteknologi tinggi. Hari-hari ini, terlebih pasca-Covid-19, aktivitas ekonomi sangat bergantung pada kapasitas teknologi. Penanaman modal asing (PMA) ke depan akan lebih banyak yang berbasis teknologi informasi atau ekonomi digital.
Pemerataan infrastruktur teknologi dan perbaikan akses digital menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus disiapkan dari sekarang. Regulasi yang tepat dan efektif juga harus disiapkan agar keberadaan investor asing berteknologi tinggi tidak menindih pelaku ekonomi domestik.
”Jika pemerataan teknologi informasi tidak dilakukan dari sekarang, akan muncul sumber ketimpangan baru, di mana pengusaha yang berada di perkotaan, dengan pendidikan bagus dan akses digital yang luas, lebih cepat berkembang dibandingkan pengusaha di daerah,” katanya.
Aspek ketiga adalah inklusivitas investasi, khususnya terhadap kelestarian lingkungan. Ekonomi hijau (green investment) harus direalisasikan dan diarusutamakan dalam peta jalan pengembangan investasi. Selain pertimbangan ekologi, ini juga terkait pada posisi tawar industri nasional di kancah perekonomian global yang mulai marak menerapkan berbagai instrumen ekologi lingkungan.
Hilirisasi
Sementara itu, Ekonom Senior Indef Aviliani menyoroti pentingnya hilirisasi industri untuk mendorong investasi berkualitas. Selama ini dukungan terhadap pengembangan hilirisasi dinilai rendah. Indonesia sampai sekarang masih mengandalkan ekspor produk primer, yang sangat bergantung pada fluktuasi harga komoditas global. ”Ini menciptakan kondisi yang selalu naik dan turun, membuat ekonomi kita sulit mencapai stabilitas,” katanya.
Ia mengatakan, hilirisasi dapat menahan deindustrialisasi dini yang saat ini mulai tampak gejalanya. Peran manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun sejak 2015. Sebagai perbandingan, pada tahun 2008, kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB nasional masih di angka 27,8 persen. Pada tahun 2020, peranannya menurun pada level 19,8 persen.
”Hilirisasi akan memperkuat struktur industri di tengah gejala penurunan peranan industri manufaktur yang cukup signifikan akhir-akhir ini,” ujar Aviliani.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, investasi berkualitas menjadi prioritas pemerintah. Proporsi investasi antara penanaman modal dalam negeri dan asing kini mulai berimbang, demikian pula pemerataan wilayah tujuan investasi antara Jawa dan luar Jawa.
Dari segi demokrasi ekonomi, saat ini ada pula keharusan kolaborasi antara investor besar dengan pengusaha mikro kecil menengah (UMKM) di daerah. ”Kolaborasi itu sekarang menjadi syarat utama sebelum memberikan insentif ke investor. Saya tidak ingin orang daerah hanya menjadi obyek dari kehadiran investasi. Orang daerah harus menjadi subyek pembangunan,” katanya.