Target Tak Tercapai di Periode Pertama, Pandemi Dihadapi di Periode Kedua
Dari target RPJMN, sebagian besar kinerja bidang ekonomi lima tahun pertama Presiden Jokowi dinilai tidak tercapai. Pandemi yang datang dua tahun terakhir juga semakin memukul meski tak terlalu memperburuk kondisi.
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja bidang ekonomi selama lima tahun periode pertama Presiden Joko Widodo, dilihat dari target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, sebagian besar tidak tercapai. Sementara kinerja ekonomi pada dua tahun terakhir di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi dihadapkan pada situasi khusus, yakni pandemi Covid-19.
Hal tersebut disampaikan pengamat ekonomi Awalil Rizky pada Zoominari Kebijakan Publik bertajuk ”Evaluasi Kinerja 2+5 Tahun Pemerintahan Jokowi” yang digelar Narasi Institute, Jumat (22/10/2021). Diskusi yang dipandu Achmad Nur Hidayat dengan pemandu pendamping Fadhil Hasan tersebut menghadirkan pula pembicara Guru Besar Ekonomi IPB University Didin S Damanhuri; Co-Founder Relawan Jokowi-Prabowo, Mohamad Qodari; dan pengamat hukum tata negara Refly Harun.
Sementara itu, survei terbaru Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan kepercayaan publik di sektor ekonomi terus naik, yakni dari 52,8 persen pada Agustus 2020 menjadi 57,9 persen pada Januari 2021. Kepercayaan publik di sektor ini turun tipis menjadi 57,8 persen pada April 2021, tetapi kemudian naik menjadi 58,7 persen pada Oktober 2021.
Survei juga memperlihatkan kepuasan publik pada kinerja kesejahteraan rakyat pada Agustus 2020 sebesar 61,6 persen dan naik menjadi 67,2 persen pada Januari 2021. Kepuasan publik di sektor ini naik lagi ke angka 71,3 persen di April 2021, tetapi kemudian turun menjadi 68,6 persen pada Oktober 2021.
Awalil menuturkan bahwa target di bidang ekonomi yang tercapai adalah inflasi. Sementara target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang tidak tercapai, antara lain, di sisi pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, dan tingkat kemiskinan.
Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, indikator ekonomi tidak membaik signifikan. Laju perbaikan beberapa indikator tidak secepat sebelumnya. ”Dilihat dari perkembangan indikator ada yang relatif membaik, ada yang memburuk, dan ada yang setara,” ujar Awalil.
Awalil menuturkan bahwa dampak pandemi Covid-19 yang terjadi pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi memukul kinerja ekonomi sehingga tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan periode sebelumnya. Semestinya perbandingan dilakukan dengan dua cara. Pertama, dibandingkan dengan negara lain. Kedua, dengan model hipotesis, yakni situasi dibandingkan dengan semestinya.
Dampak pandemi Covid-19 yang terjadi pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi memukul kinerja ekonomi sehingga tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan periode sebelumnya.
”Pemerintah selalu bilang baik. (Tapi) saya ingin menyampaikan, pilih dulu. Beberapa negara yang dipilih (untuk dibandingkan) itu lebih buruk. Kalau menurut saya, kita (berada di) tengah; tidak paling buruk dan juga tidak paling baik,” kata Awalil.
Awalil memberikan penekanan bahwa perekonomian Indonesia sampai pada titik keterkaitan yang sangat erat. Dengan demikian, jika ada satu sektor, sebutlah utang BUMN sedikit goyang, maka hal ini akan merembet ke semuanya.
”Jadi, kalau saya kasih nilai, kinerja (ekonomi) 2015-2019 itu, ya, 4,5 lah. (Kinerja ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi) yang dua tahun terakhir tidak bisa saya kasih nilai. Tapi, bolehlah 6 karena ada capaian-capaian dan perbandingan dengan negara lain cukup baik,” kata Awalil.
Bacda juga: Dinamika Apresiasi di Tengah Gelombang Pandemi
Guru Besar Ekonomi IPB University Didin S Damanhuri menuturkan, secara umum, target Nawacita Presiden Jokowi diterjemahkan para menterinya dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen. Hal itu menjadi semacam syarat keharusan karena tidak mungkin membicarakan kemandirian, reformasi birokrasi, membangun dari pinggiran, dan seterusnya kalau pertumbuhan ekonomi rendah.
Akan tetapi, Didin menuturkan, menurut data yang ada, rata-rata pertumbuhan ekonomi yang dicapai waktu itu hanya berkisar 4-5 persen atau agak jauh dari target yang 7 persen. ”Dua tahun terakhir ini karena memang ada special case, yaitu pandemi, resesi kita tahu sekitar minus 2 persen. Kemudian, semester I-2021 itu kira-kira 3 persen, year to year (secara tahunan),” katanya.
Perkiraan OECD, IMF, dan Bank Dunia untuk pertumbuhan ekonomi secara tahunan 2021 yang tadinya sekitar 5 persen kemudian dikoreksi menjadi 3,7 persen. ”Padahal, pemerintah juga merencanakan akan mencapai 7 persen di periode kedua ini. Sementara (itu) saya menghitung sendiri, (bersama) beberapa teman, bahwa dengan dua RAPBN, dengan daya serap, kemudian dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, itu maksimal 2-3 persen saja,” kata Didin.
Baca juga: Tren Pemulihan Ekonomi Terjaga Sepanjang Semester I-2021
Didin menuturkan, ketika OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 sekitar 4 persen, dirinya hanya berani mengatakan sekitar 3 persen. Upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi dinilainya merupakan pekerjaan besar pemerintah yang tidak tercapai, baik untuk periode pertama maupun periode kedua pemerintahan Jokowi.
Didin menuturkan, diperlukan kehati-hatian menyikapi pandemi Covid-19. ”Apalagi, game changer-nya adalah vaksinasi. Dari target 208 juta yang herd immunity, 70 persen itu, baru tercapai 31 persen atau 81 juta yang (telah mendapat) vaksin 1 dan 2 itu,” katanya.
Pemerintah sekarang memang berupaya keras terus mengintensifkan vaksinasi ini. Hal yang dikhawatirkan dari status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat level 2 di beberapa daerah, umumnya di Jawa, adalah terjadinya euforia seolah mendekati suasana normal. ”Jadi, saya kira pemerintah harus menegaskan kembali pentingnya protokol kesehatan,” kata Didin.
Baca juga: ”Cash Flow” Sempat Babak Belur, Tetap Ingat Pesan Presiden agar Jangan Euforia
Co-Founder Relawan Jokowi-Prabowo, Mohamad Qodari, menuturkan, ada benarnya ketika Kishore Mahbubani mengatakan bahwa Jokowi pintar ketika merangkul Prabowo Subianto. ”Saya tidak bisa membayangkan kalau hari ini Prabowo tidak ada dalam pemerintahan. Betapa sulitnya dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik, terutama soal penanganan pandemi Covid-19,” katanya.
Mohamad Qodari mencontohkan soal vaksinasi. Dari survei-survei diketahui bahwa proporsi orang yang bersedia divaksinasi dari pemilih Prabowo lebih rendah dibandingkan dengan orang yang memilih Jokowi. Hal ini dinilai Qodari merupakan contoh keterkaitan antara kebijakan publik dan dinamika politik.
”Jadi, ya, suka atau tidak suka, walau ini bersifat postfactum, bahwa Pak Jokowi menggandeng Pak Prabowo itu sebagai sesuatu yang tepat secara politik. Walaupun pada waktu itu tidak memahami atau tidak mengetahui akan ada Covid-19,” kata Qodari.
Strategi pemerintah
Secara terpisah, sebelumnya, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menuturkan, hingga nantinya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menyatakan pandemi Covid-19 menjadi endemi atau selesai, pemerintah konsisten menggerakkan dan mengaktivasi proses pemulihan ekonomi nasional dengan strategi mengawinkan kebijakan ekonomi dan kesehatan.
”Jadi, antara gas dan rem, antara kebijakan pemulihan ekonomi dan penerapan protokol kesehatan, itu merupakan sinergi kebijakan ekonomi ke depan,” kata Arif, ketika dihubungi, akhir pekan lalu.
Indikator pemulihan ekonomi, antara lain, terlihat dari Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari IHS Markit yang berada di level 50 ke atas, menandakan manufaktur telah kembali pada zona ekspansi. Mobilitas orang dan barang, yang menentukan juga terhadap perekonomian, juga membaik.
Baca juga: Harga Batubara Naik, Alat Berat dan Bongkar Muat Terdampak
Hal sama ditunjukkan beberapa indikator terkategori windfall. Harga beberapa komoditas ekspor, seperti batubara dan sawit, saat ini sangat baik. Hal ini kemudian juga mendatangkan devisa yang ditunjukkan dengan surplus perdagangan dalam beberapa bulan terakhir. ”Dan, ini tentu nanti juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi karena kita berada di dalam posisi ekspor dikurangi impor pada neraca yang surplus,” ujar Arif.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin konsisten dalam menjalankan aktivitas ekonomi yang berbasis pada Indonesia-sentris dan membangun dari pinggir. Walaupun dalam keadaan pandemi, pemerintah tetap dapat menyelesaikan UU Cipta Kerja dengan harapan melalui regulasi tersebut dapat meningkatkan lapangan kerja.
Secara bersamaan, simultan, pemerintah juga tidak pernah berhenti membangun SDM melalui proses pendidikan, baik formal maupun nonformal. Di sisi lain, masih dalam kerangka peningkatan produktivitas ekonomi, aktivitas membangun konektivitas juga tidak berhenti. Semisal, membangun sarana yang menghubungkan transportasi secara cepat, termasuk tol dari Jawa sampai ujung Sumatera.
Baca juga: Presiden Resmikan Jalan Tol Kayuagung-Palembang
Arif menuturkan, peningkatan kesejahteraan untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan dan masalah terkait ketidakadilan ekonomi antargolongan juga dikerjakan serius oleh Presiden Jokowi dan Wapres Amin. Pendekatan kesejahteraan dan pendekatan ekonomi dilakukan melalui dua strategi besar, yakni strategi berbasis struktural dan strategi bersifat kultural.
Strategi berbasis struktural ditempuh melalui intervensi pemerintah untuk reformasi akses finansial—semisal melalui pengucuran kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga saat ini yang terendah sepanjang sejarah, yakni 3 persen—ataupun akses terhadap tanah lewat reforma agraria. Strategi berbasis kultural dan jangka panjang dijalankan melalui pendidikan, peningkatan keterampilan, ataupun pelebaran akses pasar pada kelompok UMKM dan koperasi.
Menurut Arif, terobosan penting dalam konteks kesejahteraan yang dilakukan sesuai dengan arahan Presiden, adalah upaya pemerintah menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024. Kemiskinan ekstrem, secara konseptual, dialami warga yang terkategori berpendapatan 1,9 dollar AS per kapita per hari. Jumlahnya sekitar 4 persen secara populasi atau lebih kurang 10,8 juta orang.
Hal yang tidak kalah penting dalam konteks kesejahteraan sosial adalah reformasi perlindungan sosial yang sudah dimulai prosesnya pada 2021 ini. Tujuannya agar program sistem jaminan sosial nasional dapat berlangsung dengan baik dan dapat memastikan semua yang berhak mendapatkan kesempatan, baik untuk akses kesehatan maupun pendidikan.