Dinamika Apresiasi di Tengah Gelombang Pandemi
Genap dua tahun masa pemerintahan periode kedua Jokowi, kepuasan publik menurun. Badai pandemi menjadi ujian berat bagi pemerintah. Bagaimana perjalanan tiga tahun masa periodenya yang tersisa nanti?
Gelombang kedua Covid-19 yang menerpa tidak hanya menempa kecakapan penanganan pemerintah, namun juga sekaligus menjadi ruang pembuktian kinerja berbagai bidang pemerintahan. Apresiasi yang makin dinamis namun masih konsisten disuarakan publik di tahun kedua masa pemerintahan Jokowi-Amin.
Survei opini publik terbaru Litbang Kompas untuk periode Oktober 2021 menunjukkan tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan saat ini berada di angka 66,4 persen. Angka itu mencatatkan penurunan 2,7 persen dibandingkan April 2021.
Dirunut lebih jauh ke hasil survei sebelumnya, derajat apresiasi tersebut pada dasarnya terus bergeming sejak masa jabatan kedua pemerintahan Joko Widodo. Dalam 15 kali survei yang sejak Januari 2015, merekam secara konsisten-dinamis tingkat kepuasan yang ditunjukkan oleh sekitar dua per tiga responden berbanding ketidakpuasan dari sekitar sepertiga bagian responden.
Hasil yang ditunjukkan survei kali ini memang tak banyak bergerak jika dibandingkan dengan periode Agustus 2020 dengan angka kepuasan sebesar 65,9 persen. Nyaris tak berbeda, pada periode Januari 2021 hasil survei juga mendapati apresiasi terhadap kinerja pemerintah dari 66,3 persen responden.
Peningkatan apresiasi secara garis besar memang selaras dengan kepuasan publik dalam menilai kinerja pemerintah di berbagai bidang. Capaian pemerintahan Jokowi-Amin yang sedikit melampaui kondisi kepuasan saat ini, terbaca dalam survei April 2021 lalu dengan menyentuh angka 69,1 persen.
Tren kepuasan publik memang akan terefleksi pada fluktuasi nilai kepuasan kinerja pemerintahan di berbagai bidang politik dan keamanan, hukum, ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Pada hasil survei kali ini, ada anomali terkait kecenderungan pelemahan terjadi di bidang politik dan hukum, sedangkan bidang kessos cenderung bertahan dan bidang ekonomi yang justru cenderung menguat.
Penilaian bertahan pada bidang ekonomi tersebut tampaknya sangat terkait dengan kemampuan pemerintah mempertahankan performa perekonomian nasional di tengah pandemi.
Merujuk rilis data BPS, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 mencapai 7,07 persen (yoy) yang menandakan Indonesia tak lagi berada di zona resesi. Tahun lalu, angka pertumbuhan ekonomi juga tak terlalu terpuruk di tengah hantaman pandemi (minus 2,07 persen yoy) dan tahun ini diperkirakan bakal tumbuh positif antara 4,8 persen hingga 5,8 persen yoy.
Kondisi Covid-19 yang membelenggu Indonesia lebih dari satu setengah tahun membuat energi pemerintahan masih terserap besar dalam kerja-kerja penanganan pandemi.
Keharusan menyeimbangkan “gas dan rem” untuk memprioritas dua hal utama antara kesehatan dan ekonomi membuktikan bahwa apa yang tengah diupayakan pemerintah memiliki sisi dilematis yang tak terhindarkan.
Penerimaan publik yang penuh dengan pro kontra menyikapi berbagai kebijakan penanganan pandemi Covid-19 tentu banyak membentuk persepsi terhadap penilaian kinerja pemerintahan selama enam bulan terakhir.
Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang harus diambil menyusul terjadinya gelombang kedua penyebaran Covid-19 pada awal Juli 2021 lalu memang menjadi keputusan besar yang diambil pemerintah.
Sejak saat itu, evaluasi dan upaya penanggulangan yang strategis terus dioptimalkan terutama di wilayah zona merah Covid-19, termasuk yang berada di luar Jawa dan Bali.
Beriringan pula program vaksinasi maupun tracing kasus positif Covid-19 terus digencarkan dan merata ke semua wilayah tak luput menjadi prioritas pemerintah. Kini, kerja keras penanganan itu pun perlahan menunjukkan hasil yang memuaskan.
Jumlah kasus positif dan kematian akibat Covid-19 di sejumlah wilayah telah menurun drastis. Badai krisis fasilitas kesehatan dan tempat untuk isolasi pasien Covid-19 pun tak lagi terdengar. Seturut dengan itu, roda perekonomian masyarakat pun kembali berputar bersamaan dengan penurunan zona level PPKM di banyak daerah.
Penilaian dinamis
Di bidang politik dan keamanan, apresiasi terhadap kinerja pemerintah menurun cukup signifikan menjadi 70,8 persen dari sebelumnya yang melampaui tak kurang dari 77 persen.
Lanskap panggung politik nasional yang akhir-akhir ini kian berdenyut dengan masifnya manuver para elit di tingkat menteri ataupun elit partai menuju panggung 2024, pada satu sisi memang berpotensi mengusik soliditas dan fokus kerja sebagai bagian dari kabinet pemerintahan.
Bidang politik merupakan salah satu andalan pemerintahan Jokowi sejak periode I, bersama dengan bidang Kesejahteraan Sosial. Stabilitas politik yang dicerminkan dengan dirangkulnya lawan politik untuk masuk ke dalam kabinet, terbukti membawa stabilitas pemerintahan terutama dalam isu-isu yang sensitif di masyarakat seperti SARA.
Sebelumnya, isu tersebut sempat menjadi “bahan bakar” sebagian kalangan dalam pertarungan politik jelang pemilu 2014 yang berlanjut ke pemilu 2019.
Sayangnya, lima sub-indikator yang membentuk konstruk bidang politik menunjukkan penurunan. Yang terdalam adalah aspek “membuka kesempatan bagi masyarakat mengawasi dan mengontrol jalannya pemerintahan”.
Sedangkan aspek yang masih cukup tinggi terekam adalah sub-indikator “membangun sikap menghargai perbedaan”, yang dalam survei ini masih diapresiasi oleh 74 persen responden.
Hampir senada dengan bidang politik, dalam bidang hukum capaian angka kepuasan pun merosot menjadi 60,6 persen dari 65,6 persen April 2021 lalu.
Persoalan laten dalam bidang hukum seperti suap dan jual beli kasus maupun isu terkini seperti pemberantasan korupsi dinilai publik belum membaik. Sejumlah persoalan seputar penegakan hukum yang berkeadilan masih sangat disoroti masyarakat dalam beberapa bulan ini.
Isu lain yang juga terus bergulir terkait dengan polemik yang membelenggu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Andil besar kepala negara yang begitu ditunggu dalam menengahi kekisruhan internal lembaga anti rasuah itu pun tampaknya tak memenuhi harapan publik.
Di sisi lain, KPK membuktikan dirinya tetap bekerja efektif dengan melakukan sejumlah OTT, yang terbaru OTT Dodi Reza Bupati Musi Banyuasin, Sabtu 15/10 lalu.
Bagaimanapun ukuran masyarakat dalam menilai kerja pemerintahan akan terbangun dalam kerangka dimensi yang kompleks dan membuatnya sangat dinamis. Terlebih untuk ukuran penilaian yang berkaitan dengan realitas politik maupun hukum yang terus berputar dalam pusaran penuh gejolak.
Baca juga : Pasca-OTT Bupati Musi Banyuasin, Hidupkan Kembali Larangan Dinasti Politik di Pilkada
Terpilah pemihakan
Sejauh ini, latar pendidikan secara linier masih mencerminkan kekritisan publik dalam mengukur kerja pemerintah. Ditinjau dari jenjang pendidikan, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah paling tinggi berasal dari kelompok responden berpendidikan rendah (69,2 persen), sementara responden yang berpendidikan tinggi cenderung lebih banyak tidak puas (44,5 persen).
Selain itu, nuansa fanatisme politik masih begitu kental memengaruhi tolak ukur dan objektivitas publik akan hal itu. Tak banyak berubah dari survei sebelumnya, mayoritas responden (85,4 persen) yang mengaku bagian dari simpatisan Joko Widodo menyatakan kepuasannya terhadap unjuk kerja pemerintah.
Sementara apresiasi dari kelompok non simpatisan Jokowi menunjukkan capaian yang kian terdegradasi, angkanya berada di bawah 40 persen.
Segenap penghargaan yang konsisten diperoleh maupun hasil sebaliknya dari penilaian publik adalah bagian dari dinamika respons publik yang perlu disikapi secara bijak sebagai bagian dari pembenahan pemerintahan, terutama di tiga tahun sisa masa periode.
Tentu, publik berharap tiga tahun ke depan pemerintah mampu menumbuhkan optimisme bersama untuk melewati semua dampak badai pandemi ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kinerja Bidang Hukum Dinilai Melemah