Penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan diharapkan dapat mendongkrak penerimaan pajak. Dengan begitu, defisit anggaran tahun 2022 bisa ditekan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah optimistis instrumen dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mampu meningkatkan penerimaan pajak. Jika keyakinan ini terwujud, defisit anggaran tahun 2022 diproyeksikan bisa lebih rendah dari asumsi pada Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam UU APBN tahun anggaran 2022, Kementerian Keuangan memproyeksikan pendapatan negara mencapai Rp 1.846,1 triliun. Ini terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.510 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp 335,6 triliun.
Adapun belanja negara diperkirakan sebesar Rp 2.714,2 triliun. Termasuk di dalamnya belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.944,5 triliun serta transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp 769,6 triliun.
Dengan begitu, pemerintah memperkirakan defisit anggaran dalam UU APBN 2022 sebesar Rp 868 triliun atau 4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Pemerintah mencanangkan tahun depan sebagai tahun terakhir defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB. Defisit anggaran pada 2023 ditargetkan akan berada pada rentang 2,71-2,97 persen dari PDB.
Defisit anggaran pada 2023 ditargetkan akan berada pada rentang 2,71-2,97 persen dari PDB.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu meyakini, kehadiran UU HPP akan memangkas defisit sehingga lebih rendah dari asumsi dalam UU APBN tahun anggaran 2022.
”UU HPP akan mendekatkan kinerja perpajakan ke level potensial dengan adanya perbaikan administrasi dan kebijakan,” ujar Febrio, Rabu (20/10/2021).
Sebelumnya, dalam webinar bincang APBN 2022 awal pekan ini, Febrio menjelaskan bahwa instrumen-instrumen dalam UU HPP menutup berbagai celah penerimaan pajak untuk mengadaptasi perkembangan aktivitas ekonomi terkini. Dengan demikian, ia memperkirakan UU HPP akan berdampak positif bagi penerimaan perpajakan tahun 2022.
UU HPP memuat enam kelompok materi utama yang terdiri dari 9 bab dan 19 pasal. Undang-undang itu akan menjadi omnibus atau mengubah ketentuan perpajakan di sejumlah aturan, seperti UU Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Di antara sejumlah instrumen, UU HPP mengatur Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Pajak dan peningkatan tarif PPN mencapai 11 persen.
UU HPP juga mengatur perubahan pada lapisan penghasilan orang pribadi yang dikenai tarif PPh terendah 5 persen dinaikkan menjadi Rp 60 juta dari sebelumnya Rp 50 juta. Adapun penghasilan kena pajak yang di atas Rp 5 miliar tarifnya dinaikkan dari 30 persen menjadi 35 persen.
”Selain menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat, pembaruan aturan ini membuat penerimaan perpajakan tahun depan diperkirakan akan cukup tinggi, dengan rasio perpajakan diperkirakan naik ke 9 persen dari PDB pada 2022,” ujar Febrio.
Febrio memperkirakan implementasi UU HPP akan menambah pendapatan negara pada tahun depan Rp 139,3 triliun. Dengan demikian, realisasi penerimaan perpajakan 2022 berpotensi mencapai Rp 1.649,3 triliun dari target yang disepakati dengan DPR dalam APBN 2022 sebesar Rp 1.510 triliun.
Lebih lanjut, Febrio memproyeksikan sumbangan UU HPP terhadap tambahan penerimaan akan mencapai Rp 353,3 triliun pada 2025. Dengan demikian, penerimaan perpajakan akan mencapai Rp 2.323,1 triliun pada tahun tersebut. Rasio penerimaan perpajakan pada 2025 akan mencapai 10,12 persen PDB.
Febrio menyebut rasio perpajakan bisa lebih cepat mencapai 10 persen pada 2024 jika reformasi administrasi perpajakan melalui coretax system bisa dipercepat. Sistem administrasi baru ini diperkirakan akan selesai pada 2023 atau sebelum periode kepresidenan Joko Widodo berakhir.
Di sisi lain, ekonom senior dan juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri berharap pemerintah tidak terlalu buru-buru memangkas defisit anggaran kala pandemi Covid-19 belum tuntas. Ia khawatir berbagai kebijakan pemerintah untuk mengejar target defisit anggaran justru akan memberatkan masyarakat.
”Pemerintah memang punya target untuk mencapai defisit anggaran 3 persen, tetapi saya kira kita juga mesti fleksibel. Jangan pengetatan fiskal dilakukan terlalu dini saat penanganan pandemi masih membutuhkan anggaran,” ujarnya.
Pemerintah, kata Chatib, perlu belajar dari kejadian 1998. Saat itu Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan Pemerintah Indonesia agar mulai memperketat fiskal, padahal krisis masih melanda segenap masyarakat. Pengetatan fiskal kala itu malah membuat pemulihan pascakrisis menjadi lebih lama dan membutuhkan uang lebih banyak.
Pemerintah perlu belajar dari kejadian 1998. Saat itu, Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan Pemerintah Indonesia mulai memperketat fiskal, padahal krisis masih melanda segenap masyarakat.
Sama dengan yang kini terjadi, pemerintah berhadapan dengan target batas defisit harus kembali ke bawah 3 persen dari PDB pada 2023. Bila batas tersebut kembali dilonggarkan selama 2-3 tahun ke depan, Chatib menilai semua pihak dapat memaklumi.
Ia mengamati perkembangan banyak negara dalam situasi saat ini. Chatib tidak menemukan negara yang mengurangi stimulus secara signifikan ataupun menarik pajak lebih tinggi kepada rakyatnya.
”Intinya adalah kalau memang itu masih bisa dibutuhkan, dilakukan saja, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang dilakukan di tahun 1998 ketika IMF menganjurkan kita untuk melakukan pengetatan,” ujar Chatib.