Payung Hukum Reformasi Perpajakan Disahkan, Simak Lima Poin Penting Ini!
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan diharapkan bisa memberikan sistem tata kelola perpajakan yang efisien, transparan, dan berdaya guna.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang berlangsung pada Kamis (7/10/2021) menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan untuk disahkan menjadi undang-undang.
Sedikitnya terdapat lima poin penting yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yakni terkait dengan materi Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan PPh Badan, peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ketentuan umum dan tata cara perpajakan, program pengungkapan sukarela, serta penerapan pajak karbon.
Terkait PPh, UU HPP meningkatkan batas penghasilan terendah yang dikenai tarif PPh orang pribadi 5 persen dari sebelumnya Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta. Selain itu, undang-undang yang baru juga menambah lapisan tarif PPh orang pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.
Adapun untuk PPh badan, pemerintah menetapkan tarif pajak korporasi pada 2022 tetap sebesar 22 persen. Dalam rapat paripurna, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, penetapan tersebut sejalan dengan tren kebijakan perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh.
”Besaran tarif PPh badan 22 persen di tahun depan dipastikan tetap dapat menjaga iklim investasi untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya,” ujarnya.
Pajak Pertambahan Nilai
Terkait PPN, pemerintah akhirnya tetap memberikan fasilitas pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial.
Adapun untuk barang dan jasa yang terkena PPN 10 persen saat ini, tarifnya akan dinaikkan secara bertahap menjadi 11 persen mulai pada 1 April 2022, lalu menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Yustinus Prastowo mengatakan, tujuan dari kebijakan PPN adalah optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan.
”Pengecualian dan fasilitas pembebasan PPN diberikan agar lebih mencerminkan keadilan secara tepat sasaran,” ujarnya.
Ketentuan umum tata cara perpajakan
UU HPP juga mengatur pengintegrasian antara nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi. Yustinus mengatakan, terintegrasinya penggunaan NIK akan mempermudah administrasi wajib pajak Indonesia, khususnya wajib pajak orang pribadi.
”Program ini akan mempermudah aktivitas pendataan masyarakat sebagai wajib pajak,” ujarnya.
Adapun terkait asistensi pajak global, penagihan antarnegara dilakukan melalui kerja sama secara resiprokal. Hal ini dilakukan sebagai wujud peran aktif Indonesia dalam kerja sama internasional.
Program pengungkapan sukarela pajak
Yasonna mengatakan, UU HPP juga mengatur program pengungkapan sukarela pajak yang bertujuan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatannya untuk negara.
”Kesempatan diberikan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak,” ujarnya.
Wajib pajak juga bisa mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhinya melalui pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh orang pribadi.
Program pengampunan pajak dilaksanakan selama enam bulan, yakni mulai 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.
Pajak karbon
Pengenaan pajak karbon mulai berlaku pada 2022 sesuai dengan ketentuan dalam UU HPP yang telah disahkan. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap. Sebagai langkah awal, pemerintah akan menerapkan pajak tersebut kepada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
”Penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dan diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari peta jalan ekonomi hijau untuk meminimalkan dampaknya terhadap dunia usaha,” katanya.
Penerapan pajak karbon akan menggunakan mekanisme yang didasarkan pada batas emisi. Tarif pajak Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas yang ditetapkan.
”Pengenaan pajak karbon merupakan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, serta investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan,” ujarnya.