Lowongan Bertambah, Sebagian Kelompok Masih Sulit Akses Pekerjaan
Pelonggaran kegiatan masyarakat dinilai mendorong roda ekonomi sekaligus permintaan di pasar kerja. Suplai dan permintaan kerja makin seimbang. Namun, ada tantangan mendorong suplai lapangan kerja formal lebih cepat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan jumlah penawaran dan permintaan di pasar tenaga kerja mulai menyempit seiring membaiknya perekonomian. Namun, di tengah komposisi pasar tenaga kerja yang mulai seimbang itu, pekerjaan masih sulit dicari, khususnya di kalangan angkatan kerja muda yang berpendidikan tinggi.
Data Pusat Pasar Kerja Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan terjadi kenaikan yang cukup signifikan terkait sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar tenaga kerja. Per 17 Oktober 2021, tercatat ada 40.078 lowongan kerja, meningkat dalam dua bulan terakhir dibandingkan kondisi per 1 Agustus 2021 yang tercatat 28.197 lowongan kerja.
Perusahaan yang membuka lowongan kerja juga bertambah, yakni dari 8.663 perusahaan pada Agustus 2021 menjadi 11.698 perusahaan per 1 Oktober 2021.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Selasa (19/10/2021), mengatakan, jumlah pencari kerja juga bertambah, mengimbangi penambahan lowongan kerja dalam dua bulan terakhir. Per 17 Oktober 2021, tercatat ada 777.347 orang yang mencari kerja, naik hampir 439.557 orang dibandingkan kondisi pada Agustus 2021.
Perbandingan saat ini, satu lowongan kerja diperebutkan oleh 19 pencari kerja. ”Tren rasionya mulai membaik dibandingkan data pada Agustus 2021 (masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat/PPKM) di mana satu lowongan kerja diperebutkan 21 pencari kerja,” kata Anwar saat dihubungi.
Adapun dari hasil pemantauan di situs pencari kerja swasta Jobstreet, pekerjaan yang paling banyak diminati ada di sektor digital. Sementara itu, berdasarkan data Karir Hub Kemenaker, sektor yang paling banyak diminati ada di industri manufaktur (pengolahan).
Sebagai perbandingan, pada awal pandemi Covid-19, lowongan pekerjaan sempat turun drastis, membuat komposisi lowongan dan pencari kerja sangat timpang.
Analisis mahadata ketenagakerjaan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah lowongan pekerjaan di 10 sektor turun dari 11.444 lowongan pada Januari 2020 (prapandemi) menjadi 10.064 lowongan (Februari 2020), 10.437 lowongan (Maret 2020), dan anjlok menjadi 5.884 lowongan pada April 2020 (pascapandemi). Sementara jumlah angkatan kerja terus bertambah hingga 2,36 juta orang pada Agustus 2020.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, seiring dengan kondisi pasar dan dunia usaha yang membaik, pengusaha secara bertahap memang mulai bersiap merekrut pekerja baru, termasuk di sektor pariwisata yang paling terpuruk selama pandemi.
”Karena sudah membaik, pengusaha pasti akan butuh orang lagi dan akan mulai merekrut lagi. Tetapi, ini semua tergantung apakah pandemi bisa melandai terus atau tidak. Kami juga masih waswas memantau perkembangan kasus harian,” kata Hariyadi.
Sulit terserap
Oleh karena ketidakpastian itu, meskipun pengusaha mulai merekrut dan jumlah lowongan kerja kembali naik, penyerapan tenaga kerja disebutnya tidak akan kembali 100 persen seperti kondisi semula sebelum pandemi.
”Pengusaha memilih lebih efisien. Selama pandemi, kita dipaksa multitasking dan diajar untuk efisien. Kalau satu orang bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, kenapa tidak?” katanya.
Penelitian oleh SMERU Institute dengan menganalisis data Survei Angkatan Kerja Nasional pada Februari 2021 dan Februari 2020 juga menunjukkan, masyarakat masih sulit mendapat pekerjaan selama pandemi, khususnya mereka yang berusia muda (15-29 tahun) dan memiliki jenjang pendidikan tinggi setingkat diploma dan sarjana.
Sebelum pandemi, ada 53,1 persen lulusan baru yang berhasil mendapatkan pekerjaan. Selama pandemi, jumlahnya menurun menjadi 44,5 persen.
Pekerja dengan jenjang pendidikan lebih tinggi (diploma IV, sarjana, pascasarjana, doktoral) perlu waktu lebih lama untuk mendapat kerja. Sebelum pandemi, dibutuhkan waktu empat bulan untuk setengah dari jumlah angkatan kerja ini berhasil mendapat pekerjaan. Setelah pandemi, durasi pencarian kerja itu naik hingga tiga kali lipat.
Sementara angkatan kerja baru lulusan SMP dan sederajat justru lebih cepat mendapat pekerjaan selama pandemi. Sebelum pandemi, dibutuhkan enam bulan untuk setengah dari angkatan kerja ini mendapat pekerjaan. Setelah pandemi, hanya diperlukan tiga bulan untuk berhasil mendapat pekerjaan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, tantangan saat ini adalah menyeimbangkan pertumbuhan ketersediaan lapangan kerja dengan laju penambahan angkatan kerja. ”Agar seimbang, penciptaan lapangan kerja formal harus lebih cepat daripada pertumbuhan angkatan kerja,” katanya.
Ia mengatakan, lulusan SMP lebih mudah terserap di pasar tenaga kerja karena umumnya dapat terserap ke sektor informal atau lowongan kerja lain yang tidak memerlukan kapasitas lebih tinggi. Sementara angkatan kerja berpendidikan tinggi lebih selektif dalam mencari pekerjaan sesuai kapasitas dan latar keahliannya.
Sulitnya angkatan kerja berpendidikan tinggi mencari kerja menunjukkan masih ada masalah dari sisi suplai lapangan kerja formal yang layak untuk masyarakat kelas menengah dan angkatan kerja berpendidikan tinggi.
”Wajar jika angkatan kerja berpendidikan tinggi lebih sulit mencari kerja. Apalagi, akibat pandemi ini, penambahan lowongan kerja formal lebih lambat daripada yang informal, dan itu pun sangat bergantung pada karakteristik dan daya tahan sektornya terhadap pandemi,” ujarnya.