Spirit Hilirisasi Industri dan Resiliensi di Tengah Pandemi
Bertahun-tahun Indonesia keliru dan tak berdaya meski kaya raya alam dan sumber daya tambang. Hilirisasi industri yang kuat sekarang ini di antaranya membangun smelter agar komunitas tambang punya nilai tambah tinggi.
Bertahun-tahun Indonesia tak berdaya meski kaya raya akan alam dan sumber daya tambang dan mineralnya. Di berbagai pelosok, kekayaan alam dan sumber daya tambang dan mineral itu tak memberikan nilai tambah yang besar bagi penduduk dan pemerintah yang mengeksplorasi dan mengeksploitasinya.
Tidak heran jika penduduk di kawasan sumber daya alam, tambang dan mineral, itu tetap terpuruk dalam kemiskinan. Kekayaan alam dan sumber daya tambang dan mineralnya terus-menerus digerogoti, penduduk dan negerinya tetap jatuh dalam kemiskinan. Yang ada dan tersisa hanyalah kerusakan lingkungan di mana-mana dan ketidakadilan yang sudah dan sewaktu-waktu meledak menjadi letupan amarah dan gejolak.
Bahan mentah dieksplorasi hingga jauh masuk ke dalam lubang bumi. Digali dan diangkut langsung ke mancanegara berikut dengan sisa-sisa tanah, bebatuan, kayu, dan akar tanaman bersama bahan tambang. Harga jualnya tentu murah sekali. Namun, setelah diolah di sejumlah negara menjadi bahan baku atau bahan jadi, dijual kembali ke Indonesia menjadi komoditas yang harganya selangit.
Dan, penduduk yang pernah mengeksplorasinya tak sanggup lagi membelinya kembali. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang dua tahun ini menyergap sehingga ekonomi rakyat menjadi semakin terpuruk. Itulah yang terjadi ketika bahan tambang dalam bentuk mentah langsung dibawa dan tidak diolah terlebih dahulu oleh smelter (pemurnian) yang wajib didirikan di kawasan tambang dan daerah-daerah yang kaya raya akan alam dan sumber daya tambang dan mineral.
Kini, semangat mengejar nilai tambah ditegaskan oleh negara. Presiden Joko Widodo saat melakukan groundbreaking atau pemancangan tiang pertama pembangunan smelter PT Freeport Indonesia di Kawasan Ekonomi Khusus Gresik, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur, Selasa (12/10/2021), melarang ekspor bahan mentah tambang ke luar Indonesia.
Bahan mentah harus diolah terlebih dahulu agar dapat meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut. Hilirisasi industri harus mulai dibangun dan diperkuat. Ada asa pembangunan fasilitas pemurnian itu untuk memperkuat hilirisasi industri di negeri ini.
Secara sederhana, hilirisasi industri dapat dimaknai sebagai upaya meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan atau pemurnian material mentah menjadi barang setengah jadi atau bahkan sampai produk jadi. Semakin ke hilir atau semakin ke arah produk jadi, nilai suatu komoditas yang didapat akan berlipat dibandingkan dengan hanya dijual dalam bentuk mentah.
Mengawali sambutan, Presiden Jokowi menuturkan bahwa Indonesia memiliki cadangan tembaga sangat besar dan masuk dalam kategori tujuh negara yang memiliki cadangan tembaga terbesar di dunia. Potensi sangat besar tersebut mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebesar-besarnya, untuk kemakmuran rakyat dengan menciptakan nilai tambah yang setinggi-tingginya bagi ekonomi Indonesia.
Indonesia memiliki cadangan tembaga sangat besar dan masuk dalam kategori tujuh negara yang memiliki cadangan tembaga terbesar di dunia. Potensi sangat besar tersebut mesti dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebesar-besarnya, untuk kemakmuran rakyat dengan menciptakan nilai tambah yang setinggi-tingginya bagi ekonomi Indonesia.
Hal yang harus dihindari adalah jangan sampai Indonesia memiliki tambang dan konsentrat, tetapi smelter atau hilirisasi industrinya berada di negara lain. Sebab, apabila industri pengolahan dan pemurnian berada di negara lain, berarti nilai tambah tidak dinikmati Indonesia. Lalu apa yang akan didapat Indonesia setelah nantinya smelter tersebut berdiri di Gresik?
Baca juga: Smelter Freeport di KEK Gresik Ciptakan Nilai Tambah Produk Tambang
Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, fasilitas pemurnian PT Freeport Indonesia di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) Gresik tersebut akan terdiri dari pemurnian tembaga baru yang merupakan ekspansi PT Smelting dan precious metal refinery (pemurnian logam berharga).
Smelter PT Freeport Indonesia di kawasan industri JIIPE Gresik ini akan menghasilkan produk berupa katoda tembaga, emas dan perak murni batangan, platinum, paladium, selenium, bismut, dan timbal. Selain itu, terdapat pula produk samping berupa asam sulfat, terak tembaga, dan gipsum yang akan dipakai ulang sebagai bahan baku atau bahan penolong bagi industri dan investor berpotensi di kawasan industri JIIPE Gresik.
Seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberikan laporan, smelter di Gresik tersebut merupakan single line terbesar di dunia. Fasilitas pemurnian tembaga untuk menghasilkan katoda tembaga itu akan mengolah 1,7 juta ton konsentrat dengan produksi 600.000 ton tembaga.
Baca juga: Anak Muda Menjaga Kilau Kreasi Tembaga Cepogo Tetap Mendunia
Sebagai gambaran, nilai tembaga saat ini sedang mengalami supersiklus, yakni 9.400 dollar AS per ton. Jadi, dengan nilai investasi Rp 42 triliun atau 3,5 miliar dollar AS, pendapatan dari tembaga saja akan mencapai 5,4 miliar dollar AS. Sebuah nominal yang besar.
Fasilitas pemurnian logam berharga juga akan menghasilkan emas, perak, dan logam berharga lainnya. Nantinya dari fasilitas dengan nilai investasi sebesar 200 juta dollar AS tersebut dapat dihasilkan rata-rata produksi 35 ton emas per tahun. Airlangga bahkan menuturkan, kisaran produksi emas bisa 35-54 ton dan pabrik pun sudah disiapkan ke situ.
Fasilitas pemurnian logam berharga juga akan menghasilkan emas, perak, dan logam berharga lainnya. Nantinya dari fasilitas dengan nilai investasi sebesar 200 juta dollar AS tersebut dapat dihasilkan rata-rata produksi 35 ton emas per tahun. Airlangga bahkan menuturkan, kisaran produksi emas bisa 35-54 ton dan pabrik pun sudah disiapkan.
”Nah, harga emas sekarang 1.700 (dollar AS) per troy ounce. Jadi, kalau produksinya 35 ton, itu nilainya 1,8 billion dollar AS. Kalau produksinya 50 (ton), itu sampai 2,7 billion dollar AS. Jadi, bayangkan, selama 40 tahun, yang 2 billion (dollar AS) itu, rata-rata, dinikmati negara lain; apakah 70 persen ke Spanyol maupun ke Jepang. Jadi, hari ini menjadi bersejarah karena ini seluruhnya nanti akan diproduksi di Gresik,” kata Airlangga.
Baca juga: Presiden Resmikan Pembangunan Pabrik Baterai Kendaraan Listrik Pertama di Asia Tenggara
Sebelumnya, kalkulasi terkait nilai tambah pun disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada acara groundbreaking atau pemasangan tiang pancang pertama Pabrik Industri Kendaraan Listrik, di Karawang, Jawa Barat, Rabu (15/9/2021). Pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia, bahkan pertama di Asia Tenggara, dengan nilai investasi 1,1 miliar dollar AS itu disebutnya merupakan wujud keseriusan pemerintah melakukan hilirisasi industri.
Strategi besar
Era kejayaan komoditas bahan mentah sudah berakhir. Indonesia mesti berani mengubah struktur ekonomi yang selama ini berbasis komoditas untuk masuk ke hilirisasi dan industrialisasi. Hal ini dinilai akan menjadikan Indonesia negara industri kuat dengan berbasis pada pengembangan inovasi teknologi.
Strategi bisnis besar negara adalah keluar secepatnya dari jebakan negara pengekspor bahan mentah. Melepaskan kebergantungan pada produk-produk impor dengan mempercepat revitalisasi industri pengolahan sehingga bisa memberikan peningkatan nilai tambah ekonomi yang semakin tinggi menjadi pilihan.
Presiden Jokowi menuturkan, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Dengan potensi yang luar biasa tersebut diyakini dalam 3-4 tahun ke depan, melalui manajemen yang baik, Indonesia akan bisa menjadi produsen utama produk-produk barang jadi berbasis nikel seperti baterai litium, baterai listrik, dan baterai kendaraan listrik.
Dengan potensi yang luar biasa tersebut diyakini dalam 3-4 tahun ke depan, melalui manajemen yang baik, Indonesia akan bisa menjadi produsen utama produk-produk barang jadi berbasis nikel seperti baterai litium, baterai listrik, dan baterai kendaraan listrik.
Hilirisasi industri nikel akan meningkatkan nilai tambah bijih nikel secara signifikan. ”Jika diolah menjadi cell baterai, nilainya bisa meningkat 6-7 kali lipat. Dan, jika menjadi mobil listrik akan meningkat lebih besar lagi nilai tambahnya, yaitu 11 kali lipat,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Seperti dirilis Kemenperin pada pertengahan September 2021, Indonesia telah mampu menggeser ekonominya menjadi berbasis manufaktur. Nilai tambah manufaktur (manufacturing value added/MVA) Indonesia mencapai 281 miliar dollar AS, unggul dibandingkan dengan MVA negara lain di ASEAN seperti Thailand 1,23 miliar dollar AS, Malaysia 81,19 juta dollar AS, dan Vietnam 41,7 juta dollar AS.
Baca juga: Hilirisasi Mineral Perlu Dukungan Industri Manufaktur
Ketersediaan bahan baku yang melimpah dinilai merupakan keuntungan komparatif bagi industri di Indonesia. Tidak semua pelaku industri di negara lain memiliki keunggulan seperti ini. Dukungan kemudahan iklim berusaha pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diharapkan dapat mewujudkan industri bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta, ketika dihubungi, Jumat (15/10/2021), menuturkan, hilirisasi industri merupakan bagian dari peningkatan produktivitas dan daya saing ekonomi Indonesia. Transformasi perekonomian Indonesia terus berjalan saat ini sehingga kemudian ekonomi Indonesia bukan lagi hanya berbasis bahan baku, melainkan juga berbasis nilai tambah yang lebih tinggi.
”Kemudian hilirisasi dari industri menjadi penting. Pertama, industri yang berbasis pada sumber daya alam. Bukan hanya mineral, melainkan juga batubara. Arahan Presiden juga batubara harus dihilirisasi agar kemudian, misalnya, bisa dibikin menjadi gas, dan lalu bisa menjadi bahan pengembangan industri dasar lain seperti petrokimia,” kata Arif.
Baca juga: Dunia Tinggalkan Batubara, Indonesia Pacu Hilirisasi
Dalam kerangka ini juga adalah industri yang berbasis pada pertanian. Komoditas sawit, misalnya, diarahkan untuk diproses agar menghasilkan nilai tambah yang tinggi sehingga bukan hanya untuk minyak goreng dan crude palm oil/CPO (minyak sawit mentah), melainkan mengarah pada olefin ataupun bahan bakar.
Industri berbasis pada pertanian. Komoditas sawit, misalnya, diarahkan untuk diproses agar menghasilkan nilai tambah yang tinggi sehingga bukan hanya untuk minyak goreng dan crude palm oil/CPO (minyak sawit mentah), melainkan mengarah pada olefin maupun bahan bakar.
Sebagai gambaran, Kemenperin menjadikan industri oleokimia sebagai salah satu prioritas nasional sejak tahun 2010 dan konsisten memberikan dukungan agar sektor ini tumbuh mantap dan berkelanjutan. Industri oleokimia berbasis pengolahan minyak sawit pun menghasilkan produk yang diminati konsumen global di masa pandemi, di antaranya produk oleokimia sabun dan glycerine atau bahan baku hand sanitizer (penyanitasi tangan).
Keunggulan pengolahan minyak sawit di Indonesia ditunjukkan dari pergeseran rasio volume ekspor produk hilir dengan bahan baku atau minyak sawit mentah yang saat ini mencapai 85 : 15. Artinya, ekspor produk hilir lebih mendominasi dibandingkan dengan ekspor bahan baku. Sekitar 160 jenis produk hilir telah dapat diproduksi di dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel fatty acid methyl ester (FAME).
”(Hilirisasi industri) itu bagian yang secara konsisten terus dilakukan dan koridornya sudah disiapkan. Satu, kebijakan yang tertuang dalam UU Cipta Kerja karena di situ juga mengemban amanat tentang proses hilirisasi di bidang industri agar kemudian share industri terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia dapat meningkat kembali menjadi di atas 20 persen pada masa yang akan datang,” kata Arif.
Sebagai perbandingan, sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan II-2021 berkontribusi 17,34 persen terhadap PDB nasional. Selain kebijakan, Arif melanjutkan, pada level operasional pun dikembangkan kawasan-kawasan ekonomi khusus yang sebagian besar diisi oleh industri bernilai tambah tinggi.
Baca juga: Indeks Manufaktur Indonesia Ekspansif, Ditopang Permintaan yang Tumbuh
Kemenperin mencatat Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia dalam delapan bulan terakhir sejak November 2020 berada di level 50 atau berada dalam fase ekspansif. Pada Juni 2021 PMI Manufaktur Indonesia berada pada angka 53,5 yang menunjukkan tetap terjaganya optimisme sektor industri di Tanah Air.
Minimalisasi kerugian negara
Di balik tekad pemerintah memperkuat hilirasi industri, tentu yang harus diutamakan juga adalah pengelolaan bisnis pertambangan. Selama ini, pengelolaan pertambangan di Indonesia masih buruk sehingga dinilai masih merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional. Untuk itu, perbaikan tata kelola industri tambang menjadi syarat mutlak sejalan dengan gencarnya upaya pemerintah mengembangkan hilirisasi industri tambang.
Global Financial Integrity (GFI), lembaga think tank yang fokus pada persoalan aliran dana tak wajar (illicit financial flows), korupsi, dan pencucian uang, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak dirugikan oleh praktik aliran dana tak wajar yang umum terjadi di sektor pertambangan. (Kompas.id, 13 Oktober 2021)
Pada periode 2008-2017, nilai rata-rata aliran dana mencurigakan di sektor pertambangan mencapai 43 miliar dollar AS, yang berarti Indonesia berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp 610,09 triliun dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.
Salah satu contohnya, pelanggaran ekspor bijih nikel meski pemerintah sudah melarang ekspor bijih nikel sejak 2014. Pada 2016, General Administrations of Customs of China (GACC) mencatat ekspor bijih nikel dari Indonesia senilai 4 juta dollar AS. Data itu tak tercatat Badan Pusat Statistik (BPS). Kebocoran ekspor ini diperkirakan merugikan negara Rp 2,8 miliar.
Kasus serupa terjadi pada 2020. BPS tidak mencatat adanya ekspor bijih nikel (kode HS 2604), tetapi GACC lagi-lagi mencatat, ada impor 3,4 juta ton bijih nikel dari Indonesia senilai 193,6 juta dollar AS atau setara Rp 2,8 triliun pada 2020. Secara umum, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mencatat temuan kesalahan atau kekurangan perhitungan dari pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor pertambangan pada periode 2015-2020.
Pada 2018, misalnya, terjadi kesalahan perhitungan royalti dan dana hasil produksi batubara (DHPB) yang tercatat Rp 181,32 miliar atau 669.000 dollar AS. Kasus serupa juga muncul tahun 2019 ketika ada 21 perusahaan tambang yang kurang cermat menghitung iuran PNBP sehingga penerimaan negara berkurang sebesar Rp 328,13 miliar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, sektor pertambangan sebenarnya menyimpan potensi penerimaan negara yang sangat besar. Terutama di tengah ledakan harga komoditas tambang akhir-akhir ini dan upaya pemerintah menggenjot hilirisasi industri tambang, khususnya nikel. Namun, masih ada banyak sumber penerimaan negara, baik pajak maupun nonpajak, yang tidak dimanfaatkan secara optimal akibat tata kelola bisnis pertambangan yang buruk.
”Padahal, kita tahu dalam konteks pandemi ini penerimaan negara menjadi krusial untuk menambal defisit APBN. Ini harus dimitigasi agar sektor penerimaan negara dapat ditingkatkan,” kata Faisal saat diskusi ”Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan”, pekan lalu.
Sektor pertambangan sebenarnya menyimpan potensi penerimaan negara yang sangat besar. Terutama di tengah ledakan harga komoditas tambang akhir-akhir ini dan upaya pemerintah menggenjot hilirisasi industri tambang, khususnya nikel.
Ia menambahkan, selain kebocoran ekspor di sektor nikel, ada pula problem tata niaga berupa perbedaan pengukuran kadar bijih nikel antara petambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir. Surveyor pengusaha smelter kerap menetapkan kadar yang lebih rendah dibandingkan dengan di hulu.
Baca juga: Hilirisasi Tambang Harus Diiringi Perbaikan Tata Kelola Industri
Kasus di Morowali, Sulawesi Tengah, tahun 2020, misalnya, pengusaha hulu menetapkan kadar nikel 1,87 persen, tetapi pengusaha smelter menetapkan 1,5 persen. ”Ini merugikan pengusaha di hulu dan mengurangi penerimaan negara, karena penentuan kadar bijih nikel yang lebih rendah bisa mengurangi penerimaan royalti dan pos penerimaan lainnya dari sektor ini,” kata Faisal.
CORE memperkirakan, perbedaan penentuan kadar bijih nikel antara hulu dan hilir di Morowali pada 2020 itu berpotensi merugikan negara Rp 400 miliar per tahun atau setara dengan 10 persen dari APBD Sulawesi Tengah. ”Itu baru potensi kerugian dari royalti, belum dari pos penerimaan lain, dan belum juga dari tempat lain di luar Morowali,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey. Karut-marutnya penetapan kadar persentase bijih nikel itu memang merugikan petambang di hulu. Ia memperkirakan, kerugian yang dirasakan petambang hingga 300 juta dollar AS atau setara Rp 4,26 triliun. Hal itu karena harus membayar penalti jika terjadi selisih penetapan kadar.
Sementara ekonom senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, memperkirakan, Indonesia telah mengalami kerugian sekitar Rp 200 triliun dalam lima tahun terakhir dari sektor pertambangan. Kerugian itu akibat banyaknya insiden kebocoran ekspor. ”Seharusnya kita tidak perlu utang kalau pandai mengelola ini,” katanya.
Menurut dia, hilirisasi tambang yang gencar dikampanyekan pemerintah saat ini lebih banyak menguntungkan industrialisasi di negara lain, khususnya China. Hilirisasi tambang justru tidak diiringi dengan industrialisasi di dalam negeri yang bisa memperkuat struktur industri nasional dari hulu ke hilir.
Ia mencontohkan, 100 persen ekspor ferro-nickel dan nickel pig iron (produk olahan nikel di sektor antara) Indonesia pada 2020 adalah ke China. ”Bukannya kita pakai untuk mendukung dan memperkokoh struktur industri kita, melainkan malah kita kirim untuk mendukung industrialisasi di China,” katanya.
Hal itu, diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengizinkan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dari China, tidak hanya untuk tenaga ahli, tetapi juga untuk pekerja kasar, seperti petugas keamanan, pengemudi, koki, pekerja bongkar-muat, dan manajer gudang.
Tentu, pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya tak pelak telah menguji resiliensi sektor industri di negeri ini. Di titik ini, hilirisasi industri yang kini semangatnya terus digelorakan menjadi bagian dari upaya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi serta pengelolaan pertambangan yang harus dapat meminimalisasi kerugian negara agar Indonesia dapat selamat melintasi cekaman pandemi. Kita memang pernah keliru dalam pengelolaan pertambangan, tetapi kesalahan yang sama jangan sampai terulang kembali.