Hilirisasi Tambang Harus Diiringi Perbaikan Tata Kelola Industri
Perbaikan tata kelola industri tambang harus dilakukan untuk mengembangkan hilirisasi. Buruknya tata kelola usaha pertambangan selama ini dinilai telah merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buruknya tata kelola bisnis pertambangan selama ini dinilai telah merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional. Perbaikan tata kelola industri tambang menjadi syarat mutlak yang harus segera dilakukan seiring gencarnya upaya pemerintah mengembangkan hilirisasi industri tambang belakangan ini.
Global Financial Integrity (GFI), lembaga think tank yang fokus pada persoalan aliran dana tak wajar (illicit financial flows), korupsi, dan pencucian uang, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling banyak dirugikan oleh praktik aliran dana tak wajar yang umum terjadi di sektor pertambangan.
Pada periode 2008-2017, nilai rata-rata aliran dana mencurigakan di sektor pertambangan mencapai 43 miliar dollar AS, yang berarti Indonesia berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp 610,09 triliun dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.
Salah satu contohnya adalah pelanggaran ekspor bijih nikel meski pemerintah sudah melarang ekspor bijih nikel sejak 2014. Pada 2016, General Administrations of Customs of China (GACC) mencatat ekspor bijih nikel dari Indonesia senilai 4 juta dollar AS. Data itu tidak tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebocoran ekspor ini diperkirakan merugikan negara Rp 2,8 miliar.
Kasus serupa juga terjadi pada 2020. BPS tidak mencatat adanya ekspor bijih nikel (kode HS 2604), tetapi GACC lagi-lagi mencatat, ada impor 3,4 juta ton bijih nikel dari Indonesia senilai 193,6 juta dollar AS atau setara Rp 2,8 triliun pada 2020.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Selasa (12/10/2021), mengatakan, sektor pertambangan sebenarnya menyimpan potensi penerimaan negara yang sangat besar. Terutama di tengah ledakan harga komoditas tambang akhir-akhir ini dan upaya pemerintah menggenjot hilirisasi industri tambang, khususnya nikel.
Akan tetapi, masih ada banyak sumber penerimaan negara, baik pajak maupun nonpajak, yang tidak dimanfaatkan secara optimal akibat tata kelola bisnis pertambangan yang buruk.
”Padahal, kita tahu dalam konteks pandemi ini penerimaan negara menjadi krusial untuk menambal defisit APBN. Ini harus dimitigasi agar sektor penerimaan negara dapat ditingkatkan,” kata Faisal dalam diskusi ”Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan” yang diadakan secara daring.
Ia menambahkan, selain kebocoran ekspor di sektor nikel, ada pula problem tata niaga berupa perbedaan pengukuran kadar bijih nikel antara penambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir. Surveyor pengusaha smelter kerap menetapkan kadar yang lebih rendah dibandingkan di hulu.
Pada kasus di Morowali, Sulawesi Tengah, tahun 2020, misalnya, pengusaha hulu menetapkan kadar nikel 1,87 persen, tetapi pengusaha smelter menetapkan 1,5 persen. ”Ini merugikan pengusaha di hulu dan mengurangi penerimaan negara, karena penentuan kadar bijih nikel yang lebih rendah bisa mengurangi penerimaan royalti dan pos penerimaan lainnya dari sektor ini,” kata Faisal.
CORE memperkirakan, perbedaan penentuan kadar bijih nikel antara hulu dan hilir di Morowali pada 2020 itu berpotensi merugikan negara Rp 400 miliar per tahun atau setara dengan 10 persen dari APBD Sulawesi Tengah. ”Itu baru potensi kerugian dari royalti, belum dari pos penerimaan lain, dan belum juga dari tempat lain di luar Morowali,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey membenarkan, karut-marut penetapan kadar persentase bijih nikel itu merugikan petambang di hulu. Ia memperkirakan, kerugian yang dirasakan petambang hingga 300 juta dollar AS atau setara Rp 4,26 triliun lantaran harus membayar penalti jika terjadi selisih penetapan kadar.
”Beberapa surveyor yang melakukan jasa analisis di pelabuhan muat itu hasilnya selalu berbeda dengan hasil analisa yang dilakukan di pelabuhan bongkar. Kami meminta Kementerian Perdagangan untuk menindaklanjuti ada permainan apa yang terjadi karena di sini terjadi kerugian cukup besar,” kata Meidy.
Secara umum, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mencatat temuan kesalahan atau kekurangan perhitungan dari pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor pertambangan pada periode 2015-2020. Pada 2018, misalnya, terjadi kesalahan perhitungan royalti dan dana hasil produksi batubara (DHPB) yang tercatat Rp 181,32 miliar atau 669.000 dollar AS. Kasus serupa juga muncul tahun 2019 ketika ada 21 perusahaan tambang yang kurang cermat menghitung iuran PNBP sehingga penerimaan negara berkurang sebesar Rp 328,13 miliar.
Hilirisasi tanpa industrialisasi
Ekonom Senior dan Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, memperkirakan, Indonesia telah mengalami kerugian sekitar Rp 200 triliun dalam lima tahun terakhir dari sektor pertambangan. Kerugian itu akibat banyaknya insiden kebocoran ekspor. ”Seharusnya kita tidak perlu utang kalau pandai mengelola ini,” katanya.
Menurut dia, hilirisasi tambang yang gencar dikampanyekan pemerintah saat ini lebih banyak menguntungkan industrialisasi di negara lain, khususnya China. Hilirisasi tambang justru tidak diiringi dengan industrialisasi di dalam negeri yang bisa memperkuat struktur industri nasional dari hulu ke hilir.
Ia mencontohkan, 100 persen ekspor ferro-nickel dan nickel pig iron (produk olahan nikel di sektor antara) Indonesia pada 2020 adalah ke China. ”Bukannya kita pakai untuk mendukung dan memperkokoh struktur industri kita, melainkan malah kita kirim untuk mendukung industrialisasi di China,” katanya.
Hal itu, ujarnya, diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengizinkan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dari China, tidak hanya untuk tenaga ahli, tetapi juga untuk pekerja kasar, seperti petugas keamanan, pengemudi, koki, pekerja bongkar-muat, dan manajer gudang.