Pasar Kerja Kian Fleksibel, Peran Serikat Buruh yang Inklusif Makin Penting
Organisasi buruh yang inklusif dibutuhkan untuk memperjuangkan hak semua pekerja. Minimnya mobilisasi buruh di sektor nonmanufaktur dan informal membuat para pekerja di dalamnya rentan diperlakukan sewenang-wenang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19, perkembangan digitalisasi, dan deregulasi sektor ketenagakerjaan menjadikan pasar kerja makin fleksibel. Di tengah situasi yang tak pasti, peran organisasi serikat pekerja yang solid dan inklusif makin penting untuk menyuarakan hak dan perlindungan bagi buruh.
Ajakan agar buruh berorganisasi tidak hanya ditujukan kepada pekerja formal di sektor manufaktur sebagaimana saat ini terlembaga lewat berbagai konfederasi dan aliansi buruh, tetapi juga kelompok pekerja yang selama ini kurang mendapat representasi, seperti pekerja informal dan pekerja platform digital (ekonomi gig).
Sekretaris Jenderal International Trade Union Confederation (ITUC) Asia Pasifik Shoya Yoshida, Senin (4/10/2021), mengatakan, dinamika dunia kerja belakangan ini berubah drastis sebagai dampak dari transformasi teknologi, reformasi industri, perubahan iklim, dan pandemi Covid-19.
Pandemi menguji kondisi ketenagakerjaan di seluruh dunia. Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada Januari 2021 mencatat, pendapatan pekerja di seluruh dunia jatuh hingga 3,7 triliun dollar AS pada tahun 2020. Ironisnya, data dari OXFAM Briefing Paper pada Januari 2021 menunjukkan, kekayaan kolektif miliarder dunia meningkat hingga 3,9 triliun dollar AS dalam periode waktu Maret-Desember 2020.
Yoshida mengatakan, sebelum pandemi, jutaan pekerja di Asia Pasifik sudah hidup dalam kemiskinan dan lebih dari satu juta orang bekerja di lingkungan kerja tidak aman (upah rendah, minim perlindungan, pekerjaan tidak stabil). Pandemi memperparah krisis yang sudah ada.
Oleh karena itu, menurut dia, perlu ada pembaruan kontrak sosial yang melibatkan pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja (forum tripartit). Tanpa adanya penyesuaian terhadap kontrak sosial itu, kelompok pekerja atau buruh bisa menjadi pihak yang paling dirugikan di tengah laju perubahan.
”Ini momentum memperbarui kontrak sosial, memberikan pekerja porsi yang adil atas pertumbuhan ekonomi, dan menghargai hak/perlindungan pekerja atas balas jasa kontribusi mereka terhadap ekonomi,” katanya dalam pembukaan Trade Union Regional Conference yang diadakan Trade Union Rights Centre (TURC) dan The German Trade Union Confederation (DGB BW).
Untuk mendorong pembaruan kontrak sosial itu, diperlukan model berorganisasi yang baru. Organisasi pekerja yang solid dan inklusif dibutuhkan agar dialog sosial dengan pemerintah dan pengusaha berlangsung seimbang. ”Serikat buruh harus menjangkau pekerja yang selama ini sulit dimobilisasi dan kurang direpresentasikan, seperti pekerja informal, pekerja platform digital, serta pekerja perempuan, pekerja muda, dan pekerja migran,” ujar Yoshida.
Beberapa aspek yang menurut dia perlu diperjuangkan adalah penciptaan pekerjaan layak dan berkelanjutan, pemenuhan hak pekerja, perlindungan sosial (jaminan sosial ketenagakerjaan) bagi pekerja, kesetaraan, serta inklusivitas.
Bias sektoral
Direktur TURC Andriko Otang mengatakan, tren demografi ketenagakerjaan belakangan ini makin mengarah pada sektor informal. Digitalisasi yang pesat dan kemunculan platform digital juga memunculkan sistem kerja baru ekonomi gig yang berkedok kemitraan. Perlu peran aktif serikat pekerja untuk mengorganisasi pekerja-pekerja ini dan memperjuangkan hak mereka.
Sejauh ini, organisasi pekerja di Indonesia masih bias terhadap sektor industri manufaktur sehingga pekerja di sektor lain seperti jasa dan industri digital belum banyak yang berserikat. Meskipun ada sejumlah organisasi pekerja yang bergerak mengadvokasi pekerja digital atau pekerja media, jumlahnya belum banyak dan belum tergabung dalam struktur formal tripartit atau terafiliasi dengan aliansi pekerja mana pun.
Minimnya mobilisasi buruh di sektor nonmanufaktur ini membuat para pekerja di dalamnya rentan diperlakukan sewenang-wenang. Posisi tawar mereka dalam negosiasi bipartit atau tripartit menjadi lebih lemah ketika terjadi pelanggaran hak ketenagakerjaan.
”Sementara UU Ketenagakerjaan kita belum cukup melindungi pekerja-pekerja ini. Jadi, memang perlu peran aktif serikat pekerja untuk merangkul mereka agar suara dan kebutuhan mereka juga didengar dan ditanggapi oleh penentu kebijakan,” kata Andriko.
Di Indonesia, tantangan juga datang lewat deregulasi di sektor ketenagakerjaan, melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi sapu jagat itu mengubah beberapa peraturan ketenagakerjaan untuk beradaptasi dengan pasar kerja global yang semakin fleksibel. Dampaknya, sejumlah hak dan perlindungan pekerja direduksi.
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, kehadiran UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya bukan untuk mereduksi hak pekerja atau mendegradasi kualitas perjanjian kerja bersama (PKB) yang umumnya berlaku di internal perusahaan.
Dialog sosial secara tripartit dan bipartit tetap menjadi faktor utama yang akan menjaga hubungan ketenagakerjaan tetap kondusif. ”Hakikat hubungan ketenagakerjaan tetap bergantung pada dialog sosial dan kesepakatan kedua belah pihak antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha,” katanya.