Ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Pemerintah Akan Kembalikan JHT sebagai Tabungan Hari Tua
Pemerintah diminta tidak buru-buru menutup pintu klaim JHT untuk pekerja yang kehilangan pekerjaan sebelum pensiun. Program JKP sebagai penggantinya harus dibenahi agar lebih luas melindungi seluruh peserta jamsostek.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengembalikan Jaminan Hari Tua (JHT) kembali ke fungsi awalnya sebagai tabungan hari tua. Seiring dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang berlaku awal tahun depan, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja tidak bisa lagi menarik tabungan JHT dan akan mendapat manfaat JKP sebagai gantinya.
Namun, pemerintah diminta tidak tergesa-gesa ”menukar” klaim JHT dengan JKP. Pasalnya, JKP yang baru akan diterapkan tahun depan belum terbukti efektif melindungi pekerja yang terkena PHK. Dari segi regulasi, program itu juga dinilai kurang inklusif melindungi seluruh peserta jamsostek yang kehilangan pekerjaan.
Rencana ini dikemukakan Kementerian Ketenagakerjaan dalam rapat kerja dengan BP Jamsostek dan Komisi IX DPR, pekan lalu.
Dalam forum itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI-Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan, filosofi JHT seharusnya untuk tabungan hari tua pekerja. Namun, belakangan terjadi pergeseran pemahaman tentang fungsi awal JHT, khususnya di tengah dampak pandemi Covid-19 serta maraknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengunduran diri (resign). Pekerja yang di-PHK dan resign dapat mengajukan klaim manfaat JHT satu bulan setelah di-PHK atau mengundurkan diri.
Menurut dia, JHT yang dapat diklaim sebelum masa pensiun bisa menambah kebutuhan dana yang mesti dibayar BP Jamsostek. Apalagi, dengan resmi berlakunya program JKP pada Februari 2022, yang juga akan memberikan manfaat uang tunai bagi pekerja yang mengalami PHK.
Berdasarkan Data BP Jamsostek, pada Desember 2020, kasus klaim JHT tercatat sebanyak 1,69 juta dengan nominal klaim Rp 21,12 triliun. Pada Agustus 2021, nominal klaim JHT lebih tinggi, yaitu Rp 22,58 triliun, dengan total jumlah kasus klaim 1,49 juta.
Dua alasan utama pekerja mencairkan tabungan JHT-nya adalah akibat resign dan di-PHK. Pada 2020, ada 1.712.000 kasus klaim JHT akibat mengundurkan diri. Pada 2021, jumlahnya 788.000 kasus. Sementara untuk kasus klaim JHT akibat PHK, pada 2020 jumlahnya 675.000 kasus dan pada 2021 sebanyak 587.000 kasus. Pada periode yang sama, klaim JHT akibat pensiun, cacat total tetap, dan meninggal jauh lebih sedikit.
Untuk itu, pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Persyaratan Pembayaran JHT. ”Kita kembalikan JHT pada filosofi awalnya sebagai tabungan di masa tua,” kata Putri.
Direktur Pelayanan BP Jamsostek Roswita Nilakurnia mengatakan, selama pandemi, klaim JHT paling banyak berasal dari peserta yang masih di bawah usia 30 tahun dan masih berusia produktif. ”Tahun 2020, misalnya, klaim JHT didominasi pekerja dengan masa kepesertaan di BP Jamsostek 1-3 tahun,” katanya.
Menurut Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo, ada dua alasan yang melatarbelakangi perlunya klaim JHT dikembalikan ke fungsi awalnya. Bagi pekerja, peningkatan klaim JHT yang tinggi dapat mengurangi akumulasi tabungan pekerja. Sementara bagi BP Jamsostek selaku penyelenggara Jamsostek, instrumen investasi menjadi terbatas akibat dana kelolaan dari iuran peserta sifatnya menjadi jangka pendek.
”Maka, isu strategis dari JHT ini adalah dikembalikan ke skema awal sebagai tabungan saat hari tua. Karena kita melihat, sekarang yang mengklaim JHT itu usianya masih muda, di bawah 30 tahun,” katanya.
Perlu bantalan sosial
Meski demikian, Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre Andriko Otang mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru menutup pintu klaim JHT. Di tengah krisis saat ini, pekerja butuh bantalan sosial ketika kehilangan sumber nafkah. Pencairan tabungan JHT selama ini dapat membantu pekerja bertransisi dari status menganggur hingga kembali bekerja.
Menurut dia, syarat-syarat akses JKP yang kaku dan terbatas di regulasi membuatnya tidak bisa dinikmati secara inklusif oleh semua pekerja. JKP hanya melindungi pekerja formal dengan masa kepesertaan tertentu yang mengalami PHK. JKP tidak bisa diakses oleh peserta lain, seperti pekerja informal, pekerja yang mengundurkan diri, dan mengalami cacat total.
”Dari segi regulasi saja, JKP belum bisa mengakomodasi pekerja secara menyeluruh ketika kehilangan pekerjaan. Beda dengan JHT yang tidak membedakan alasan untuk mengklaim tabungan, baik pekerja yang di-PHK maupun resign bisa mencairkan tabungannya,” kata Andriko.
Di sisi lain, manfaat uang tunai JKP sebesar 45 persen dari upah selama tiga bulan pertama dan 25 persen dari upah selama tiga bulan terakhir bisa jadi tidak sebesar manfaat yang didapat pekerja dari pencairan tabungan JHT.
”Yang dipertaruhkan adalah kesejahteraan dan ketahanan hidup pekerja, serta akan berdampak pula pada daya beli masyarakat dan konsumsi domestik. Jadi, pemerintah sebaiknya mengkaji lagi rencana ini dengan baik, jangan tergesa-gesa,” ujarnya.
Andriko memaklumi intensi pemerintah, yaitu menjadikan JKP sebagai strategi bertransisi, agar pekerja memiliki tabungan yang cukup ketika mereka memasuki usia tua. Namun, hal itu dapat dilakukan kelak setelah regulasi JKP diperbaiki dan efektivitas JKP sebagai program tunjangan pengangguran telah terbukti. ”Untuk saat ini belum tepat,” ujarnya.